14 tahun sudah Ricky Yacobi atau Ricky Yacob gantung sepatu. Namun, perjalanannya di sepak bola tidak pernah surut. Ricky tetap setia berkecimpung di dunia si kulit bundar. Hanya saja, jalan yang dipilihnya berbeda dari kebanyakan pilihan rekan-rekannya.
Sore itu, Selasa 24 Maret lalu, sinar matahari begitu terik. Guyuran sinarnya cukup menyengat kulit. Tapi, Ricky tak menghiraukan itu. Dia tetap berdiri gagah di sisi selatan Lapangan F komplek Gelora Bung Karno, Jakarta. Dengan setia Ricky menunggu kedatangan satu-persatu murid-muridnya di sekolah sepak bola (SSB) miliknya, SSB Ricky Yacobi.
Begitu semua sudah datang, Ricky lantas mengumpulkan mereka. Anak-anak usia 7 hingga 9 tahun itu kemudian diajaknya berlari-lari mengitari seperempat bagian lapangan. Sore itu, seperti sore-sore sebelumnya, Ricky lalu mengajarkan mereka cara menendang, menggiring, dan mengontrol bola.
Tugas yang mulia. Apalagi, Ricky melakukan itu bukan dalam hitungan ”kemarin sore”. Sudah sembilan tahun aktifitas itu dilakoni anak Medan tersebut. ”Cukup menyenangkan bisa selalu melihat anak-anak bersemangat bermain bola,” katanya.
Meski tugas Ricky sangat mulia, tetap saja aktivitasnya masih mengundang tanya banyak orang. Pertanyaan kenapa Ricky tidak melatih tim-tim liga kerap mampir di telinganya. Dengan reputasinya sebagai bintang sepak bola Indonesia di era 80-an, Ricky dinilai mumpuni membesut tim-tim liga.
Di masa keemasannya sebagai pemain, Ricky turut andil mengantarkan Indonesia meraih medali emas di SEA Games 1987. Setahun sebelumnya, dia berkontribusi membawa Indonesia menembus empat besar Asian Games di Korea Selatan. Bersama Arseto Solo, Ricky merasakan manisnya gelar juara Piala Liga (1987) dan Galataman (1990/1992). Dua kali dia menhabiskan diri sebagai top skor Galatama (1986/1987 dan 1990)
Nah, sebagian besar rekan Ricky di masa keemasannya itu, telah terjun sebagai pelatih tim-tim liga. Sebut saja seperti Bambang Nurdiansyah atau Jaya Hartono. Bambang bahkan pernah membesut tim nasional U-23. Sedang, Jaya sudah pernah membawa tim besutannya menjuarai kompetisi Divisi Utama.
”Tawaran itu (melatih tim liga, red) sering datang. Tapi, saya lebih senang berada di sini. Nilai-nilai kejujuran lebih terasa saat berbagi pengalaman dengan anak-anak,” ujar mantan pemain Arseto Solo tersebut.
Ricky sadar bahwa pilihannya tidak bakal mendatangkan uang. Sebab, di SSB tidak ada gemilang uang hingga miliaran seperti di tim-tim liga. Namun, hal itu tidak membuatnya surut.
Hal utama baginya adalah membantu anak-anak belajar dan berkembang menjadi pesepak bola handal. Dan yang terpenting dirinya tetap bisa selalu dekat dengan sepak bola sekaligus merasakan bau rumput lapangan.
Soal urusan agar dapur tetap mengepul, pria yang pernah merumput bersama klub Jepang Matsushita itu sudah punya ladang. Sejak 11 tahun lalu, Ricky bekerja di salah satu produsen alat olahraga, Specs. Saat ini Ricky menjabat posisi manajer profesional servis. Empat tahun sudah kursi manajer profesional servis didudukinya.
”Dari sanalah (Specs, red) saya memenuhi kebutuhan hidup. Saya merasa enjoy. Apalagi, bekerja di sana tetap membuat saya dekat dengan sepak bola,” ungkapnya.
Dengan jabatan sebagai manajer profesional servis, tugas Ricky adalah mempromosikan produk-produk tempatnya bekerja. Karena itu, Ricky harus sering menyambangi lapangan. Baik itu ke stadion tempat pemain-pemain dewasa, maupun ke lapangan bagi anak-anak bermain bola.
”Inilah pilihan saya untuk tetap dekat dengan sepak bola. Dan sampai saat ini saya cukup senang dengan pilihan ini,” sebutnya.
Dimuat Jawa Pos, 9 April 2009
Read More..
05 April 2009
Langganan:
Postingan (Atom)