01 September 2011

Tak Ada Perjalanan yang Sempurna

Stadion Rajamangala, Bangkok, 20 Desember 2008. Peluit panjang telah ditiup wasit Mohamed Hamidin dari Brunei Darussalam. Indonesia pun kembali gagal di Piala AFF. Kala itu, langkah Pasukan Garuda dihentikan Thailand di semifinal setelah tumbang 1-3 secara agregat. Bambang Pamungkas pun tertunduk cukup lama di lapangan. Di bawah sorot lampu Stadion Rajamangala.

Malam itu bukan saja kembali menegaskan Bepe-sapaan akrab Bambang-gagal membawa nama Indonesia berkibar. Tapi, malam itu seperti menjadi awal bagi Bambang kehilangan tempat utama di tim nasional Indonesia sejak dipercaya pada 1999 silam. Malam itu, pemain kelahiran 10 Juni 1980 tersebut tidak bermain penuh. Bambang masuk di pertengahan babak kedua menggantikan Budi Sudarsono.

”Tim nasional adalah milik seluruh rakyat Indonesia. Siapapun berhak dan berkewajiban membela negaranya sesuai dengan kriteria yang ditentukan. Pemain keluar-masuk tim nasional adalah hal yang wajar,” kata Bambang.

Bambang memang sempat kembali dipercaya di tim inti saat Pra Piala Asia 2011 di bulan-bulan awal 2009. Tapi, setelah itu anak Getas tersebut harus rela duduk di bangku cadangan, meski kepercayaan menghuni skuad tim nasional masih didapatkan hingga saat ini.

Sampai titik yang dilalui Bambang saat ini, perjalanan yang dilaluinya tidaklah mudah. Perjalanannya sangat panjang nan berliku. Bahkan, penuh onak dan duri. Semua dimulai ketika sang ayah-Misranto-mendafatarkannya di Sekolah Sepak Bola (SSB) Ungaran Serasi beberapa waktu setelah ulang tahunnya yang ke-10.

Sejak saat itu, Bambang harus merelakan waktu bermain dengan teman-temannya berkurang. Anak keenam dari pasangan Misranto-Suriptinah itu harus berlatih sepekan tiga kali di SSB Ungaran Serasi. Jarak tempatnya berlatih dari ditempuh dalam waktu satu jam dari kampung halamannya.

Praktis, sepulang sekolah, Bambang harus bergegas berangkat ke tempat latihan dan selepas latihan dia baru sampai rumah di waktu malam. Konsekuensinya, Bambang pun tak lagi bisa leluasa bermain dengan anak-anak kampung lainnya. Sebab, suami Tribuana Tungga Dewi itu juga harus belajar agar tidak ketinggalan di sekolah.

Semua pengorbanan Bambang itu nyaris berakhir sia-sia. Tepatnya ketika dirinya baru memulai lembaran baru sebagai pemain sepak bola profesional bersama Persija Jakarta. Pada 2002, Bambang dihantam cedera parah dan memaksanya naik ke meja operasi. Tulang fibula kiri pemain yang identik dengan nomor punggung 20 tersebut patah. Tak hanya itu, ligamen lutut kirinya juga rusak.

Saat itu, Bambang sempat terpikir kalau karirnya berakhir. Namun dia berusaha bangkit. Bambang selalu menyakini tagline hidupnya bahwa setiap orang tidak boleh takut untuk bermimpi, sebab suatu saat mimpi itu pasti akan menjadi kenyataan. Dengan semangat tersebut, Bambang pun lepas dari masa sulit.

Tak hanya itu, Bambang mampu melakukan pencapaian-pencapaian sensasional. Alumnus Diklat Salatiga tersebut selalu dipercaya menjadi bagian tim nasional sejak 1999 hingga saat ini. Bahkan, Bambang tercatat sebagai pemilik caps dan pencetak gol terbanyak di tim nasional. Bambang sudah 87 kali membela Indonesia dipertandingan resmi dan uji coba internasional. Selama itu, dia sudah mengemas 41 gol.

Di level klub, Bambang pernah mengantarkan Persija Jakarta merengkuh gelar Liga Indonesia musim 2000. Bambang juga pernah mencicipi atmosfer di Eropa bersama klub Belanda EHC Norad. Pria tamatan SMU Negeri I Salatiga tersebut juga pernah berjaya bersama tim Malaysia Selangor FC. Bersama Selangor, Bambang meraih gelar Juara Liga Perdana Malaysia, Piala FA, Juara Sultan Selangor, dan Juara Malaysia Cup.

Untuk gelar individu, Bambang pernah dinobatkan sebagai pemain terbaik Liga Indonesia 2001 dan Copa Indonesia 2007. Bambang juga pernah menempatkan diri sebagai pencetak gol terbanyak Liga Indonesia 2000, Piala Tiger 2002, dan Piala FA Malaysia 2005. Selain itu tentu sederet penghargaan lainnya. Nama Bambang juga pernah tercatat sebagai pemain Indonesia dengan kontrak termahal. Nilainya melebihi Rp 1,5 miliar.

”Saya sangat bersyukur dengan pencapaian saya sejauh ini sebagai pemain sepak bola. Akan tetapi, sejujurnya pencapaian tersebut masih jauh dari kata sempurna,” ungkap Bambang.

Perjalanan Bambang di sepak bola memang tidak sempurna. Masih ada mimpinya yang belum terwujud. ”Sejauh ini beberapa mimpi saya sudah mampu saya wujudkan, tapi harus saya akui jika masih banyak mimpi yang belum terwujud. Salah satunya adalah memberi gelar kepada Indonesia,” sebutnya.

Sejak berkostum tim nasional senior pada 1999, Bambang memang belum mampu mengantarkan Indonesia merengkuh gelar juara. Prestasi tertingginya adalah membawa pasukan Merah Putih menjadi runner up Piala Tiger atau yang kini bernama Piala AFF pada edisi 2002 dan 2010.

Memang Indonesia pernah menjadi juara Piala Kemerdekaan 2008. Dan Bambang menjadi bagian tim saat itu. Hanya saja juara tersebut direngkuh Indonesia dengan tidak lazim. Libya yang menjadi lawan Indonesia saat itu mundur pada babak kedua. Libya mundur karena merasa terancam setelah pelatihnya mengaku dipukul official tim nasional Indonesia di lorong ruang ganti Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta saat jeda pertandingan.

”Ketika bermain untuk tim nasional, yang ada di benak saya hanyalan bagaimana tampil sebaik mungkin dan dapat memberi hasil terbaik bagi tim. Sedangkan rekok gol dan penampilan di tim nasional sejujurnya saya tidak pernah peduli,” ujar Bambang.

Ketika tiba saatnya Bambang menanggalkan seragam tim nasional, Bambang tidak ingin dikenang sebagai pemegang rekok gol dan caps tim nasional Indonesia. Tapi, Bambang ingin dikenang sebagai pemain sepak bola yang menjunjung tinggi fair play. Dan tentu saja dikenang sebagai bagian tim nasional yang mampu merengkuh gelar juara.

Nah, mimpi itulah yang sampai saat ini masih terus membayangi Bambang. Dan Bambang pun masih belum lelah untuk mengejar sekaligus mewujudkannya. ”Jika saya masih diberi kesempatan dan kehormatan untuk mengenakan jersey merah putih, maka sudah barang tentu saya akan terus berusaha keras untuk mewujudkannya,” tegasnya.

Namun, jika sampai saat dirinya pension tetap tidak mampu mempersembahkan gelar juara, dirinya siap dicap gagal. ”Saya tidak pernah ragu mengatakan jika saya adalah generasi yang gagal jika sampai suata saat nanti saya pensiun dan tetap tidak mampu mempersembahkan satu gelar pun buat Indonesia,” ucapnya.

Tapi, apapun yang terjadi hingga saatnya Bambang gantung sepatu, kendati gelar juara tidak mampu dipersembahkannya, namanya tetap layak dicatat sebagai legenda sepak bola Indonesia. Bahkan, saat dirinya masih bermain pada detik ini, label tersebut sudah pantas disematkan kepadanya. Sebab, perjalanan memang tak ada yang sempurna. Dan Bambang sendiri sudah memberi banyak warna dan pelajaran berharga untuk sepak bola Indonesia.

Dimuat di Jawa Pos, 21 Agustus 2011


Read More..