19 Desember 2011

Sembelih Egomu, Hidupkan Hatimu

Setiap melihat anak-anak berlatih sepak bola, hati selalu miris. Masa depan mereka seakan dipermainkan seperti bola yang mereka tendang. Betapa tidak, di tengah pertarungan ego dan kepentingan yang kini mengoyak persepekabolaan nasional, jalan di depan bagi mereka untuk bisa menjadi seperti Bambang Pamungkas, Firman Utina, atau Boaz Solossa terlihat begitu kelam.

Tentu bukan anak-anak itu yang mempermainkan. Mereka masih suci dan polos. Semangatnya adalah bermain sekaligus belajar mengolah si kulit bulat. Harapannya : kelak menjadi pesepak bola.

Orang-orang yang mengurus sepak bola negeri ini-baik yang di Senayan maupun di klub-yang mengebiri harapan anak-anak tersebut. Dengan penuh semangat orang-orang itu mengumbar egonya. Masing-masing saling melempar dendam. Juga menyelipkan agenda politik di lapangan hijau.

Sepak bola yang sebenarnya sederhana menjadi rumit dan ruwet. Sepak bola yang sejatinya melahirkan keindahan, malah menerbitkan kekacauan. Ada dualisme kompetisi dengan dua pengelola: Indonesia Super League (ISL) yang dikendalikan PT Liga Indonesia dan Indonesian Premier League (IPL) dibawa pengelolaan PT Liga Prima Sportindo Indonesia.

Memang dualisme itu bukan tanpa potensi tersembunyi. Semakin banyak kompetisi, maka semakin banyak pertandingannya. Itu berarti pemain yang terserap ke kompetisi semakin banyak. Pemain pun semakin matang penampilannya. Baik dari sisi teknis maupun mental.

Tetapi, potensi itu berubah menjadi absurd karena dualisme juga merembet ke klub. Arema Malang terbelah. Begitupula Persija Jakarta dan PSMS Medan. Persebaya Surabaya pun serupa. Juga Gresik United. Dengan nama sama, mereka bertanding di kompetisi berbeda. Ada yang satu level, adapula yang beda kasta.

Apalagi, ISL berjalan tidak semata sebagai wujud penolakan keputusan PSSI. Penolakan tentang dinaikkannya enam tim-beberapa diantaranya sempat membelot dari ”rumah” PSSI-sekaligus ke level teratas. ISL bergulir juga kerena dendam. Diwarnai pula unsur politis.

Mayoritas klub yang berlaga di ISL bertautan dengan ”beringin”. Atau kalau tidak, mereka bisa dipastikan dekat dengan keluarga Kuningan. Tengok saja seragam beberapa petinggi klub. Arema, Sriwijaya FC, Persegres (Gresik United), Mitra Kutai Kartanegara, dan Persidafon Dafonsoro misalnya. Mereka berlatar belakang beringin.

Lihat pula pengelola dibalik Persija Jakarta, Deltras Sidoarjo, serta Persela Lamongan. Begitupula Persipura Jayapura dan PSMS Medan. Sulit dipungkiri kalau mereka tidak dekat dengan keluarga Kuningan yang notabene menakhodai ”beringin”. Berat pula kalau tidak menyebut ada dana dari Kuningan untuk mereka.

Satu lagi adalah Pelita Jaya. Mereka bahkan merupakan anak keluarga Kuningan. Karena itu, dirayu seperti apapun, bahkan dijatuh sanksi seberat apapun, mereka tidak bakal berpaling.

IPL pun tidak bersih. Juga ada dendam dibalik lahirnya IPL. Memberi label ISL ”haram” merupakan perwujudannya. Selain itu, langkah (pengurus) PSSI yang tidak ingin melupakan keringat dan darah mereka yang dulu berjuang melawan kekuatan lama juga sebuat cacat besar.

Klub-klub yang dulu ”berkeringat” diakomodir. Sebut saja seperti PSM Makassar, Persibo Bojonegoro, Persema Malang, dan Persebaya. Bukannya memulai kompetisi dari level bawah, tapi mereka dipromosikan ke kasta teratas. Apapun dalihnya, klub-klub tersebut harus didegradasi. Sebab, mereka pernah keluar dari kompetisi.

Langkah PSSI juga terkesan tergesa. Semangat menggulirkan IPL untuk menjauhkan kompetisi dari tangan mafia, menimbulkan kelucuan tersendiri. Mayoritas klub IPL dananya berasal satu sumber, keluarga Jenggala. Banyak klub pengelolanya dari Jakarta. Kalau seperti itu, sulit membayangkan adanya persaingan sehat. Konflik kepentingan pasti mengikuti.

Asumsi adanya muatan politis pun sulit dilepaskan dengan konfigurasi seperti itu. Selama ini keluarga Jenggala tak terlalu gila bola. Jadi, buat apa menginvestasikan miliaran rupiah di sepak bola Indonesia yang selama ini belum bisa dikatakan sebagai industri mapan? Adakah kepentingan politik di dalamnya?.

Sungguh rumit sepak bola negeri ini. Tapi, akankan terus seperti ini? Untuk orang-orang yang mengurus sepak bola negeri ini : sembelih ego kalian, hidupkan hati kalian. Hentikan polemik dan pikirkan sepak bola, bukan kuasa.

Sebab, sungguh tak pantas masa depan anak-anak yang mengisi mimpinya menjadi pesepak bola dikorupsi. Tak layak pula mimpi pecinta sepak bola tanah air yang ingin melihat Garuda terbang tinggi semakin dikaburkan.

dimuat di Jawa Pos, 18 Desember 2011.
Read More..

22 Oktober 2011

Anyir Politik di Lapangan Hijau

Sepak bola memang bukan lagi sekedar permainan. Tidak melulu urusan menendang dan menyundul bola. Ada gairah lain di dalamnya. Tentang identitas juga ekonomi. Tak terkecuali politik. Sepak bola Indonesia pun demikian. Selalu lekat dengan politik.

Sejarah telah mencatatnya. Bahwa organisasi sepak bola negeri ini-PSSI-didirikan karena faktor politik. Dengan muatan politis.

Soeratin Sosroseogondo dengan tujuh perwakilan dari Yogyakarta, Solo, Surabaya, Madiun, Magelang, Bandung, dan Jakarta yang memproklamirkannya di Yogyakarta, 19 April 1930 silam, menegaskan kalau PSSI lahir sebagai media melawan penjajah. Sarana menggugah nasionalisme sekaligus alat pemarsatu.

Semangat yang sama menyebar ke seluruh negeri. Seperti ditulis Andrea Hirata secara apik di novel Sebelas Patriot. Andrea menulis: di dan dari lapangan hijau, orang-orang Belitung ingin melepaskan ketertindasan mereka dari penjajah.

Dewasa ini, sejarah lekatnya sepak bola Indonesia dengan politik itu seperti ingin dilanggengkan Hanya saja paradigma berbeda. Jika dulu sepak bola sebagai alat pemersatu, sekarang menjadi alat berebut kursi.

Gambaran tentang itu saat ini terlihat jelas. Ada dua kutub yang begitu sengit bertarung di ranah politik, tapi memakai kostum sepak bola. Dua kutub itu, satu berasal dari Jenggala dan satunya datang dari Kuningan. Jenggala mengusai PSSI, sedang Kuningan merangkul lebih banyak klub.

Keduanya berusaha melaju cepat di jalur berbeda, tapi dengan tujuan sama. Jelas bukan prestasi. Namun kursi. Sepak bola pun menjadi korban. Tengok saja langkah (pengurus) PSSI. Bangunan-bangunan yang seharusnya tinggal diperbaiki malah dirobohkan. Kompetisi dan PT Liga Indonesia misalnya. Berbagai regulasi juga ditabrak. Butuh bukti, tengok saja daftar susunan pengurusnya dan cocoknya dengan regulasi.

Langkah Kuningan tak jauh berbeda. Mengatasnamakan regulasi, bukannya mendukung dan membantu perubahan di PSSI, mereka malah bergerak melawan. Dengan halus tentunya. Celakanya, di tengah bau anyir politik itu, (pengurus) klub justru tidak rasional. Mereka berpikir praktis dan mengabaikan asal dana. Meski mereka sebenarnya diperalat. Yang terpenting, klub tetap eksis. Bahkan, tidak sedikit yang tetap memilih jor-joran membeli mahal pemain. Sikap ini justru ditunjukkan ketika mereka tidak lagi menyusu pada APBD yang sejatinya menuntut klub berpikir kreatif.

Tapi inilah yang terjadi. Hasilpun bukan iklim sepak bola yang sejuk. Sebaliknya yang terbit adalah keruwetan, kekacauan, dan kekonyolan. Jika di tahun-tahun sebelumnya, pada bulan ini kita bisa datang ke stadion menyaksikan pertandingan, sekarang tidak. Kalau di sore-sore sebelumnya pada bulan ini kita bisa duduk manis menonton siaran pertandingan sepak bola, saat ini tidak.

Kenapa begitu? Sebab, agenda kompetisi tidak jelas. Dan tidak jelasnya agenda kompetisi ini jelas bakal berbuntut panjang. Ya mengganggu kegiatan tim nasional, ya mengancam partisipasi tim-tim Indonesia di kejuaraan leval Asia. Tragis!
****

Seruwet itukah sepak bola Indonesia? Mungkin tidak. Sebab, sebenarnya mereka yang saat ini berada di lingkungan sepak bola Indonesia, baik di kantor PSSI maupun di klub, merupakan orang-orang yang baik. Orang-orang yang memahami sepak bola. Dan tentu saja mencintai sepak bola.

Hanya saja, mereka melupakan cintanya. Juga panik. Semoga saja mereka segara berpaling. Berharap mereka memiliki hati untuk sepak bola. Sehingga, sepak bola kembali ke esensinya : seni memainkan bola di lapangan hijau. Tidak lebih!

dimuat di Jawa Pos, Minggu 23 Oktober 2011
Read More..

01 September 2011

Tak Ada Perjalanan yang Sempurna

Stadion Rajamangala, Bangkok, 20 Desember 2008. Peluit panjang telah ditiup wasit Mohamed Hamidin dari Brunei Darussalam. Indonesia pun kembali gagal di Piala AFF. Kala itu, langkah Pasukan Garuda dihentikan Thailand di semifinal setelah tumbang 1-3 secara agregat. Bambang Pamungkas pun tertunduk cukup lama di lapangan. Di bawah sorot lampu Stadion Rajamangala.

Malam itu bukan saja kembali menegaskan Bepe-sapaan akrab Bambang-gagal membawa nama Indonesia berkibar. Tapi, malam itu seperti menjadi awal bagi Bambang kehilangan tempat utama di tim nasional Indonesia sejak dipercaya pada 1999 silam. Malam itu, pemain kelahiran 10 Juni 1980 tersebut tidak bermain penuh. Bambang masuk di pertengahan babak kedua menggantikan Budi Sudarsono.

”Tim nasional adalah milik seluruh rakyat Indonesia. Siapapun berhak dan berkewajiban membela negaranya sesuai dengan kriteria yang ditentukan. Pemain keluar-masuk tim nasional adalah hal yang wajar,” kata Bambang.

Bambang memang sempat kembali dipercaya di tim inti saat Pra Piala Asia 2011 di bulan-bulan awal 2009. Tapi, setelah itu anak Getas tersebut harus rela duduk di bangku cadangan, meski kepercayaan menghuni skuad tim nasional masih didapatkan hingga saat ini.

Sampai titik yang dilalui Bambang saat ini, perjalanan yang dilaluinya tidaklah mudah. Perjalanannya sangat panjang nan berliku. Bahkan, penuh onak dan duri. Semua dimulai ketika sang ayah-Misranto-mendafatarkannya di Sekolah Sepak Bola (SSB) Ungaran Serasi beberapa waktu setelah ulang tahunnya yang ke-10.

Sejak saat itu, Bambang harus merelakan waktu bermain dengan teman-temannya berkurang. Anak keenam dari pasangan Misranto-Suriptinah itu harus berlatih sepekan tiga kali di SSB Ungaran Serasi. Jarak tempatnya berlatih dari ditempuh dalam waktu satu jam dari kampung halamannya.

Praktis, sepulang sekolah, Bambang harus bergegas berangkat ke tempat latihan dan selepas latihan dia baru sampai rumah di waktu malam. Konsekuensinya, Bambang pun tak lagi bisa leluasa bermain dengan anak-anak kampung lainnya. Sebab, suami Tribuana Tungga Dewi itu juga harus belajar agar tidak ketinggalan di sekolah.

Semua pengorbanan Bambang itu nyaris berakhir sia-sia. Tepatnya ketika dirinya baru memulai lembaran baru sebagai pemain sepak bola profesional bersama Persija Jakarta. Pada 2002, Bambang dihantam cedera parah dan memaksanya naik ke meja operasi. Tulang fibula kiri pemain yang identik dengan nomor punggung 20 tersebut patah. Tak hanya itu, ligamen lutut kirinya juga rusak.

Saat itu, Bambang sempat terpikir kalau karirnya berakhir. Namun dia berusaha bangkit. Bambang selalu menyakini tagline hidupnya bahwa setiap orang tidak boleh takut untuk bermimpi, sebab suatu saat mimpi itu pasti akan menjadi kenyataan. Dengan semangat tersebut, Bambang pun lepas dari masa sulit.

Tak hanya itu, Bambang mampu melakukan pencapaian-pencapaian sensasional. Alumnus Diklat Salatiga tersebut selalu dipercaya menjadi bagian tim nasional sejak 1999 hingga saat ini. Bahkan, Bambang tercatat sebagai pemilik caps dan pencetak gol terbanyak di tim nasional. Bambang sudah 87 kali membela Indonesia dipertandingan resmi dan uji coba internasional. Selama itu, dia sudah mengemas 41 gol.

Di level klub, Bambang pernah mengantarkan Persija Jakarta merengkuh gelar Liga Indonesia musim 2000. Bambang juga pernah mencicipi atmosfer di Eropa bersama klub Belanda EHC Norad. Pria tamatan SMU Negeri I Salatiga tersebut juga pernah berjaya bersama tim Malaysia Selangor FC. Bersama Selangor, Bambang meraih gelar Juara Liga Perdana Malaysia, Piala FA, Juara Sultan Selangor, dan Juara Malaysia Cup.

Untuk gelar individu, Bambang pernah dinobatkan sebagai pemain terbaik Liga Indonesia 2001 dan Copa Indonesia 2007. Bambang juga pernah menempatkan diri sebagai pencetak gol terbanyak Liga Indonesia 2000, Piala Tiger 2002, dan Piala FA Malaysia 2005. Selain itu tentu sederet penghargaan lainnya. Nama Bambang juga pernah tercatat sebagai pemain Indonesia dengan kontrak termahal. Nilainya melebihi Rp 1,5 miliar.

”Saya sangat bersyukur dengan pencapaian saya sejauh ini sebagai pemain sepak bola. Akan tetapi, sejujurnya pencapaian tersebut masih jauh dari kata sempurna,” ungkap Bambang.

Perjalanan Bambang di sepak bola memang tidak sempurna. Masih ada mimpinya yang belum terwujud. ”Sejauh ini beberapa mimpi saya sudah mampu saya wujudkan, tapi harus saya akui jika masih banyak mimpi yang belum terwujud. Salah satunya adalah memberi gelar kepada Indonesia,” sebutnya.

Sejak berkostum tim nasional senior pada 1999, Bambang memang belum mampu mengantarkan Indonesia merengkuh gelar juara. Prestasi tertingginya adalah membawa pasukan Merah Putih menjadi runner up Piala Tiger atau yang kini bernama Piala AFF pada edisi 2002 dan 2010.

Memang Indonesia pernah menjadi juara Piala Kemerdekaan 2008. Dan Bambang menjadi bagian tim saat itu. Hanya saja juara tersebut direngkuh Indonesia dengan tidak lazim. Libya yang menjadi lawan Indonesia saat itu mundur pada babak kedua. Libya mundur karena merasa terancam setelah pelatihnya mengaku dipukul official tim nasional Indonesia di lorong ruang ganti Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta saat jeda pertandingan.

”Ketika bermain untuk tim nasional, yang ada di benak saya hanyalan bagaimana tampil sebaik mungkin dan dapat memberi hasil terbaik bagi tim. Sedangkan rekok gol dan penampilan di tim nasional sejujurnya saya tidak pernah peduli,” ujar Bambang.

Ketika tiba saatnya Bambang menanggalkan seragam tim nasional, Bambang tidak ingin dikenang sebagai pemegang rekok gol dan caps tim nasional Indonesia. Tapi, Bambang ingin dikenang sebagai pemain sepak bola yang menjunjung tinggi fair play. Dan tentu saja dikenang sebagai bagian tim nasional yang mampu merengkuh gelar juara.

Nah, mimpi itulah yang sampai saat ini masih terus membayangi Bambang. Dan Bambang pun masih belum lelah untuk mengejar sekaligus mewujudkannya. ”Jika saya masih diberi kesempatan dan kehormatan untuk mengenakan jersey merah putih, maka sudah barang tentu saya akan terus berusaha keras untuk mewujudkannya,” tegasnya.

Namun, jika sampai saat dirinya pension tetap tidak mampu mempersembahkan gelar juara, dirinya siap dicap gagal. ”Saya tidak pernah ragu mengatakan jika saya adalah generasi yang gagal jika sampai suata saat nanti saya pensiun dan tetap tidak mampu mempersembahkan satu gelar pun buat Indonesia,” ucapnya.

Tapi, apapun yang terjadi hingga saatnya Bambang gantung sepatu, kendati gelar juara tidak mampu dipersembahkannya, namanya tetap layak dicatat sebagai legenda sepak bola Indonesia. Bahkan, saat dirinya masih bermain pada detik ini, label tersebut sudah pantas disematkan kepadanya. Sebab, perjalanan memang tak ada yang sempurna. Dan Bambang sendiri sudah memberi banyak warna dan pelajaran berharga untuk sepak bola Indonesia.

Dimuat di Jawa Pos, 21 Agustus 2011


Read More..

11 Mei 2011

Bepe dan Cara Dia Merawat Mimpi


Judul : Bepe20 Ketika Jemariku Menari
Penulis : Bambang Pamungkas
Penerbit : Tunas Bola, Jakarta
Tahun : 2011
Halaman : 383


BANGKOK, 19 Desember 2008. Sembari menunggu salat Jumat (kami lupa mencatat nama masjidnya), Bambang Pamungkas meletupkan mimpinya kepada saya. Dia berkeinginan memiliki karya di luar lapangan hijau. Tepatnya, Bepe—demikian Bambang Pamungkas akrab disapa—berobsesi menulis buku.

Dua tahun lewat empat bulan, mimpi itu menjadi kenyataan. Bepe akhirnya benar-benar mampu menelurkan buku. Sebuah buku yang sangat istimewa. Sebab, dalam deretan buku olahragawan di Indonesia, inilah satu-satu karya yang ditulis sendiri oleh sang atlet.

Seperti tagline hidupnya bahwa setiap individu tidak boleh takut bermimpi, Bepe memang pribadi yang tak sungkan untuk bermimpi. Dan, penyerang yang identik dengan nomor punggung 20 itu pun selalu yakin mimpinya tersebut bakal menjadi kenyataan. Tentu, dengan syarat: mimpi itu harus dirawat

Buku yang dihasilkannya ini merupakan bukti keteguhannya merawat mimpi itu. Sepulang dari Bangkok 19 Desember 2008, Bepe rajin menuangkan tulisan di situs pribadinya, Bambangpamungkas20.com. Situs yang mulai aktif akhir 2007.
Dia menulis kapan saja: di sela himpitan latihan, ketika menunggu pertandingan, atau dalam perjalanan melakoni pertandingan tandang. Baik bersama tim nasional maupun Persija Jakarta.

Hasilnya, sebuah buku yang menarik—untuk ukuran seseorang yang tak pernah mengenyam pendidikan jurnalistik atau sastra. Tulisan di dalamnya menawan dan penuh warna. Ringan, lugas, sekaligus cerdas.

Membaca buku Bepe, perasaan kita seperti teraduk. Kita bisa tertawa terbahak saat membaca Confession of a Bad Boy (hal 89) atau Maafkan Aku Sobat (hal 329). Dua tulisan yang mengisahkan kejahilan Bepe terhadap rekan-rekannya di tim nasional dan Persija.

Namun, seketika dada kita pun bisa berubah sesak saat menikmati kisah Bepe tentang kehidupannya di timnas yang tak ubahnya serdadu dan narapidana. Kendati para pemain tim nasional sejatinya adalah pribadi-pribadi pilihan (hal 28).

Melalui kisah-kisah yang ditulis Bepe, kita juga bisa belajar untuk bangkit dari keterpurukan. Tengok kisahnya tentang cedera parah yang menghantamnya di awal karir di lapangan hijau (hal 176). Itu dialaminya pada 2002. Tulang fibula engkel kirinya patah. Tak hanya itu, ligamen lutut kirinya juga rusak cukup parah akibat terjangan kiper Arema Malang Agus Setiawan. Top scorer timnas Indonesia itu harus naik meja operasi. Hampir enam bulan dia absen dari lapangan hijau.

Sebuah keadaan yang tentu tidak mudah bagi pesepak bola manapun. Tapi, Bepe tak lantas putus asa. Masa-masa sulit pun akhirnya terlewati. Buntutnya, prestasi gemilang berhasil digenggamnya. Terutama ketika dia merebut tiga gelar bersama tim Malaysia, Selangor FC, dalam satu musim.

Buku ini juga memuat pikiran dan pandangan jebolan Diklat Salatiga itu tentang banyak hal, tak hanya sepak bola. Misalnya soal bahaya narkoba. Dalam tulisan Selamatkan Dirimu, Generasimu, dan Bangsamu, (hal 253), Bepe mengajak anak-anak muda untuk menghindarkan diri dari cengkeraman narkoba.

Soal sepak bola, Bepe melemparkan ide tentang pembinaan. Menurutnya, sepak bola bakal stagnan kalau tak hirau akan pembinaan. Bepe pun menuangkan gagasannya tentang itu yang dibungkus dalam tulisan mengenai pentingnya arti sebuah regenerasi (hal 24).

Sayang, tetap saja ada yang tertinggal dari buku ini. Bepe lupa menulis kampung halamannya, Getas, Kabupaten Semarang, secara utuh. Padahal, seperti kerap diakuinya, Getas bukan sekedar tempat lahir. Tapi, juga tempat yang selalu memotivasinya untuk terus bermimpi.

Yang juga terlewatkan, keistimewaannya dalam perkara heading. Tinggi badan Bepe tak seberapa, tapi dia dikenal memiliki kelebihan dalam melompat. Sehingga, duel udara merupakan salah satu senjata andalannya sebagai tukang gedor.

Sayang, Bepe tak menggambarkan rahasia kelebihannya tersebut. Padahal, lompatan tinggi pemain yang pernah merumput di Liga Belanda itulah yang menjadi ciri pembeda dirinya dengan striker-striker Indonesia lain.

Tapi, dengan beberapa kekurangan itu pun, buku ini tetap amat layak dibaca. Baik oleh anak-anak sekolah dasar, para remaja, maupun orangtua. Tak peduli yang suka sepak bola maupun tidak.

Kenapa? Sebab, buku ini menggambarkan sebuah keberanian anak kampung untuk bermimpi. Buku ini juga melukiskan dengan indah cara merawat mimpi dalam balutan profesionalisme. Sikap yang selalu mengedepankan disiplin, kerja keras, dan optimisme.

Dimuat di Jawa Pos edisi 8 Mei 2011.
Read More..