07 Mei 2012

Perempuan Mindanao dan Sepak Bola Indonesia

Keruwetan di sepak bola Indonesia seperti tak berujung. Sebab, semua telah menjadi kaku. Baik yang berada di kubu Jenggala maupun yang berpihak ke Kuningan. Semua hanya memikirkan uang dan mengedepankan syahwat politik. Sepak bolanya sendiri dilucuti keindahannya. Olahraga olah si kulit bundar ini cuma diperalat dan dijadikan alat.

Situasi ini mengingatkan saya tentang cerita Mindanao . Cerita tentang kebebalan laki-laki di Filipina selatan itu. Lelaki Mindanao begitu ringan tangan memanggul senjata. Masalah apapun yang muncul penyelesaiannya selalu dengan senjata.

Tak urung, pistol bisa menyalak setiap saat di Mindanao . Darah bisa tumpah saban hari. Perang pun nyaris tidak pernah berhenti sejak 1970-an hanya untuk sesuatu yang absurd. Akibatnya, ekonomi desa mampet. Keluarga tercerai berai. Dan tidak sedikit penduduk yang akhirnya memilih mengungsi.

Kenyataan yang mirip di sepak bola Indonesia . Egosime ”elit” sepak bola negeri ini membuat Indonesia semakin jauh dari prestasi. Sebaliknya, kompetisi menjadi tak tentu arah. Klub terbelah. Begitupula dengan para suporternya. Tengok saja, Arema Malang, Persebaya Surabaya, Gresik United, atau Persija Jakarta.

Tapi, Mindanao lebih beruntung. Mindanao memiliki perempuan-perempuan mulia. Mereka maju menghentikan perang. Tanpa pistol. Juga tanpa parang. ”Dengan menggunakan tipu daya feminisme, para perempuan berhasil mendesakkan keinginannya,” ujar juru bicara United Nation High Commissioner for Refugees (UNHCR) Asia yang mendampingi para perempuan Mindanao , Kitty McKinsey, September tahun lalu kepada CNN.

Perempuan Mindanao melakukan boikot seks. Mereka monolak melayani suami di ranjang selama perang masih berkecamuk. Langkah yang beresiko. Para perempuan itu bisa saja ditinggalkan suaminya. Tapi, untuk kehidupan yang lebih baik, mereka melupakan resiko itu. Toh, semua perempuan Mindanao sudah sepakat menjalankan perlawanan. Kalaupun mereka ditinggal suaminya, sang suami dipastikan tidak bakal mendapatkan pelabuhan baru. Sebab, semua perempuan pasti menolak diperistri.

Perlawanan yang berbuah manis. Para laki-laki Mindanao meletakkan senjata. Mereka kembali ke rumah. Juga ke ladang. Jalan-jalan desa kembali dibuka. Ekonomi pun bergeliat lagi.

Akhir manis itu bisa ditularkan ke sepak bola Indonesia. Memang perempuan Mindanao tak pernah bertautan dengan sepak bola Indonesia. Tapi, spirit mereka bisa menjadi cambuk. Perlawanan mereka bisa menjadi contoh untuk membangun sepak bola Indonesia yang lebih cerah.

Lakonnya adalah para pemain. Juga pelatih. Baik itu yang bertanding di Indonesia Super League (ISL) maupun yang terjun di Indonesian Preimer League (IPL). Mereka memiliki kekuatan yang sama.

Seperti perempuan-perempuan Mindanao, pemain dan pelatih bisa melakukan boikot. Mereka bisa menolak untuk melakoni pertandingan. Tidak hanya satu atau dua laga. Namun, seluruh sisa pertandingan, selama ”elit” sepak bola masih enggan menepikan egonya.

Aksi yang beresiko memang. Dimana, pemain dan para pelatih bisa kehilangan sumber pendapatan untuk beberapa waktu. Tapi, gerakan harus dijalankan. Toh, itu demi kebaikan masa depan pemain dan pelatih sendiri. Jika iklim sepak bola Indonesia sehat, tentu para pemain dan pelatih bisa lebih nyaman mengais rezeki di lapangan hijau.

Saya percaya, meski pertandingan terhenti, dapur para pemain dan pelatih pasti masih tetap mengepul. Saldo tabungan mereka pasti tidak kosong. Keadaan beberapa waktu ini menjadi buktinya. Kendati beberapa pemain tidak gaji dalam rentang dua atau tiga bulan, toh mereka tetap bisa makan.

Boikot pertandingan mungkin bukan jalan terbaik. Tapi, bisa menjadi efektif meredakan perang. Dengan boikot, para pemain dan pelatih bisa mendesakkan rekonsiliasi. Sungguh-sungguh rekonsiliasi. Bukan sekedar basa-basi seperti selama ini.

Sebab, tanpa pertandingan secara otomatis kompetisi terhenti. Pertandingan adalah nadi kompetisi. Tanpa kompetisi, sepak bola akan kehilangan gairah. Dengan begitu, ”orang-orang yang kaku” itu tidak bakal mendapat pemasukan. Mereka juga tidak lagi bisa memperalat sepak bola sebagai kendaraan politik. Para parasit itu pasti akan pergi. Karena, sepak bola dipandang tidak lagi menguntungkan.

Sebaliknya, orang-orang yang memang peduli sepak bola pasti akan tergerak untuk melakukan perbaikan. Menepikan ego dan bersatu bahu-membahu mengubah keadaan. Yang tidak kalah penting, di tengah ”rehat” kompetisi, sistem pembinaan juga bisa dipikirkan dengan jernih. Salah satunya pembatasan pemain asing. Tiga saja cukup.

Di tengah ”rehat”, komponen lain di sepak bola, seperti wasit juga bisa memanfaatkannya untuk instropeksi. Agar ke depan mereka lebih tegas. Lebih cerdas dalam memimpin pertandingan. Dengan begitu stigma bahwa wasit merupakan akronim waspada saat peluit ditiup bisa dieliminir.

Boikot pertandingan memang sebuah jalan yang berat. Tapi, tanpa gerakan moral yang nyata, sepak bola Indonesia bisa semakin suram. Sebab, saya tak yakin, kalaupun Indonesia di suspend FIFA, orang-orang yang kaku itu mau berdamai. Bukan tidak mungkin, mereka malah saling menyalakan. Saling menyerang.

Lalu beranikan para pemain dan pelatih melakukannya? Jawabannya ada di tangan Bambang Pamungkas, Ponaryo Astaman, Andik Vermansyah, dan pemain lainnya. Jawabannya juga ada di pundak Rahmad Darmawan, Nil Maizar, M. Basri, dan para pelatih lainnya. Bagaimana, Mas Bambang, Mas Ponaryo, Mas Andik, Pak Rahmad,Pak Nil Maizar, dan Om Basri? Atau kita masih berharap bintang jatuh di sepak bola Indonesia . Berharap ”elit” sepak bola sadar dengan sendirinya dan menyembeli egonya.
Read More..