14 November 2008

Bom Waktu

Putaran pertama kompetisi ”profesional” Indonesia musim ini sebentar lagi berakhir. Baik itu di level Indonesia Super League (ISL) maupun Divisi Utama. Banyak masalah menerpa. Tak sedikit klub yang oleng. Bahkan, beberapa diantaranya mengisyaratkan bakal lempar handuk.

Tanda bahwa ada masalah di kompetisi ”profesional” Indonesia sebenarnya sudah terlihat dipertengahan putaran pertama. Kala itu, beberapa klub berteriak tidak kuat melanjutkan perjalanannya.

Gaji pemain mulai telat dibayar. Beberapa diantaranya bahkan belum menggaji pemainnya hingga sekarang. Tak sedikit pula yang rela berhutang agar timnya tetap berjalan. Setidaknya itulah tanda-tandanya.

Nah, kini ketika kompetisi hendak memasuki masa istirahat, teriakan klub semakin lantang. Isyarat mundur dari kompetisi diletupkan. Salah satunya bahkan datang dari klub yang menjadi kekuatan utama sepak bola Indonesia, PSM Makassar. ”Kami belum mundur. Tapi, pengelola sudah tidak sanggup lagi menjalankan tugasnya. Kini kami sedang mencari solusi menyelamatkan perjalanan tim ini,” aku Ilham Arief Sirajuddin, ketua umum PSM.

Menurut Ilham, saat ini kantong PSM sudah kosong. Juku Eja-julukan PSM-disebutnya sudah menghabiskan dana Rp 13 miliar. Untuk mengarungi lanjutan kompetisi, mereka butuh dana Rp 7 miliar. ”Kini kami menunggu dana pemerintah provinsi Sulawesi Selatan,” kata Ilham.
Jika bantuan itu tidak cair, maka PSM bakal semakin tersudut. Apalagi, kucuran dari pihak sponsor tidak cukup menutup kekurangan PSM. ”Jika tidak ada solusi, bukan tidak mungkin kami langkah akan terhenti,” ujar Ilham.

Jeritan yang sama berkumandang dari Bumi Serambi Mekkah. ”Kami pun sudah sekarat. Ibaratnya nafas kami kini tinggal sepenggal. Kalau kondisi tidak berubah, kami pun akan mundur di putaran kedua nanti,” ungkap Azis Fandila, manajer PSSB Bireun.

Kondisi PSSB memang jauh lebih kronis dari PSM. Klub yang bermarkas di Stadion Cot Gopu itu belum membayar gaji pemainnya selama tujuh bulan. Karena itu, selama 20 hari lalu, PSSB ditinggal pulang para pemainnya. Mereka enggan melanjutkan tugasnya lantaran haknya tidak juga dipenuhi. ”Kalau tetap tidak ada yang membantu, mundur akan menjadi pilihan terbaik kami. Sebab, kalaupun kami bertahan dengan mengandalkan pemain lokal Aceh, kami tidak sanggup membayar biaya away,” sebut Azis Bengkel-sapaan Azis Fandila.

Setali tiga uang dengan PSSB adalah Persitara Jakarta Utara. Meski berstatus tim Ibukota, tapi kondisinya juga mengenaskan. ”Sejak April kami belum membayar gaji para pemain,” jujur Harry ”Gendhar” Ruswanto, manajer Persitara. Hanya bedanya, Persitara belum menyerah. Laskar Si Pitung-julukan Persitara-mencoba untuk tetap bertahan. Mereka masih sangat optimis bisa berjalan hingga akhir laga. Komitmen itupula yang coba dipertahankan Iwan Boedianto yang menakohdai Persik Kediri yang kini sekarat.

Selain PSM, Persik juga menjadi tim besar yang sedang oleng. Macan Putih-julukan Persik-dikabarkan masih menunggak pembayaran gaji para pemainnya selama tiga bulan. Uang muka kontrak pemain juga belum dibayarkan. Karena kondisi itu, badai eksodus pemain kini menerpa Persik. Yang bakal pergi itupun merupakan para pilar Persik. Diantaranya adalah Budi Sudarsono, Aris Indarto, serta Danilo Fernando.

Nah, apa yang terjadi tersebut jelas bukan hal biasa. Situasi ini bisa menjadi bom waktu bagi kompetisi ”profesional” Indonesia. Apalagi, yang bermasalah bukan hanya tim-tim yang telah disebut di atas. Di level ISL, masih ada nama Persija Jakarta atau Sriwijaya FC Palembang. Sedang dari Divisi Utama lebih banyak lagi. Sebut saja seperti Persebaya Surabaya, PSIM Jogjakarta, Persis Solo, atau Persibom Boloang Mongondow.

Dengan kondisi yang melanda mereka, bukan tidak mungkin ancaman mundur itu nantinya bakal menjadi kenyataan. Nah, jika benar ada yang mundur, maka laju kompetisi bakal terguncang. Apalagi, kalau yang mundur tidak hanya satu tim. (contohnya pun sudah tersaji di Copa Indonesia IV, Persibom, Persis, dan PSSB sudah menarik diri). Jadwal kompetisi jelas akan semakin tidak sedap dinikmati.

Selain itu, dengan tetap bertahannya tim-tim yang sedang sakit juga bakal menjadi kerikil tersendiri bagi kompetisi. Sebab, bukan tidak mungkin mereka akan berjalan setengah hati. Alhasil, jalannya pertandingan bisa jadi tak lagi menjadi menarik dan tak lagi indah. Pasalnya, klub tidak lagi ngotot mengejar kemenangan.

Pun demikian dengan para pemain. Karena tak kunjung gajian, mereka bisa saja tampil apa adanya. Bahkan, tidak tertutup kemungkinan, mereka tampil penuh emosi. Toh contohnya sudah tergambar di Gelora Ambang, Kotamobagu, Rabu (12/11) lalu. Dimana, pemain PSIR Rembang ramai-ramai mengeroyok wasit. Saya percaya, pengroyokan itu pasti bukan karena ketidakpuasan mereka terhadap keputusan wasit. Bisa jadi juga karena letupan kemarahan karena kondisi yang mereka alami di luar lapangan (baca : belum gajian).

”Kami tidak dalam kondisi marah, sedih, atau tertawa dengan apa yang terjadi. Kami yakin mereka bisa menjadi dokter untuk menyembuhkan rasa yang kini mereka rasakan. Kami pun optimis kompetisi ini tetap berjalan hingga akhir,” sebut Joko Driyono, direktur kompetisi Badan Liga Sepak Bola Indonesia (BLI).

Sah-sah saja, BLI bersikap begitu. Tapi, masalah yang terjadi saat ini harus segera diselesaikan bersama-bersama. Tidak terkecuali oleh BLI. Sebab, BLI juga punya "dosa" akan terjadinya hal ini. Dosa itu setidaknya dengan langkah BLI menerbitkan lisensi klub profesional kepada 18 tim yang ternyata beberapa diantaranya sekarang sedang sekarat. Jika, ini tidak segara diselesaikan, maka bom waktu itu bakal meledak. 
 




Read More..

09 November 2008

Pergi Membawa Mimpi (seri pita hitam)



Impian Ronny Pattinasarany harus pupus sebelum dimulai. Rencana legenda sepak bola Indonesia itu untuk membuat buku kedua urung teralisasi. Pasalnya, sebelum buku itu ditulis, Ronny sudah lebih dulu berpulang. ”Papa berencana membuat buku tentang pengalaman dan perjalanan hidupnya. Tapi, Tuhan ternyata berkehendak lain,” ungkap anak kedua Ronny, Hendry Jacques Pattinasarany atau yang akrab disapa Yerry.

Ya, siang itu Jumat 19 September 2008 sekitar pukul 13.30 WIB, Ronny tutup usia. Pemain tim nasional sepak bola Indonesia di era 70 hingga 80-an itu menghembuskan nafas terakhir di Rumah Sakit Omni Medical Center, Jakarta Timur. Ronny meninggal dalam usia 59 tahun dan meninggalkan satu orang istri dan tiga orang anak.

Pria asal Makassar tersebut berpulang setelah bergelut lama dengan kanker. Pada akhir tahun lalu, Ronny divonis mengidap kanker pankreas. Dia pun harus menjalani perawatan di Guangzhou, Tiongkok. Meski sudah berobat ke Tiongkok, kesehatan Ronny tak juga membaik. Hal itu lantaran kanker yang menyerangnya sudah menjalar ke beberapa bagian lain tubuhnya.
Mula-mula menjalar ke liver. Kemudian merambah ke tulang belakang serta paru-paru Ronny. Akhir Agutus lalu, Ronny memutuskan kembali ke tanah air. Tapi, tak lama menghirup udara di luar rumah sakit, mantan pelatih Petrokimia Gresik itu harus kembali dilarikan ke rumah sakit pada Selasa16 September.

Setelah menjalani perawatan intensif di Rumah Sakit Omni Medica Center, nyawa Ronny akhirnya tidak tertolong lagi. ”Kami ikhlas melepas kepergiannya. Kami akan selalu mengingat Papa sebagai pahlawan keluarga kami,” ujar Yerry.

Ronny memang pahlawan bagi keluarga. Utamanya bagi Yerry dan sang kakak Robenno Pattrick Pattinasarany (Benny). Selama bertahun-tahun, Ronny berjuang untuk melepaskan kedua putranya itu dari jeratan narkoba. Waktu, tenaga, dan juga materi semua dicurahkan Ronny untuk menyembuhkan Benny dan Yerry. Bahkan, kursi pelatih Petrokimia pun harus ditinggalkan demi buah hatinya tersebut.

Perjuangan tak kenal lelah itupun membuahkan hasil. Kedua anaknya berhasil lepas dari ketergantungan narkoba. Perjalanan panjang menyelamatkan sang buah hatinya itu, lalu dituangkannya dalam sebuah buku berjudul Dan, Kedua Anakku Sembuh dari Ketergantungan Narkoba, yang terbit 2006 lalu.

”Atas nama pribadi dan Badan Tim Nasional (BTN), kami mengucapkan bela sungkawa yang sedalam-dalamnya,” ujar Rahim Soekasah, ketua BTN. Sebelum berpulang, Ronny masih tercatat sebagai anggota tim monitoring BTN. Di tempat itu Ronny bekerja dengan Risdianto. Sebelumnya, Ronny juga bekerja bersama dengan Iswadi Idris. Namun, Iswadi harus mengakhiri tugasnya pada 11 Juli 2008 lalu karena meninggal dunia.






Read More..

Dokter Pencetak Bintang Lapangan Hijau


Mengenang Endang Witarsa (seri pita hitam)

Tessa, cucu Endang Witarsa, tak bisa menahan tangis. Masih segar terekam dalam benaknya bagaimana ”bandelnya” sang kakek selama tiga minggu dirawat di rumah sakit baru-baru ini. ”Selama di rumah sakit, yang diomongin sepak bola melulu. Siapa saja yang menjaga atau menjenguk, harus siap diajak ngomong bola,” kenang Tessa.

2 April silam, sekitar pukul 04.30 WIB, kakek yang ”bandel” itu harus mengakhiri pertautannya dengan sepak bola. Endang Witarsa harus tutup usia jelang ulang tahunnya ke-92 pada 4 Oktober akibat komplikasi penyakit. Mantan pelatih Warna Agung di era Galatama yang juga menyandang gelar dokter gigi itu meninggalkan 4 anak, 12 cucu, dan 7 cicit.  ”Hidupnya memang (didedikasikan) untuk sepak bola. saya angkat topi untuk totalitasnya di sepak bola. Sebagai seorang muridnya, saya tentu kehilangan atas kepergian beliau,” ujar Benny Dollo, pelatih tim nasional Indonesia.

Memang, tak hanya keluarga yang ditinggalkan pria kelahiran Kebumen tersebut. Endang Witarsa juga mewariskan begitu banyak pemain hebat untuk persepak bolaam tanah air, hasil pengabdian panjangnya sebagai pelatih.

Pengabdiannya bahkan terus dijalankannya hingga menjelang tutup usia. Dia dengan melatih tekun Union Makes Strength (UMS) di Lapangan Petak Sinkian, Jakarta. Diantara muridnya ada nama-nama kondang macam Iswadi Idris, Ronny Pattinasarani, Yudo Hadianto, atau Widodo Cahyono Putro. Dua nama yang disebut diawal telah berpulang tahun ini.

Endang Witarsa meninggal di Rumah Sakit Dharmais, Jakarta. Dia dikebumikan di San Diego Hill, Karawang, Jawa Barat. Di dalam peti, di sisi kanan dan kiri jenazahnya diletakkan bola warna putih dengan garis hijau.

Itulah barangkali sedikit simbol yang mewakili kecintaan pelatih yang dikenal tegas dan disiplin tersebut di lapangan hijau. Kecintaan yang membuatnya berani menghadapi segala kesulitan. Baik itu kesulitan finansial, fasilitas, bahkan tubuh yang menua.

Bahkan, beberapa jam sebelum tutup usia, kecintaan itu masih ditunjukkannya. Bersama Tessa, Endang Witarsa menyaksikan dengan antusias pertandingan perempat final Liga Champions 2007/2008 antara AS Roma melawan Manshester United yang ditayangkan langsung salah satu stasiun televisi.

Selamat jalan, Dokter Sepak Bola. Terima kasih atas jasa-jasamu. Kami akan berusaha untuk terus menjaga nyala api pembangunan sepak bola Indonesia.





Read More..