29 Desember 2008

Yang Seharusnya Diistimewakan justru Selalu Dikorbankan

Putaran kedua Indonesia Super League (ISL) 2008/2009 belum juga dijalankan. Namun, perubahan jadwal sudah terjadi. Perubahan itu tercatat sebagai perubahan yang ke 52 sepanjang musim ini. Dan lagi-lagi, klub, sponsor, dan ofisial patner kompetisi yang seharusnya diistimewakan kembali dijadikan korban.

”Apapun keputusan PSSI, yang jelas klub tetap dirugikan,” sebut Ferry Indrasjarief, asisten manajer Persija Jakarta. Kalimat itu terlontar lantaran keputusan kontroversi PSSI akan perjalanan putaran kedua ISL 2008/2009 dan pemusatan latihan tim nasional (Timnas) Indonesia.

Awal pekan lalu (23/12), PSSI mengeluarkan keputusan sulit untuk klub. Dimana, PSSI menegaskan bahwa putaran kedua ISL 2008/2009 berjalan sesuai jadwal yang dirilis 3 Desember 2008. Artinya, kompetisi bakal bergulir mulai 3 Januari 2009 dan berakhir 14 Juni 2009. Disisi lain, PSSI juga memutuskan bahwa pemusatan latihan Timnas berjalan terus dengan konsekuensi para pemainnya dilarang membela klub di kompetisi.

Kontan keputusan itu diprotes klub. Utamanya klub-klub yang menyumbang lebih dari dua pemain di Timnas. Sebut saja seperti Persija, Sriwijaya FC Palembang, atau Persib Bandung. Mereka keberatan harus berkompetisi tanpa beberapa pilarnya. Protes itu pun membuat PSSI berubah pikiran. Otoritas sepak bola Indonesia itu lantas meminta Badan Liga Sepak Bola Indonesia (BLI) merevisi jadwal.

BLI pun merevisi jadwal. Terutama dua pertandingan setiap klub diawal putaran kedua yang dihelat dalam rentang waktu dari 3 hingga 12 Januari 2009.

Nah, keputusan PSSI merevisi jadwal itupun tetap memberatkan klub. Dengan revisi tersebut, klub dibayangi kerugian materi yang tidak kecil. Bahkan, bayang-bayang itu sudah menjadi kenyataan ketika revisi jadwal disampaikan BLI. Beberapa klub terpaksa membatalkan pemesanan tiket pesawat dan hotel untuk keperluan away awal Januari 2009.

Seperti dua tim Papua, Persipura Jayapura dan Persiwa Wamena yang seharusnya away ke Jakarta dan Lamongan. Atau dua tim dari bumi Kalimantan Timur, PKT Bontang dan Persiba Balikpapan.

Untuk keperluan away awal Januari, mereka sudah memesan tiket pesawat dan hotel pertengahan Desember ini. Lantaran ada revisi jadwal, pemesanan itu dibatalkan. Imbasnya, mereka pun harus membayar uang ganti rugi yang tidak kecil. Sebab, umumnya, pembatalan tiket pesawat dan hotel dikenai kompensasi pembatalan di atas 5 persen.

Kerugian klub bukan hanya berhenti pada pembatalan tersebut. Tapi, problem lebih besar adalah pembengkakan biaya akibat revisi tersebut. Jika sampai revisi ini membuat akhir kompetisi menjadi molor, maka setiap klub harus mengeluarkan biaya tambahan. Jumlahnya pun pasti tidak sedikit.

Persiba misalnya. Jika akhir kompetisi molor, maka tim berjuluk Beruang Madu itu harus menyiapkan tambahan uang tidak kurang dari Rp 600 juta. Uang tersebut untuk membayar gaji pemain serta membiayai akomodasi tim.

Kalaupun akhir kompetisi tidak molor, klub pun terkesan membuang sia-sia uangnya selama sebulan lantaran revisi jadwal. ”Pembuangan” itu terjadi di bulan Januari. Sebab, selama bulan Januari, para pemain seperti mamakan gaji buta yang harus dikeluarkan klub. Sebab, sudah waktunya pemain bertanding, justru mereka masih berkutat dalam latihan. Ingat, karena revisi jadwal kali ini, jeda kompetisi dari putaran satu ke putaran kedua lebih dari dua bulan. Jeda yang tentu tidak lazim. Umumnya, jeda kompetisi berkisar satu bulan.

Kerugian klub bukan saja soal materi. Tapi, karena revisi jadwal faktor teknis klub juga terganggu. Sebab, setiap pelatih harus mengubah program latihannya. Jika sebelumnya pemain sudah mulai disiapkan kembali berkompetisi pada 3 Januari 2009, mereka harus memutar otak kembali. Dimana, kondisi pemain dibuat siap berkompetisi sebulan kemudian.

Pekerjaan yang tidak mudah tentunya. Sebab, perubahan itu tidak sekedar menyangkut fisik dan strategi. Namun, juga menyentuh mental para pemain. Jelas sesuatu yang sulit bagi pelatih harus mengerem gelora bertandingan para pemain. Apalagi, menghentikannya ketika semangat itu sudah hampir mencapai puncak. Setelah itu, sebulan kemudian, para pelatih justru dituntut kembali menyalakan gelora tersebut. Jelas situasi yang sulit untuk dihadapi dan dipecahkan.

Klub bukan satu-satunya yang dirugikan. Sponsor kompetisi dan juga sponsor klub juga menjadi korban. Selain itu, offisial patner seperti Antv pun seperti dikorbankan. ”Sebab, setiap program acara, itu sudah dirancang sebulan sebelumnya,” ungkap Reva Dedy Utama, Head Of Sport Antv.

Bisa dibayangkan betapa beratnya kerja Reva dan krunya untuk menyiapkan program pengganti akibat revisi jadwal tersebut. Apalagi yang harus disiapkan durasinya tidak kurang dari 12 jam.

Ditengah situasi itu, mau tidak mau mereka juga harus berurusan dengan sponsor. Sebab, ketika program sudah disusun, sponsor sudah terlanjur masuk. Nah, dengan perubahan itu, maka mereka harus membayar kompensasi ke sponsor. Lagi-lagi jumlahnya pasti tidak kecil.

Jadi, seperti yang diutarakan Ferry, apapun keputusan PSSI, mereka yang harusnya diistimewakan justru dirugikan. Padahal, di era sepak bola profesional, seharusnya mereka diutamakan. Sebab, mereka yang mengeluarkan banyak uang. Mereka telah berdarah-darah untuk tetap eksis mengikuti kompetisi.
Sebaliknya, PSSI tidak mengeluarkan sepeserpun uang. Untuk menjalankan kompetisi, mereka ditopang sponsor. Uang yang ”disetor” sponsor pun jumlahnya miliaran. PSSI juga mendapatkan uang dari pembelian hak siar televisi.

Untuk itu, PSSI harusnya lebih bijak dalam bersikap. Jangan selalu mengorbankan klub, sponsor, dan offsial patner. Jika terus-menerus seperti itu, sponsor tentu bakal lari. Kalau alasan revisi jadwal kali ini karena pemusatan Timnas, maka PSSI seharusnya memplanning agenda Timnas jauh-jauh hari. Jangan mendadak.

Toh, jadwal pertandingan resmi Timnas selalu sudah dirilis jauh-jauh hari oleh federasi di atas PSSI. Misalnya, jadwal Pra Piala Asia. AFC pasti sudah merilis jadwalnya jauh hari sebelum hari pertandingan. Bahkan, bisa setahun atau dua tahun sebelumnya.

Itu artinya, PSSI sudah semestinya menyusun program Timnas jauh hari. Kalau itu dilakukan, pasti jadwal kompetisi tidak bakal terganggu. Sebab, BLI pasti dalam menyusun jadwal menyesuaikan agenda Timnas. Dan akhirnya, mereka yang seharusnya diistimewakan, tak lagi dikorbankan.
Read More..

26 Desember 2008

Menanti Janji Bendol (Lagi)

Merah Putih layu sebelum akhir. Kenyataan pahit itu kembali harus kita pandang. Tim nasional (Timnas) Indonesia yang kita harapkan menggapai prestasi di Piala AFF 2008 kandas di semifinal. Tiket harus rela diserahkan ke Thailand yang mampu menggungguli Indonesia 3-1 (1-0 di Jakarta, 2-1 di Bangkok) di semifinal.

Dan itu artinya Benny Dolo gagal memenuhi targetnya. Sesuai kontrak, Bendol-begitu Benny Dolo akrab disapa-ditarget membawa Indonesia lolos ke final Piala AFF 2008. Bendol sendiri juga berjanji untuk memenuhi target tersebut. Kendati gagal, Benny Dolo ternyata dinaungi keberuntungan. Dia tetap dipercaya memangku jabatan pelatih Timnas Indonesia hingga kontraknya berakhir Februari 2010.

Dan tentu Benny Dolo harus menjawab kepercayaan tersebut. Dan jawaban yang harus diberikan adalah membawa Indonesia lolos ke Piala Asia 2011. Itu lantaran bukan saja karena Badan Tim Nasional (BTN) memasang target lolos ke Piala Asia 2011. Namun, lebih dari itu, Benny Dolo telah diberi kekeluasaan menyusun tim.

Mulai memilih 27 pemain yang diinginkan. Dimana, semua pemain itupun disetujui BTN. Bendol juga diperkenankan menjalani pemusatan latihan mulai hari ini, 27 Desember. Karena pemusatan latihan itu, jadwal putaran kedua Indonesia Super League (ISL) 2008/2009 pun diundur. Putaran kedua yang seharusnya dihelat 3 Januari, baru efektif dihajat Februari.

Jadi, sudah tidak ada alasan lagi bagi Bendol untuk tidak menjawab tantangan yang ada di pundaknya. Sebab, segala keperluan pelatih berusia 58 tahun itu telah dipenuhi. Bahkan, Bendol juga diberi fasilitas latihan yang nyaman. Tepatnya dia bisa menggenjot anak asuhnya di Lapangan Pelita Jaya Jawa Barat yang berada di Sawangan, Depok, Jawa Barat.

Di situ tersedia dua lapangan yang kualitasnya jauh lebih baik dari Lapangan Timnas di Senayan. Di situ juga terdapat fasilitan gym. Untuk istirahat, Bendol dan para pemain disediakan Hotel Sawangan Golf (sekitar 3 km dari Lapangan Pelita Jaya) yang nyaman. Sebuah penginapan yang jauh dari kebisingan. Penginapan yang sejuk nan asri.

Jadi, sekali lagi sudah tidak ada alasan bagi Bendol untuk tidak berprestasi. Semua kelonggaran dan keleluasan telah diberikan kepadanya. Bendol sendiri juga telah berkoar mampu memenuhi target lolos ke Piala Asia 2011. ”Saya optimis mampu memenuhi target tersebut,” kata mantan pelatih Arema itu.

Masyarakat pun menunggu janji Bendol tersebut. Dan minimal janji itu sudah harus mulai direalisasikan pria asal Manado tersebut pada 19 dan 28 Januari mendatang. Saat dimana, Indonesia melawat ke Oman (19 Januari) dan menjamu Australia (28 Januari).
Jika gagal, tentu pelatih asal Manado itu harus berbesar hati untuk mundur. Sebab, jika gagal lolos ke Piala Asia 2011, maka itu akan menjadi sejarah buruk bagi sepak bola Indonesia. Sebab, sejak 1996, Indonesia tidak pernah absen di putaran final Piala Asia.
. Read More..

Menunggu Lagi (Harus Ada Perubahan)

Malam yang kelam. Dan saya pun harus tertunduk lagi. Saya dan tentunya masyarakat Indonesia harus menanti lebih panjang lagi akan prestasi tim nasional (Timnas) Indonesia. Pasalnya, harapan melihat skuad Merah Putih berprestasi di Piala AFF 2008 harus pupus malam ini.

Bahkan, alih-alih juara, Indonesia malah gagal menembus partai final. Indonesia hanya sanggup bertahan hingga babak semifinal. Pasukan Garuda harus rela menerima kenyataan disingkirkan Thailand di semifinal. Kegagalan tersebut menyusul dua kekalahan yang diterima Indonesia dari Thailand di babak semifinal.

Setelah di first leg semifinal Indonesia dipermalukan 0-1 di Jakarta pada 16 Desember lalu, malam ini di second leg semifinal, Charis Yulianto kembali dikandaskan Thailand. Malam ini Indonesia ditekuk 1-2 di Stadion Rajamangala, Bangkok, Thailand.

Kenyataan yang jelas cukup pahit. Saya dan masyarakat Indonesia harus kembali menunggu. Pekerjaan yang tentu sangat melelahkan. Apalagi, sebelumnya kami sudah menunggu 17 tahun. Sejak Indonesia tidak mampu mempertahankan prestasi seperti tahun 1991, tatkala Merah Putih sukses menjuarai sepak bola SEA Games Manila.

Karena itu, saya pun sangat berat untuk bangkit dari tribun Stadion Rajamanggala. Ingin menangis rasanya. Tapi, airmata justru terasa berat mengalir dari pelupuk mata. Saya hanya bisa menghela nafas panjang untuk melepaskan beban berat ini.

Situasi yang bertolak belakang dengan menit kesembilan pertandingan. Saat itu, asa melihat Indonesia berpretasi sempat menyembul tinggi. Itu menyusul gol Nova Arianto memanfaatkan umpan Ismed Sofyan dari tendangan penjuru. (Gol yang menurut versi AFF merupakan gol bunuh diri Chonlatit Jantakam). Tapi, harapan tersebut buyar ketikaTeeratep Winothai membobol gawang Indonesia yang dikawal Markus Horison pada menit 72. Hati semakin tersayat saat Ronnachai Rangsiyo mencetak gol tiga menit jelang bubaran pertandingan.

”Meski Indonesia kalah, tetap semangat membuat berita,” pesan singkat seorang kawan dari Surabaya masuk ke telepon genggamku lima menit setelah pertandingan.

Saya pun berusaha bangkit dari tribun. Saya lalu berjalan menuju lorong pemain. Di situ saya bersua Benny Dolo-pelatih Indonesia. Kami pun berbincang. Saya juga masuk ke ruang ganti pemain. Semua tertunduk lesu. Tak terkecuali Charis Yulianto-kapten Indonesia-yang menyempatkan berbincang dengan saya. ”Mungkin ini hasil terbaik yang bisa kami capai,” kata Charis. Perkataan yang sama sebelumnya meluncur dari Benny Dolo ketika kami berbincang di lorong pemain.

”Inilah hasil terbaik yang bisa dicapai Indonesia saat ini”. Ironis terdengarnya. Sebab, Indonesia memiliki sejarah yang hebat di sepak bola Asia Tenggara. Bahkan, bangsa ini pernah menjadi Manca Asia. Saat ini, Indonesia juga punya kompetisi paling ketat di Asia Tenggara.

Jadi, ungkapan tersebut jelas ironis. Tapi, coba tengok apa yang terjadi di sepak bola Indonesia saat ini. Jika, kita jeli melihatnya, maka ungkapan Charis dan Bendol-sapaan akrab Benny Dolo-justru terdengar cukup logis.

Saat ini otoritas sepak bola Indonesia (PSSI) krisis legitimasi. Bukan saja dari masyarakat Indonesia, tapi juga dari dunia internasional. Sudah tahu minim legitimasi, sikap mereka juga seringkali inkonsistensi dalam bersikap. Seperti mengubah aturan dengan sekenanya sendiri.

Ambilnya contoh kompetisi sepak bola Indonesia. Berapakali, kompetisi dijalankan tanpa degradasi. Sebuah sikap salah tentunya. Sebab, bagaimanapun juga esensi kompetisi adalah persaingan. Dalam persaingan itu tentu ada penghargaan dan hukuman. Nah, salah satu bentuk hukuman tersebut adalag mendegradasi klub yang tidak berprestasi.

Contoh lain adalah aturan kuota pemain asing di kompetisi tertinggi Indonesia. Dalam beberapa tahun terakhir, kuota pemain asing selalu lima. Sadar atau tidak, aturan itu jelas mereduksi kesempatan para pemain Indonesia, utamanya pemain muda berkembang. Jika sudah begitu, imbasnya tentu minimnya suplai untuk pemain Timnas. Akhirnya Timnas pun sulit berprestasi.

Jadi, bisa jadi bukan sesuatu yang salah ungkapan Charis dan Bendol. Justru kegagalan ini, kita harus sadar bahwa Indonesia memang sudah jauh tertinggal. Indonesia lagi bukan lagi bangsa nomor satu di sepak bola Asia Tenggara. Untuk itu, perubahan harus dilakukan.

Perubahan yang bukan sebatas pergantian pengurus PSSI. Tapi, juga perubahan cara berpikir kita dalam membangun sepak bola Indonesia. Sudah bukan saatnya melakukan sesuatu hanya untuk kepentingan pribadi. Bukan saatnya melakukan segala sesuatu dengan cara instan. Dan perubahan itu harus segara kita lakukan agar harapan kita kepada Timnas tidak lagi sekedar berhenti pada hanya sekedar harapan.

Bangkok, 20 Desember 2008
Read More..

03 Desember 2008

Saatnya Jadi Juara

17 tahun sudah sepak bola Indonesia pacaklik prestasi. Selama itupula publik sepak bola negeri ini selalu dibuat mengelus dada oleh pencapaian tim nasional (Timnas) Indonesia. Harapan demi harapan yang mereka gantungkan kepada Timnas selalu berbalas pahit selama 17 tahun ini. Tak satupun ”gelar” yang mampu dipersembahkan Timnas ke publik.

Memang Agustus lalu, skuad Merah Putih sukses meraih gelar juara Piala Kemerdekaan 2008. Tapi, gelar itu tidaklah membanggakan bagi publik. Bukan saja kontestan Piala Kemerdekaan 2008 kurang berkualitas. Tapi, lebih dari itu, Indonesia juara dengan cara tidak elegan.

Libya yang menjadi lawan di final, tidak mau melanjutkan pertandingan babak kedua. Meski di babak pertama, Libya unggul 1-0. Mereka mundur karena merasa terintimidasi dengan tindakan anarkis offsial Indonesia saat jeda pertandingan.

Memang tahun 2000 lalu Indonesia juara Piala Kemerdekaan. Namun, seperti gelar juara yang diraih Pasukan Garuda Agustus lalu, tropi tahun 2000 itu juga tidak mampu menghapus dahaga publik. Sebab, ekspektasi pecinta sepak bola tanah air adalah melihat Indonesia minimal juara di tingkat Asia Tenggara.

Gelar seperti yang dicapai Indonesia tahun 1991 silam. Saat Indonesia berhasil menjadi yang terbaik di SEA Games 1991 yang berlangsung di Manila, Filipina. Kala itu, skuad Merah Putih sukses menggondol medali emas setelah menghempaskan Thailand melalui drama adu tendangan penalti.

Nah, Desember ini, pacaklik prestasi itu berpeluang diakhiri Indonesia. Kebetulan Timnas bakal berlaga di even sepak bola level Asia Tenggara. Pasukan Garuda akan terjun di Piala AFF 2008.

Publik pun telah menaruh harapan selangit akan cerita sukses Timnas di ajang tersebut. Harapan yang tentu sudah harus diwujudkan oleh Timnas. Sebab, menunngu selama 17 tahun jelas menjadi waktu yang sangat-sangat melelahkan bagi publik. Apalagi, menunggu sendiri merupakan hal yang menjenggelkan.

Jadi, jangankan menunggu 17 tahun, menunggu 1 detik saja sudah melelahkan. Karena itu, inilah saatnya bagi Pasukan Garuda mengakhiri penantian panjang masyarakat Indonesia akan prestasi Timnas.

Kesempatan untuk berprestasi itu sendiri kini terbuka bagi Indonesia di Piala AFF 2008. Indonesia punya keuntungan untuk bisa melenggeng lebih mudah ke semifinal. Keuntungan itu seiring status Indonesia sebagai tuan rumah Grup A. Dengan status tersebut, dukungan publik dipastikan mengalir deras ke Timnas. Sebab, semua tahu bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat gila bola..

Selain punya keuntungan, saat ini memang sudah menjadi waktinya Timnas juara. Apalagi, materi yang dimiliki Timnas saat ini mayoritas sudah kenyang pengalaman laga internasional. Mayoritas juga sudah lama berkolaborasi dengan balutan seragam Timnas. Jadi, satu sama lainnya sudah paham akan karakter permainan rekannya. Kekompakan mereka juga sudah tidak perlu lagi disangsikan.

Yang tidak kalah penting, sebagian besar skuad Timnas saat ini usianya sudah dia atas 25 tahun. Tercatat 15 pemain usianya lebih dari 27 tahun. Nama-nama itupun mayoritas menghuni komposisi utama. Sebut saja seperti Bambang Pamungkas, Budi Sudarono, Charis Yulianto, Ismed Sofyan, Isnan Ali, Firman Utina, atau Ponaryo Astaman.

Dari daftar 23 pemain yang ada, hanya empat anggota Timnas yang kini usianya di bawah 25 tahun. Dan cuma dua orang yang mengisi line up utama. Yakni Arif Suyono dan Muhamad Roby.

Dengan fakta tersebut, bisa jadi Piala AFF 2008 ini akan menjadi kesempatan akhir mayoritas dari mereka untuk berseragam Timnas. Jadi, ini memang saat yang tepat bagi mereka mempersembahkan gelar juara. Sebab, jika gagal, maka bukan tidak mungkin tidak ada lagi kesempatan bagi mereka mengantarkan Indonesia ke tangga juara.
Jadi, inilah saat tepat mengakhiri paceklik prestasi. Kalau tidak sekarang, kapan lagi?
Read More..