26 Desember 2008

Menunggu Lagi (Harus Ada Perubahan)

Malam yang kelam. Dan saya pun harus tertunduk lagi. Saya dan tentunya masyarakat Indonesia harus menanti lebih panjang lagi akan prestasi tim nasional (Timnas) Indonesia. Pasalnya, harapan melihat skuad Merah Putih berprestasi di Piala AFF 2008 harus pupus malam ini.

Bahkan, alih-alih juara, Indonesia malah gagal menembus partai final. Indonesia hanya sanggup bertahan hingga babak semifinal. Pasukan Garuda harus rela menerima kenyataan disingkirkan Thailand di semifinal. Kegagalan tersebut menyusul dua kekalahan yang diterima Indonesia dari Thailand di babak semifinal.

Setelah di first leg semifinal Indonesia dipermalukan 0-1 di Jakarta pada 16 Desember lalu, malam ini di second leg semifinal, Charis Yulianto kembali dikandaskan Thailand. Malam ini Indonesia ditekuk 1-2 di Stadion Rajamangala, Bangkok, Thailand.

Kenyataan yang jelas cukup pahit. Saya dan masyarakat Indonesia harus kembali menunggu. Pekerjaan yang tentu sangat melelahkan. Apalagi, sebelumnya kami sudah menunggu 17 tahun. Sejak Indonesia tidak mampu mempertahankan prestasi seperti tahun 1991, tatkala Merah Putih sukses menjuarai sepak bola SEA Games Manila.

Karena itu, saya pun sangat berat untuk bangkit dari tribun Stadion Rajamanggala. Ingin menangis rasanya. Tapi, airmata justru terasa berat mengalir dari pelupuk mata. Saya hanya bisa menghela nafas panjang untuk melepaskan beban berat ini.

Situasi yang bertolak belakang dengan menit kesembilan pertandingan. Saat itu, asa melihat Indonesia berpretasi sempat menyembul tinggi. Itu menyusul gol Nova Arianto memanfaatkan umpan Ismed Sofyan dari tendangan penjuru. (Gol yang menurut versi AFF merupakan gol bunuh diri Chonlatit Jantakam). Tapi, harapan tersebut buyar ketikaTeeratep Winothai membobol gawang Indonesia yang dikawal Markus Horison pada menit 72. Hati semakin tersayat saat Ronnachai Rangsiyo mencetak gol tiga menit jelang bubaran pertandingan.

”Meski Indonesia kalah, tetap semangat membuat berita,” pesan singkat seorang kawan dari Surabaya masuk ke telepon genggamku lima menit setelah pertandingan.

Saya pun berusaha bangkit dari tribun. Saya lalu berjalan menuju lorong pemain. Di situ saya bersua Benny Dolo-pelatih Indonesia. Kami pun berbincang. Saya juga masuk ke ruang ganti pemain. Semua tertunduk lesu. Tak terkecuali Charis Yulianto-kapten Indonesia-yang menyempatkan berbincang dengan saya. ”Mungkin ini hasil terbaik yang bisa kami capai,” kata Charis. Perkataan yang sama sebelumnya meluncur dari Benny Dolo ketika kami berbincang di lorong pemain.

”Inilah hasil terbaik yang bisa dicapai Indonesia saat ini”. Ironis terdengarnya. Sebab, Indonesia memiliki sejarah yang hebat di sepak bola Asia Tenggara. Bahkan, bangsa ini pernah menjadi Manca Asia. Saat ini, Indonesia juga punya kompetisi paling ketat di Asia Tenggara.

Jadi, ungkapan tersebut jelas ironis. Tapi, coba tengok apa yang terjadi di sepak bola Indonesia saat ini. Jika, kita jeli melihatnya, maka ungkapan Charis dan Bendol-sapaan akrab Benny Dolo-justru terdengar cukup logis.

Saat ini otoritas sepak bola Indonesia (PSSI) krisis legitimasi. Bukan saja dari masyarakat Indonesia, tapi juga dari dunia internasional. Sudah tahu minim legitimasi, sikap mereka juga seringkali inkonsistensi dalam bersikap. Seperti mengubah aturan dengan sekenanya sendiri.

Ambilnya contoh kompetisi sepak bola Indonesia. Berapakali, kompetisi dijalankan tanpa degradasi. Sebuah sikap salah tentunya. Sebab, bagaimanapun juga esensi kompetisi adalah persaingan. Dalam persaingan itu tentu ada penghargaan dan hukuman. Nah, salah satu bentuk hukuman tersebut adalag mendegradasi klub yang tidak berprestasi.

Contoh lain adalah aturan kuota pemain asing di kompetisi tertinggi Indonesia. Dalam beberapa tahun terakhir, kuota pemain asing selalu lima. Sadar atau tidak, aturan itu jelas mereduksi kesempatan para pemain Indonesia, utamanya pemain muda berkembang. Jika sudah begitu, imbasnya tentu minimnya suplai untuk pemain Timnas. Akhirnya Timnas pun sulit berprestasi.

Jadi, bisa jadi bukan sesuatu yang salah ungkapan Charis dan Bendol. Justru kegagalan ini, kita harus sadar bahwa Indonesia memang sudah jauh tertinggal. Indonesia lagi bukan lagi bangsa nomor satu di sepak bola Asia Tenggara. Untuk itu, perubahan harus dilakukan.

Perubahan yang bukan sebatas pergantian pengurus PSSI. Tapi, juga perubahan cara berpikir kita dalam membangun sepak bola Indonesia. Sudah bukan saatnya melakukan sesuatu hanya untuk kepentingan pribadi. Bukan saatnya melakukan segala sesuatu dengan cara instan. Dan perubahan itu harus segara kita lakukan agar harapan kita kepada Timnas tidak lagi sekedar berhenti pada hanya sekedar harapan.

Bangkok, 20 Desember 2008

Tidak ada komentar: