10 Januari 2012

Klagen

Aroma sepak bola begitu terasa di Klagen. Seperti halnya Minggu (8/1) kemarin. Ketika fajar belum lama menyingsing, puluhan anak berkumpul di lapangan sepak bola kampung tersebut. Bajunya seragam : kostum sepak bola berwarna kuning. Di dada tertulis nama SSB Kelud Putra : akronim dari Klagen Wilayut.

Minggu itu anak-anak tersebut hendak berangkat ke Mojokerto untuk menjalani pertandingan persahabatan. Kalau tidak menjalani pertandingan ke luar kota, setiap Minggu, anak-anak itu dipastikan bakal memenuhi lapangan kampung. Tentu saja mereka tidak sekedar bermain sepak bola, tapi juga belajar memainkan si kulit bundar dengan benar.

”Sepak bola sudah menjadi bagian kehidupan masyarakat Klagen. Sepak bola juga menjadi sumber motivasi anak-anak Klagen dalam menjalani kehidupan,” ujar sesepuh sepak bola Klagen, Slamet.

Karena itu, sepak bola nyaris tidak pernah berhenti dimainkan di Klagen. Tak hanya Minggu pagi, lapangan kampung Klagen juga selalu penuh anak dan juga remaja bermain sepak bola. Yang tidak kebagian lapangan, bakal memainkannya di halaman rumah. Kalau tidak ya di gang-gang. ”Ini sudah turun-temurun. Dan semua orang tua selalu mendukung anak-anak untuk bermain sepak bola,” tegas Slamet yang juga mantan lurah Klagen sekaligus pendiri SSB Kelud Putra.

Klagen adalah sebuah kampung di Desa Wilayut, Sukodono, Sidoarjo. Letaknya di barat laut Kota Sidoarjo. Klagen dikelilingi persawahan. Mayoritas penduduknya pun bertani. Namun, anak-anak mudanya tak ingin sekedar menjadi petani. Bukan karena mereka malu menjadi petani. Tapi, karena di Indonesia menjadi petani tidak sejahtera. Mereka ingin hidup lebih sejahtera. Dan sepak bola dipandang sebagai jalan yang tepat untuk melakukan perubahan tersebut.

Tak heran jika akhirnya Klagen menjadi kampung yang istimewa dalam sejarah sepak bola nasional. Kampung tersebut merupakan produsen pemain nasional. Sejak tahun 90-an, lima pemuda Klagen telah dan masih tercatat sebagai punggawa Timnas. Dimulai dari Nurul Huda. Bek kanan yang kini bermain di Persijap Jepara itu merupakan anggota Primavera yang berguru di Italia

Setelah itu ada Uston Nawawi yang menjadi bagian Barreti yang juga berlatih di Italia. Selain itu, pemain berusia 34 tahun tersebut tujuh tahun menjadi bagian skuad Garuda. Terhitung mulai tahun 1997 hingga 2004.

Nama lainnya adalah Arif Ariyanto yang pernah berseragam Timnas U-20. Lalu Lucky Wahyu yang pernah membela Timnas U-14 hingga Timnas U-23 di SEA Games 2009 lalu. Satu lagi adalah Hariono. Bahkan, gelandang Persib Bandung itu hingga kini masih dipercaya di skuad Timnas.

Di luar nama-nama tersebut, Klagen juga melahirkan pemain-pemain berkualitas lainnya, meski tidak berlabel anggota Timnas. Sebut saja Sutaji yang pernah berjaya bersama Arema Malang. Gelandang lincah Persebaya Surabaya Rendi Irawan juga berasal dari Klagen.

”Tentu munculnya mereka tidak tiba-tiba. Selain karena kultur kampung ini yang begitu lekat dengan sepak bola. Mereka seperti itu juga karena berusaha keras dan rela kehilangan masa anak-anak serta remajanya untuk berlatih sepak bola,” kata Suwadi, tokoh sepak bola Klagen sekaligus ayah Uston.

Fakta lainnya yang tak kalah istimewa, ternyata mayoritas para pemain tersebut dulu lahir dan tinggal di satu gang. Tepatnya di Gang Nyi Pasek. Mereka yang berasal dari Gang Nyi Pasek antara lain Nurul Huda, Uston Nawawi, Lucky Wahyu, Arif Ariyanto, dan Rendi Irawan. Mereka mereka pun berdekat. Rumah Uston dan Rendy bersebelah yang sekaligus berhadapan dengan rumah Arif dan Lucky.

Hanya rumah Hariono dan Sutaji yang agak berjauhan. Rumah Hariono terletak di depan lapangan, sedang tempat tinggal Sutaji berada di sisi timur lapangan. ”Huda, Uston, dan Sutaji tumbuh bersama-sama. Sedang, Arif, Lucky, Hariono, dan Rendy juga berkembang bersama-sama,” terang Slamet.

Dari sepak bola, anak-anak Klagen itupun akhirnya mampu mengubah hidupnya. Uston Nawawi misalnya. Di lapangan hijau, Uston pernah sebelas tahun berseragam Persebaya Surabaya dan tujuh tahun membela Timnas. Uston juga pernah mencecap gelar juara Liga Indonesia III bersama Persebaya.

Di luar arena, Uston yang dulu hanya memiliki sepeda angin, kini telah memiliki rumah megah di pusat kota Sidoarjo. Uston juga memiliki tempat usaha dua sekaligus. Pemain yang kini bermain di Persegres Gresik itu mengelola restoran bersama istrinya di Sidoarjo dan mempunyai bengkel bubut di kampung halamannya.

”Apapun profesi yang kita jalani, asal ditekuni dengan serius dan tidak lupa berdoa tentu akan berhasil. Tanpa kerja keras, kesuksesan itu tentu tidak akan datang,” ujar Uston.

Sama seperti Uston, para pemain lainnya pun sama. Mereka yang dulu tak memiliki apa-apa, kini hidup lebih sejahtera. Lucky Wahyu misalnya. Di usia yang baru 21 tahun, Lucky telah mampu membeli mobil dengan harga lebih dari Rp 300 juta dari kantongnya sendiri. Lucky juga kini memiliki rumah cukup besar di pusat kota Sidoarjo.

Hariono tak jauh berbeda. Gelandang Persib Bandung itu yang dulunya hanyalah buruh di gudang, kini telah memiliki sebuah tempat usaha di Bandung. Hariono yang awalnya hanya dikontrak Rp 10 juta satu musim kala membela Deltras Sidoarjo, di Persib dia dibayar tak kurang dari Rp 800 juta.

Kini Klagen pun tidak bakal berhenti untuk terus memproduksi pemain-pemain nasional. Masyarakat Klagen bakal terus menggelorakan kecintaan sepak bola kepada anak-anak. ”Satu hal pula yang tidak akan pernah kami lupakan. Setiap ada anak yang terlihat berbakat, kami akan usaha untuk memenuhi kebutuhan makan yang layak untuknya,” sebut Slamet.
Read More..