11 Mei 2011

Bepe dan Cara Dia Merawat Mimpi


Judul : Bepe20 Ketika Jemariku Menari
Penulis : Bambang Pamungkas
Penerbit : Tunas Bola, Jakarta
Tahun : 2011
Halaman : 383


BANGKOK, 19 Desember 2008. Sembari menunggu salat Jumat (kami lupa mencatat nama masjidnya), Bambang Pamungkas meletupkan mimpinya kepada saya. Dia berkeinginan memiliki karya di luar lapangan hijau. Tepatnya, Bepe—demikian Bambang Pamungkas akrab disapa—berobsesi menulis buku.

Dua tahun lewat empat bulan, mimpi itu menjadi kenyataan. Bepe akhirnya benar-benar mampu menelurkan buku. Sebuah buku yang sangat istimewa. Sebab, dalam deretan buku olahragawan di Indonesia, inilah satu-satu karya yang ditulis sendiri oleh sang atlet.

Seperti tagline hidupnya bahwa setiap individu tidak boleh takut bermimpi, Bepe memang pribadi yang tak sungkan untuk bermimpi. Dan, penyerang yang identik dengan nomor punggung 20 itu pun selalu yakin mimpinya tersebut bakal menjadi kenyataan. Tentu, dengan syarat: mimpi itu harus dirawat

Buku yang dihasilkannya ini merupakan bukti keteguhannya merawat mimpi itu. Sepulang dari Bangkok 19 Desember 2008, Bepe rajin menuangkan tulisan di situs pribadinya, Bambangpamungkas20.com. Situs yang mulai aktif akhir 2007.
Dia menulis kapan saja: di sela himpitan latihan, ketika menunggu pertandingan, atau dalam perjalanan melakoni pertandingan tandang. Baik bersama tim nasional maupun Persija Jakarta.

Hasilnya, sebuah buku yang menarik—untuk ukuran seseorang yang tak pernah mengenyam pendidikan jurnalistik atau sastra. Tulisan di dalamnya menawan dan penuh warna. Ringan, lugas, sekaligus cerdas.

Membaca buku Bepe, perasaan kita seperti teraduk. Kita bisa tertawa terbahak saat membaca Confession of a Bad Boy (hal 89) atau Maafkan Aku Sobat (hal 329). Dua tulisan yang mengisahkan kejahilan Bepe terhadap rekan-rekannya di tim nasional dan Persija.

Namun, seketika dada kita pun bisa berubah sesak saat menikmati kisah Bepe tentang kehidupannya di timnas yang tak ubahnya serdadu dan narapidana. Kendati para pemain tim nasional sejatinya adalah pribadi-pribadi pilihan (hal 28).

Melalui kisah-kisah yang ditulis Bepe, kita juga bisa belajar untuk bangkit dari keterpurukan. Tengok kisahnya tentang cedera parah yang menghantamnya di awal karir di lapangan hijau (hal 176). Itu dialaminya pada 2002. Tulang fibula engkel kirinya patah. Tak hanya itu, ligamen lutut kirinya juga rusak cukup parah akibat terjangan kiper Arema Malang Agus Setiawan. Top scorer timnas Indonesia itu harus naik meja operasi. Hampir enam bulan dia absen dari lapangan hijau.

Sebuah keadaan yang tentu tidak mudah bagi pesepak bola manapun. Tapi, Bepe tak lantas putus asa. Masa-masa sulit pun akhirnya terlewati. Buntutnya, prestasi gemilang berhasil digenggamnya. Terutama ketika dia merebut tiga gelar bersama tim Malaysia, Selangor FC, dalam satu musim.

Buku ini juga memuat pikiran dan pandangan jebolan Diklat Salatiga itu tentang banyak hal, tak hanya sepak bola. Misalnya soal bahaya narkoba. Dalam tulisan Selamatkan Dirimu, Generasimu, dan Bangsamu, (hal 253), Bepe mengajak anak-anak muda untuk menghindarkan diri dari cengkeraman narkoba.

Soal sepak bola, Bepe melemparkan ide tentang pembinaan. Menurutnya, sepak bola bakal stagnan kalau tak hirau akan pembinaan. Bepe pun menuangkan gagasannya tentang itu yang dibungkus dalam tulisan mengenai pentingnya arti sebuah regenerasi (hal 24).

Sayang, tetap saja ada yang tertinggal dari buku ini. Bepe lupa menulis kampung halamannya, Getas, Kabupaten Semarang, secara utuh. Padahal, seperti kerap diakuinya, Getas bukan sekedar tempat lahir. Tapi, juga tempat yang selalu memotivasinya untuk terus bermimpi.

Yang juga terlewatkan, keistimewaannya dalam perkara heading. Tinggi badan Bepe tak seberapa, tapi dia dikenal memiliki kelebihan dalam melompat. Sehingga, duel udara merupakan salah satu senjata andalannya sebagai tukang gedor.

Sayang, Bepe tak menggambarkan rahasia kelebihannya tersebut. Padahal, lompatan tinggi pemain yang pernah merumput di Liga Belanda itulah yang menjadi ciri pembeda dirinya dengan striker-striker Indonesia lain.

Tapi, dengan beberapa kekurangan itu pun, buku ini tetap amat layak dibaca. Baik oleh anak-anak sekolah dasar, para remaja, maupun orangtua. Tak peduli yang suka sepak bola maupun tidak.

Kenapa? Sebab, buku ini menggambarkan sebuah keberanian anak kampung untuk bermimpi. Buku ini juga melukiskan dengan indah cara merawat mimpi dalam balutan profesionalisme. Sikap yang selalu mengedepankan disiplin, kerja keras, dan optimisme.

Dimuat di Jawa Pos edisi 8 Mei 2011.
Read More..