01 Agustus 2019

Belum Ada Judul

Ini pertandingan yang benar-benar menguras emosi saya sebagai Arek Lamongan. Apalagi, saya berada di Tribun Stadion Surajaya, Lamongan, Senin malam (29/7) itu. Saya sangat kesal dengan tindakan kiper Persela Lamongan Dwi Kuswanto. Bagaimana bisa Dwi Kus melakukan tindakan konyol. Menanduk kepala gelandang Borneo FC Wahyudi Hamisi ketika bola sudah aman dalam pelukannya. Di saat kemenangan sudah di depan mata Persela pula.

Dwi Kus sejatinya punya kesempatan mengulur waktu dalam situasi tersebut. Selain pertandingan sudah memasuki menit akhir, Persela juga dalam posisi unggul 2-1. Dua gol tim asal Kota Soto tersebut dicetak Alex Dos Santos Goncalves. Gol pertama striker asal Brasil itu lahir titik penalti pada menit 63. Sedang gol kedua dilesatkan enam menit kemudian. Dua gol Alex itu membalas gol Borneo yang diceploskan Renan Silva pada menit 19.

Tapi, lagu kemenangan yang sudah berkumandang di Surajaya berubah menjadi amarah. Gara-gara tandukannya, Dwi Kus diganjar kartu merah oleh wasit Wawan Rapiko. Hamisi juga mendapat hukuman kartu serupa dari wasit. Pemain, offisial, dan suporter Persela pun sangat kesal dengan kartu merah tersebut. Apalagi, wasit asal Riau itu juga menghukum Persela dengan penalti. Dan dari hadiah penalti itulah Borneo menyamakan kedudukan menjadi 2-2 lewat eksekusi Lerby Eliandri.

Nah, pada titik itulah, saya juga sangat kesal dengan sikap wasit yang tidak tegas. Bukan, bukan kesal terhadap keputusannya memberikan kartu merah kepada Dwi Kus. Soal ganjaran kartu merah yang dijatuhkan kepada kiper Persela itu, saya sangat sepakat dengan keputusan wasit. Dalam peraturan permainan sepak bola jelas tertulis seperti itu. Dwi Kus jelas salah karena dia menanduk kepala gelandang Borneo. Tindakannya tersebut sangat tidak terpuji. Read More..

17 Juni 2019

Ketika ”Anak Baru” Itu Melantai di Bursa Saham

PENGUMUMAN yang terpampang di depan stadion itu begitu menggembirakan hati Dewa Putu. Dia tidak hanya akan melihat pengelolaan kesebelasan kesayangannya, Bali United, semakin transparan. Tapi, sekaligus berkesempatan bisa lebih memiliki tim berjuluk Serdadu Tridatu tersebut.

Pengumuman di Stadion Kapten I Wayan Dipta, Gianyar, Bali, itu menegaskan bahwa PT Bali Bintang Sejahtera Tbk, perusahaan pengelola Bali United, bakal melakukan penawaran saham perdana ke publik. Penawaran tersebut dijadwalkan mulai 10 sampai 12 Juni 2019.

Dan, begitu tanggal 10 Juni itu datang, Dewa Putu pun bergegas ke Denpasar. Persisnya ke Hotel Inna Bali Heritage, tempat penawaran saham perdana Bali United dilakukan. Laki-laki 35 tahun itu tidak berangkat sendiri. Tapi, bersama rekan-rekannya sesama suporter. ”Saya beli 100 lot atau 10 ribu lembar saham,” katanya. Untuk membeli 10 ribu lembar saham itu, Dewa Putu harus mengeluarkan uang Rp 1.750.000. Per lembar saham dihargai Rp 175.

Bali United melepas total 2 miliar lembar saham atau 33,33 persen dari jumlah modal ditempatkan dan disetor. Dengan begitu, jika terjual semua, perseroan bisa mendapat dana Rp 350 miliar. Dan, setelah 1 persen di antaranya dilepas pada penawaran perdana 10–12 Juni di Bali, saham Bali United mulai diperdagangkan di Bursa Efek Indonesia pada 17 Juni 2019.

”Saya memutuskan membeli saham karena ingin memiliki Bali United bukan sekadar secara emosional semata,” ujar laki-laki asal Gianyar tersebut. Read More..

08 April 2019

Jangan Ada Rantis di Antara Kita

DULU saya tak pernah melihat pemandangan ini: pemain datang ke stadion naik kendaraan taktis (rantis). Begitu pula halnya ketika pemain pulang dari stadion. Bukan hanya di Surabaya. Tapi juga di Malang, Bandung, dan Jakarta.

Dulu saya melihat pemain Arema Malang datang ke Gelora 10 Nopember, Surabaya, naik bus. Saya juga ikut rombongan bus pemain Persebaya Surabaya saat bermain di Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang, pada 2007.

Beberapa kali saya menyaksikan pemain Persib Bandung melawat ke Stadion Lebak Bulus, Jakarta Selatan, naik bus. Pun demikian, saya melihat pemain Persija Jakarta berangkat ke Stadion Siliwangi, Bandung, dengan bus.

Tapi, kenapa itu semua kini berubah? Pemain dari empat kesebelasan tersebut datang ke stadion justru naik rantis. Ini sepak bola. Bukan perang. Meski memang harus diakui, kata ”perang” sering digunakan dalam berita sepak bola. Tapi, itu lebih karena untuk menggambarkan keseruan. Bukan tentang adu fisik untuk melontarkan serangan kekerasan dan ”saling bunuh”. Betapa tidak nyamannya para pemain harus datang dan meninggalkan stadion dengan naik kendaraan militer itu. Bukan saja soal kenyamanan fisik, tapi juga psikis. Read More..

02 April 2019

Eri Irianto dan Ban Bekas

Eri Irianto. Mendengar nama itu pasti berkelindan tentang tendangan kencang dalam ingatan kita. Tentang tendangan geledek.

Eri memang momok bagi penjaga gawang lawan. Ketika ada tendangan bebas di depan gawang dan Eri yang menghadapi bola, kiper lawan pasti cemas. Sebab, itu tadi, tendangannya benar-benar sangat kencang.

Sayang perjalanan Eri tak panjang. Dia harus meninggalkan lapangan hijau dan sepak bola di usia yang masih sangat muda: 26 tahun. Eri menutup mata untuk selamanya pada 3 April 2000, beberapa jam setelah membela Persebaya Surabaya melawan PSIM Jogjakarta di Gelora 10 Nopember, Surabaya.

Eri pergi dengan catatan indah. Di usia yang begitu muda, tiga kali dirinya membawa kesebelasan yang dibelanya tampil di final Liga Indonesia. Bersama Petrokimia Putra Gresik di musim 1994/1995 dan dengan Persebaya pada musim 1996/1997 serta 1998/1999. Di final pertama dan ketiga, Eri hanya menjadi runner up. Tapi, di edisi 1996/1997, dia menjadi bagian penting Persebaya saat menahbiskan diri sebagai kesebelasan terbaik di Indonesia. Read More..

25 Januari 2019

Sekarang Bola Itu Ada di Kaki Suporter

Sepak bola tak lagi ditempatkan sebagai sepak bola di negeri ini. Kalaupun dipandang sebagai sepak bola, itu berada pada urutan kesekian. Bukan yang pertama. Bukan yang utama.

Selama bertahun-tahun, politik selalu menempati urutan pertama dalam sepak bola Indonesia. Disusul urusan bisnis di luar sepak bola, lalu perkara ”uang receh”, dan baru kemudian sepak bola itu sendiri.

Bertahun-tahun sepak bola Indonesia dimanfaatkan untuk kepentingan politik praktis. Dijadikan alat untuk meraih kursi. Dijadikan kendaraan meraih kekuasaan. Entah itu kursi eksekutif ataupun legislatif. Dan itu dilakukan secara telanjang. Contohnya pun sangat banyak. Read More..