02 Desember 2009

Melestarikan Warisan Sekaligus Membayar Utang

Rambutnya sudah didominasi warna putih. Salah satu tanda bahwa pria itu sudah cukup berumur. Kendati begitu, semangatnya tetap terjaga. Bahkan, begitu menyala jika bersinggungan dengan bulu tangkis.

Christian Hadinata pria itu. 11 Desember nanti usianya genap 60 tahun. 3/4 dari umurnya tersebut dijalaninya di bulu tangkis. ”Hanya di masa kecil saja saya tidak sepenuhnya bersinggungan dengan bulu tangkis. Sebab, selain bermain bulu tangkis, saya juga bermain sepak bola,” kata Christian.

Selepas SMA, tepatnya pada 1969, barulah Christian benar-benar fokus ke bulu tangkis. Pada tahun itu dia memutuskan berlatih total bulu tangkis di klub Blue White-kini PB Mutiara-Bandung. Sejak itu hari-hari Christian tidak pernah jauh dari lapangan bulu tangkis.

Pria kelahiran Purwokerto tersebut menyandang status atlet dari 1969 hingga 1988. Beragam gelar direngkuhnya semasa aktif sebagai pemain sektor ganda. Christian telah mereguk nikmatnya gelar juara All England, Juara Indonesia Terbuka, dan Juara Dunia. Christian juga mengantarkan Indonesia menjuarai Piala Thomas pada 1973, 1976, 1979, dan 1984.

Setelah memutuskan gantung raket pada 1988, Christian tidak lantas meninggalkan lapangan bulu tangkis. Suami Yoke Anwar tersebut memilih untuk tetap berada di lapangan bulu tangkis. Bukan lagi sebagai atlet tentunya. Namun, Christian mengisi posisi sebagai pelatih.

Awalnya, dia melatih untuk salah satu klub yang telah membesarkan namanya PB Djarum Kudus. Pada tahun 1990 teknokrat olahraga Indonesia, M.F Siregar mengajaknya bergabung melatih sektor ganda pria Pelatnas. Christian menyanggupi. Dan bahkan dia tetap bertahan di Pelatnas hingga kini.

Saat ini jabatannya adalah Kepala Sub Bidang Pelatnas. Kendati begitu, setiap hari, Christian tidak pernah segan berkeluh keringat di lapangan bersama anak-anak Pelatnas. ”Para pendahulu kita telah mewariskan sesuatu yang luar biasa berupa prestasi bulu tangkis. Sebagai generasi penerus saya merasa bertanggungjawab untuk melestarikannya,” ujarnya.

Generasi sebelum Christian memang telah menorehkan prestasi luar biasa di bulu tangkis. Tan Joe Hok, Ferry Sonneville, Eddy Yusuf, Olich Solihin, Lie Po Djian, Tan King Gwan dan Njoo Kim Bie berhasil membawa Indonesia juara Piala Thomas untuk kali pertama pada 1958.

”Bagaimana mungkin saya melupakan warisan hebat tersebut. Saya harus menjaga dan melestarikannya. Karena itu, saya selalu termotivasi untuk terus berada di lapangan guna menjaga eksistensi bulu tangkis di Indonesia dan prestasinya,” tegas Christian.

Satu hal lagi yang mendorong Christian tetap berada di lapangan bulu tangkis. Hal tersebut adalah hutang. Christian merasa punya utang yang begitu besar terhadap bulu tangkis dan PBSI (Persatuan Bulu Tangkis Indonesia).

”Dari bulu tangkis saya mendapat banyak hal. Materi, prestasi, kebanggaan, teman, serta bisa berkesempatan keliling dunia. Itu semua saya anggap utang. Karena itu, saya harus berbuat untuk bulu tangkis sebagai bentuk saya membayar utang tersebut,” tutur Christian.

Sampai kapan Christian akan membayar utang itu? ”Sampai akhir hayat saya. Mungkin sampai saya tidak ada, saya rasa utang itu tidak bakal terbayar,” sebut Christian.

Ayah Mario Hadinata dan Mariska Hadinata itu mungkin merasa utangnya tidak akan terbayar lunas. Namun, publik jelas telah menilai Christian telah memberi banyak untuk prestasi bulu tangkis Indonesia selama menjadi pelatih.

Betapa tidak, Edi Hartono/Gunawan yang merupakan anak didik pertama Christian di Pelatnas telah menyumbangkan medali perak di Olimpaide Barcelona 1992. Setelah itu, Christian melahirkan salah satu ganda pria terbaik di dunia Ricky Subagja/Rexy Mainaky. Beragam gelar juara didatangkan ganda tersebut untuk ibu pertiwi. Salah satunya adalah medali emas Olimpiade Atlanta 1996.

Pada Olimpiade 1996, anak asuhnya Christian yang lain Denny Kantono/Antonius Ariantho mempersembahkan medali perunggu. Di bawah bimbingan Christian pula Chandra Wijaya/Tony Gunawan meraih medali emas Olimpiade 2000. Selain itu juga ada Markis Kido/Hendra Setiawan yang membawa pulang medali emas Olimpiade 2008.

”Tapi saya bukan pelatih yang sempurna. Sukses tersebut tidak luput dari kualitas para pemain. Saya juga punya kekurangan lain. Dimana, saya selalu tidak bisa berbuat adil untuk semua nomor,” aku Christian.
Read More..