08 April 2019

Jangan Ada Rantis di Antara Kita

DULU saya tak pernah melihat pemandangan ini: pemain datang ke stadion naik kendaraan taktis (rantis). Begitu pula halnya ketika pemain pulang dari stadion. Bukan hanya di Surabaya. Tapi juga di Malang, Bandung, dan Jakarta.

Dulu saya melihat pemain Arema Malang datang ke Gelora 10 Nopember, Surabaya, naik bus. Saya juga ikut rombongan bus pemain Persebaya Surabaya saat bermain di Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang, pada 2007.

Beberapa kali saya menyaksikan pemain Persib Bandung melawat ke Stadion Lebak Bulus, Jakarta Selatan, naik bus. Pun demikian, saya melihat pemain Persija Jakarta berangkat ke Stadion Siliwangi, Bandung, dengan bus.

Tapi, kenapa itu semua kini berubah? Pemain dari empat kesebelasan tersebut datang ke stadion justru naik rantis. Ini sepak bola. Bukan perang. Meski memang harus diakui, kata ”perang” sering digunakan dalam berita sepak bola. Tapi, itu lebih karena untuk menggambarkan keseruan. Bukan tentang adu fisik untuk melontarkan serangan kekerasan dan ”saling bunuh”. Betapa tidak nyamannya para pemain harus datang dan meninggalkan stadion dengan naik kendaraan militer itu. Bukan saja soal kenyamanan fisik, tapi juga psikis. Read More..

02 April 2019

Eri Irianto dan Ban Bekas

Eri Irianto. Mendengar nama itu pasti berkelindan tentang tendangan kencang dalam ingatan kita. Tentang tendangan geledek.

Eri memang momok bagi penjaga gawang lawan. Ketika ada tendangan bebas di depan gawang dan Eri yang menghadapi bola, kiper lawan pasti cemas. Sebab, itu tadi, tendangannya benar-benar sangat kencang.

Sayang perjalanan Eri tak panjang. Dia harus meninggalkan lapangan hijau dan sepak bola di usia yang masih sangat muda: 26 tahun. Eri menutup mata untuk selamanya pada 3 April 2000, beberapa jam setelah membela Persebaya Surabaya melawan PSIM Jogjakarta di Gelora 10 Nopember, Surabaya.

Eri pergi dengan catatan indah. Di usia yang begitu muda, tiga kali dirinya membawa kesebelasan yang dibelanya tampil di final Liga Indonesia. Bersama Petrokimia Putra Gresik di musim 1994/1995 dan dengan Persebaya pada musim 1996/1997 serta 1998/1999. Di final pertama dan ketiga, Eri hanya menjadi runner up. Tapi, di edisi 1996/1997, dia menjadi bagian penting Persebaya saat menahbiskan diri sebagai kesebelasan terbaik di Indonesia. Read More..