02 Desember 2009

Melestarikan Warisan Sekaligus Membayar Utang

Rambutnya sudah didominasi warna putih. Salah satu tanda bahwa pria itu sudah cukup berumur. Kendati begitu, semangatnya tetap terjaga. Bahkan, begitu menyala jika bersinggungan dengan bulu tangkis.

Christian Hadinata pria itu. 11 Desember nanti usianya genap 60 tahun. 3/4 dari umurnya tersebut dijalaninya di bulu tangkis. ”Hanya di masa kecil saja saya tidak sepenuhnya bersinggungan dengan bulu tangkis. Sebab, selain bermain bulu tangkis, saya juga bermain sepak bola,” kata Christian.

Selepas SMA, tepatnya pada 1969, barulah Christian benar-benar fokus ke bulu tangkis. Pada tahun itu dia memutuskan berlatih total bulu tangkis di klub Blue White-kini PB Mutiara-Bandung. Sejak itu hari-hari Christian tidak pernah jauh dari lapangan bulu tangkis.

Pria kelahiran Purwokerto tersebut menyandang status atlet dari 1969 hingga 1988. Beragam gelar direngkuhnya semasa aktif sebagai pemain sektor ganda. Christian telah mereguk nikmatnya gelar juara All England, Juara Indonesia Terbuka, dan Juara Dunia. Christian juga mengantarkan Indonesia menjuarai Piala Thomas pada 1973, 1976, 1979, dan 1984.

Setelah memutuskan gantung raket pada 1988, Christian tidak lantas meninggalkan lapangan bulu tangkis. Suami Yoke Anwar tersebut memilih untuk tetap berada di lapangan bulu tangkis. Bukan lagi sebagai atlet tentunya. Namun, Christian mengisi posisi sebagai pelatih.

Awalnya, dia melatih untuk salah satu klub yang telah membesarkan namanya PB Djarum Kudus. Pada tahun 1990 teknokrat olahraga Indonesia, M.F Siregar mengajaknya bergabung melatih sektor ganda pria Pelatnas. Christian menyanggupi. Dan bahkan dia tetap bertahan di Pelatnas hingga kini.

Saat ini jabatannya adalah Kepala Sub Bidang Pelatnas. Kendati begitu, setiap hari, Christian tidak pernah segan berkeluh keringat di lapangan bersama anak-anak Pelatnas. ”Para pendahulu kita telah mewariskan sesuatu yang luar biasa berupa prestasi bulu tangkis. Sebagai generasi penerus saya merasa bertanggungjawab untuk melestarikannya,” ujarnya.

Generasi sebelum Christian memang telah menorehkan prestasi luar biasa di bulu tangkis. Tan Joe Hok, Ferry Sonneville, Eddy Yusuf, Olich Solihin, Lie Po Djian, Tan King Gwan dan Njoo Kim Bie berhasil membawa Indonesia juara Piala Thomas untuk kali pertama pada 1958.

”Bagaimana mungkin saya melupakan warisan hebat tersebut. Saya harus menjaga dan melestarikannya. Karena itu, saya selalu termotivasi untuk terus berada di lapangan guna menjaga eksistensi bulu tangkis di Indonesia dan prestasinya,” tegas Christian.

Satu hal lagi yang mendorong Christian tetap berada di lapangan bulu tangkis. Hal tersebut adalah hutang. Christian merasa punya utang yang begitu besar terhadap bulu tangkis dan PBSI (Persatuan Bulu Tangkis Indonesia).

”Dari bulu tangkis saya mendapat banyak hal. Materi, prestasi, kebanggaan, teman, serta bisa berkesempatan keliling dunia. Itu semua saya anggap utang. Karena itu, saya harus berbuat untuk bulu tangkis sebagai bentuk saya membayar utang tersebut,” tutur Christian.

Sampai kapan Christian akan membayar utang itu? ”Sampai akhir hayat saya. Mungkin sampai saya tidak ada, saya rasa utang itu tidak bakal terbayar,” sebut Christian.

Ayah Mario Hadinata dan Mariska Hadinata itu mungkin merasa utangnya tidak akan terbayar lunas. Namun, publik jelas telah menilai Christian telah memberi banyak untuk prestasi bulu tangkis Indonesia selama menjadi pelatih.

Betapa tidak, Edi Hartono/Gunawan yang merupakan anak didik pertama Christian di Pelatnas telah menyumbangkan medali perak di Olimpaide Barcelona 1992. Setelah itu, Christian melahirkan salah satu ganda pria terbaik di dunia Ricky Subagja/Rexy Mainaky. Beragam gelar juara didatangkan ganda tersebut untuk ibu pertiwi. Salah satunya adalah medali emas Olimpiade Atlanta 1996.

Pada Olimpiade 1996, anak asuhnya Christian yang lain Denny Kantono/Antonius Ariantho mempersembahkan medali perunggu. Di bawah bimbingan Christian pula Chandra Wijaya/Tony Gunawan meraih medali emas Olimpiade 2000. Selain itu juga ada Markis Kido/Hendra Setiawan yang membawa pulang medali emas Olimpiade 2008.

”Tapi saya bukan pelatih yang sempurna. Sukses tersebut tidak luput dari kualitas para pemain. Saya juga punya kekurangan lain. Dimana, saya selalu tidak bisa berbuat adil untuk semua nomor,” aku Christian.
Read More..

27 Agustus 2009

Liem Siau Bok, Jadi Pengumpan di Luar Lapangan

Kisah pilu seringkali terdengar dari para mantan atlet di masa senjanya. Bahkan, cerita itu begitu dominan. Namun, itu bukan berarti cerita sukses dari atlet yang telah purnatugas nihil. Liem Siau Bok menjadi salah satu bagian kisah sukses tersebut.


Aroma bola voli sama sekali tidak terasa dalam ruang tamu pria itu. Kesan elegan yang lebih terasa. Nuansa itu timbul dari barang-barang yang menghiasi ruang tamu tersebut. Mulai dari sofa, karpet, hingga lukisan besar karya seorang pelukis Vietnam.

”Dunia saya sekarang memang berbeda dengan dahulu. Tapi, saya tetap tidak melupakan voli. Hanya saja sekarang saya sekedar menjadi penikmat voli,” tutur pria itu.

Pria itu adalah Liem Siau Bok. Namanya tercatat indah dalam sejarah panjang bola voli Indonesia. Pria kelahiran Jakarta 26 Desember 1956 itu pernah menjadi tulang punggung tim nasional (Timnas) bola voli Indonesia. Siau Bok berada di Timnas dari rentang waktu 1975 hingga 1987.

Di atas lapangan dia beroperasi sebagai spiker sekaligus quiker. Smash-smash tajamnya turut mengantarkan Indonesia merebut dua medali emas di arena SEA Games. Tepatnya pada SEA Games 1981 di Manila, Filipina dan SEA Games 1987 di Jakarta.

Siau Bok juga berperan positif dalam mendulang tiga medali perak di tiga edisi SEA Games lainnya. Masing-masing pada SEA Games 1979, 1983, dan 1985. Siau Bok pun pernah membawa Indonesia menempati posisi keenam Asian Games 1982 di New Delhi, India. Namanya pun masuk Hall Of Fame di Britama Arena Sports Mall, Kelapa Gading, Jakarta Utara.

”Tidak bisa dipungkiri kalau saya dibesarkan oleh voli. Namun, sejak memutuskan pensiun pada 1987 saya memutuskan memilih hidup di dunia yang berbeda,” kata Siau Bok.

Siau Bok memang tidak sepenuhnya langsung meninggalkan bola voli. Sebab, dia sempat belajar menjadi pelatih voli. Siau Bok juga pernah menjadi ketua liga profesional voli Indonesia atau yang akrab disebut Proliga.

Namun, selepas purnatugas sebagai atlet, hidup Siau Bok memang lebih banyak dihabiskan untuk berkecimpung di luar voli. Siau Bok lebih menekuni dunia bisnis dalam menyambung hidup. Pada tahun 1998, bersama dua sahabatnya, Helmi Yahya dan Jedi Suherman, dia mendirikan Triwarsana. Sebuah production house yang bergerak dalam industri kreatif.

Melalui Triwarsana, Siau Bok menelurkan beragam tayangan reality show di telivisi yang sebagian besar bermuatan amal. Seperti Bedah Rumah, Bedah Kampung, Nikah Gratis, Tolong, Uang Kaget, atau Lunas yang tayang di televisi nasional.

”Saya menekuni bisnis ini seperti air mengalir. Ini semua berawal dari keinginan Jedi (Suherman) untuk menjadikan saya manajer Joshua. Lalu saya menyarankan untuk memakai Helmi (Yahya). Dari situ lalu berkembang seperti sekarang,” ungkap Siau Bok.

Siau Bok menceritakan awalnya dia dan dua patnernya itu membuat acara Joshua di Indosiar. Kemudian membuat acara Asal yang dibawakan (alm) Taufik Savalas. Kemudian menelurkan Mimpi Kali Yee yang dipandu Dewi Hughes.

”Mulai program Mimpi Kali Yee kami memakai nama Triwarsana. Sebelumnya Joshua Enterprise, lalu berganti Helmi Yahya Production,” papar Siau Bok.

Nah, setelah Mimpi Kali Yee mulainya menggelinding program-program lainnya. Tak kurang dari sepuluh acara telah ditelurkan Siau Bok bersama bendera Triwarsana. Selain itu, kerja di Triwarsana juga hanya dikendalikan berdua dengan Helmi saja. Jedi ”terpaksa” ditinggal karena sesuatu hal.

Dalam memproduksi program-programnya, Siau Bok akhirnya lebih memilih untuk yang bermuatan amal. ”Dalam reality show itu hanya ada dua. Pertama, menolong orang dan kedua mengerjai orang. Kami akhirnya memutuskan memperbanyak pilihan pertama,” ujar Siau Bok.

Pilihan itu lebih dikedepankan karena Siau Bok menyadari bahwa masyarakat Indonesia masih banyak yang membutuhkan. Dia tahu bahwa tidak sedikit masyarakat Indonesia yang masih perlu ditolong.

Siau Bok sadar kalau program yang dibuatkan tidak bisa membantu seluruh masyarakat. Namun, lewat programnya, Siau Bok ingin memberi umpan yang lain agar tergerak atau terpicu untuk turut membantu masyarakat yang masih perlu ditolong.

”Posisi saya hanyalah pengumpan. Ini hanyalah satu titik. Hal besar yang kami inginkan adalah agar orang lain tergerak, tergugah, dan bersemangat untuk menolong,” sebut Siau Bok.
Read More..

17 Agustus 2009

Susi Susanti, Membina Bulu Tangkis dari Balik Layar

Susi Susanti begitu lekat dengan bulu tangkis. Bagi wanita asal tasikmalaya, Jawa Barat itu, bulu tangkis telah menjadi hidup dan kehidupannya. Karena itu, perjalanan hidup Susi pun tidak bisa dilepaskan dari olahraga tepok bulu tersebut.

”Saya sudah berkenalan dengan bulu tangkis sejak usia tujuh tahun,” ujar Susi membuka pembicaraan.

Sebuah perkenalan yang tentu sangat dini. Jadi, sangat wajar, jika Susi akhirnya memandang bulu tangkis sebagai hidup dan kehidupannya. Atau istilah Susi, bulu tangkis sudah menjadi darah dan dagingnya. Apalagi, dari pertautannya dengan bulu tangkis Susi tidak sekedar mendapatkan materi.

Dari bulu tangkis, Susi dikenal publik. Dari bulu tangkis pula Susi mendapatkan pendamping hidup-Alan Budikusuma-yang menikahinya pada 9 Februari 1997. Lebih dari itu, dari bulu tangkis Susi juga mampu menghiasi perjalanan hidupnya dengan sederet prestasi hebat sekaligus mengharumkan nama Indonesia di dunia internasional.

Wanita yang lahir 11 Februari 1971 itu pernah menyabet gelar juara dunia pada 1993. Empat kali dia menjadi juara di kejuaraan bergengsi All England. Susi juga menjadi ujung tombak keberhasilan Indonesia meraih Piala Uber pada 1994 dan 1996.

Dan yang paling fenomenal tentu saja apa yang ditorehkan Susi pada Olimpiade 1992 yang berlangsung di Barcelona, Spanyol. Di arena multieven olahraga antar bangsa-bangsa itu Susi berhasil membuat lagu Indonesia Raya berkumandang. Ayunan raket Susi membuat bendera Merah Putih berkibar lebih tinggi dari bendera negara-negara lainnya.

Di Olimpiade 1992 itu Susi berhasil menyabet medali emas. Dan medali emas yang direbut Susi tersebut merupakan medali emas pertama yang diraih Indonesia di Olimpiade. ”Momen itu merupakan momen paling bersejarah bagi saya. Saya benar-benar bangga bisa mengharumkan nama bangsa melalui bulu tangkis,” sebut Susi.

Atas pencapaiannya tersebut pemerintah lantas memberikan tanda kehormataan berupa bintang jasa utama kepada Susi. ”Tapi apa yang saya raih ini tidaklah mudah. Butuh pengorbanan dan kerja ekstra,” kata wanita yang kini telah dikarunia tiga anak itu.

Untuk menjadi juara Susi memang mengorbankan banyak hal. Baik tenaga, waktu, dan masa remajanya. Demi menjadi juara, Susi sudah harus hidup terpisah dari kedua orang tuanya saat masih duduk di kelas 2 SMP. Dia hijrah dari kota kelahirannya ke Jakarta seorang diri. Sejak kepindahannya itu hari-hari Susi lebih banyak dihabiskan untuk berlatih.

Dua kali dalam sehari dari Senin hingga Sabtu Susi melahap menu latihan. Porsi latihan lebih berat dijalani ketika mempersiapkan diri ke Olimpiade 1992. Dia harus berlatih tiga kali sehari. Waktu latihan juga lebih panjang dari biasanya. ”Mengingat itu semuanya membuat saya tidak bisa meninggalkan bulu tangkis,” aku Susi.

Ya, meski sudah gantung raket sejak 1997, Susi tidak melupakan bulu tangkis. Susi tetap bersinggungan dengan bulu tangkis. Namun pertautannya kali ini dalam bentuk berbeda. Pasalnya, Susi sudah menegaskan diri tidak bakal menjadi pelatih. Baginya jalan menjadi pelatih belum bisa dijadikan sandaran hidup.

Bersama Alan, Susi menggeluti bisnis yang bersentuhan dengan bulu tangkis. Pada pertengahan 2002 silam, Susi dan Alan mendirikan Astec (Alan Susi Technology). Astec merupakan produsen peralatan bulu tangkis. ”Saya dan Alan memulai dari nol dalam membangun Astec. Dari Asteclah kini kami menyandarkan hidup,” ujar Susi.

”Meski sibuk berbisnis, tapi saya tetap tidak lupa untuk membantu pembinaan bulu tangkis Indonesia. Untuk hal ini saya memilih berada di balik layar saja,” imbuhnya.

Bersama sang suami, Susi mendirikan Olympic Badminton Hall di Kelapa Gading, Jakarta Utara. Tempat tersebut merupakan arena pemusatan latihan bagi para pebulu tangkis muda.

Usaha pembinaan yang dilakoni Susi dari balik layar juga dijalaninya dengan melakukan safari ke sekolah-sekolah. Lewat jalan tersebut Susi ingin memperkenalkan bulu tangkis kepada anak-anak.

Di samping itu, Susi juga menggelar turnamen bulu tangkis berlabel Astec Open yang sudah berlangsung lima tahun terakhir. Turnamen tersebut dikhusukan pada pebulu tangkis muda. Karenanya, dalam turnamen itu tidak dipertandingan kelas dewasa. Sebaliknya dalam Astec Open justru dimainkan kelas anak-anak usia 11 tahun ke bawah.

”Saya berharap dari usaha kami ini, semakin banyak bibit unggul. Sehingga, mereka nantinya bisa menjadi tumpuhan masa depan bulu tangkis Indonesia,” papar Susi.
Read More..

21 Juni 2009

data ISL 2008/2009

Juara : Persipura Jayapura
Runner Up : Persiwa Wamena
Peringkat III : Persib Bandung

Pemain Terbaik : Boaz Solossa (Perspiura)
Top Skor : Boaz Solossa (Persipura/ 28 gol)
Christian Gonzalez (Persib/28 gol)
Tim Fairplay : Belum Diumumkan


Pertandingan : 306
Gol : 814
Rata-rata gol perpertandingan : 2,66
Kartu Kuning : 967
Kartu Merah : 41
Jumlah Pemain : 549 (436 lokal, 113 asing)
Kartu Kuning Pertama : Jufri Samad/Persiba Balikpapan
Kartu Merah Terakhir : Aris Indarto/Persija Jakarta
Kartu Merah Pertama : Hamka Hamzah/Persik Kediri
Kartu Merah Terakhir : Maully Lessy/Sriwijaya FC
Kartu Terbanyak : Marcio Souza/ Persela (11 kartu kuning), I Gede Sukadana/Persela (9 Kartu Kuning dan 2 Kartu Merah)
Skor Kemenangan Terbesar : 6-0 (Persipura v Persija, Sriwijaya FC v Persita, Persiwa v PSIS
Kekalahan Terbesar Kandang : 0-5 (Arema v Persipura)




Pemain Asing Termahal : Abanda Herman/Persija (Rp 1.315.000.000)
Pemain Lokal Termahal : Bambang Pamungkas/Persija (Rp 1.370.000.000)
Pemain Tertua : Keith Kayamba/Sriwijaya FC, James Debbah/PKT (36)
Pemain Termuda : Ramdani Lestaluhu/Persija (17)
Pencetak Gol Pertama : Ernest Jeremiah/Persipura
Pencetak Gol Terakhir : Christian Gonzalez


Rabu, 10 Juni 2009

Persiwa v PSMS 5 – 0 (2-0)
Persipura v Sriwijaya FC 4 – 1 (2-0)
PKT v Pelita Jaya 5 – 0 (1-0)
Persiba v PSIS 5 – 0 (3-0)
Persik v Persita 3 – 1 (1-0)
Arema v Persijap 3 – 1 (2-1)
Persela v Persitara 2 – 1 (1-1)
Persija v Persib 1 – 2 (0-0)
Deltras v PSM 5 – 3 (2-1)

Klasemen Akhir
Papan Atas
1. Persipura* 34 25 5 4 81-25 80
2.(3) Persiwa 34 21 3 10 57-32 66
3.(2) Persib 34 20 6 8 63-40 66
4.(6) Persik 34 16 7 11 53-46 55
5.(4) Sriwijaya FC 34 15 9 10 60-45 54
Papan Tengah
6.(7) Persela 34 16 6 12 41-35 54
7.(5) Persija 34 15 8 11 61-48 53
8. PSM 34 13 12 9 42-44 51
9. Pelita Jaya 34 14 7 13 35-35 49
10.(11) Arema 34 13 8 13 40-42 47
Papan Bawah
11.(10) Persijap 34 12 10 12 42-40 46
12. Persiba 34 13 7 14 40-42 46
13.(14) Bontang PKT 34 9 11 15 43-53 37
14.(13) Persitara 34 9 9 16 41-50 36
Zona Playoff Degradasi
15. PSMS 34 6 13 15 41-54 31
Zona Degradasi
16. Deltras** 34 7 8 19 30-55 29
17. Persita** 34 6 7 21 26-65 25
18. PSIS** 34 4 9 21 17-62 21
* Juara
** Degradasi

Daftar Pencetak Gol:
28 gol: Boaz Solossa 1-pen (Persipura), Christian Gonzalez 14 gol di Persik 2-pen (Persib)

23 gol: Alberto ”Beto” Goncalves (Persipura)

22 gol: Ngon A Djam 2-pen (Sriwijaya),

18 gol: Bambang Pamungkas 3-pen (Persija)

17 gol: Talauhu Abdul Musafri 5-pen (Persiba),

16 gol: Ernest Jeremiah 1-pen (Persipura) Greg Nwokolo (Persija),Cristiano Lopez 1-pen (Pelita Jaya), Marcio Souza-1 pen (Persela)

15 gol: Hilton Moreira (Persib), Julio Lopez-2 pen (PSM),

14 gol: Saktiawan Sinaga 1-pen (Persik)

13 gol: Rahmat Rivai 2-pen (Persitara)

12 gol: Pieter Rumaropen 2-pen, Boakay Edy Foday (Persiwa), Leonardo Martins Zada 3-pen (PSMS),

11 gol: James Debbah 1-pen (PKT), Rafael Bastos 4-pen (Persib), Keith Kayamba (Sriwijaya)

10 gol: Josiah Seton 1-pen (PKT), Redouane Barkoui (Persiwa), Gaston Gastano 4-pen tiga gol di PSIS (Persiba).

9 gol: Dicky Firasat (Persela), Zan Rahan (Sriwijaya)

8 gol: Edisio Sergio Junior (Deltras) , Evaldo Silva 4-pen (Persijap) Prince Kabir Bello (Persitara), Claudio Proneto 4-pen (PSM), Aldo Barreto (PSM)

7 gol: Aliyudin (Persija) Lorenzo Cabanas (Persib)

6 gol: I Made Wirahadi (Persita) Ilham Hasan, Arnaldo Villalba (Persijap) Anoure Obiora 1-pen (Sriwijaya FC),

5 gol: Firdaus Yong (Deltras), Budi Sudarsono 4 gol di Persik (Sriwijaya), Ronald Fagundes (Persik), Adrian Trinidad (Persiba), Mario Costas, Rahmad Afandi (PSMS), Pablo Alejandro Frances(Persijap), Imral Usman (PKT), Micheal Adolfo Souza 1-pen (Persita), Souleymane Traore, Emaleu Serge (Arema), Lumineau Benoit (Persiwa)

4 gol: Danilo Fernando 1 gol di Persik (Deltras), , Syamsul Chaerudin 1-pen (PSM), Fabiano Lopes (Persija), Patricio Morales, Emile Mbamba (Arema) Amarildo Souza (Persijap) Jimmy Suparno (Persela), Wilfredo–2 pen (PKT), Eduard Ivakdalam (Persipura), Robertino Pugliara (Persija)

3 gol: Hamka Hamzah, Khusnul Yuli (Persik), Airlangga Sucipto (Persib), Titus Bonai, Miftahul Huda (PKT), Erich Week, Tarik Chaqui, OK John -1 pen (Persiwa), Esteban Javier Guillen 1-pen, Aun Carbini (PSMS), Ahmad Amirudin (PSM), Carlos Raul Scucati (Persela), Aji Nurpijal, Enjang Rohiman (Persijap), Fandi Mochtar, Arif Suyono (Arema), Abanda Herman (Persija), Ireneo Roberto Acosta 2-pen (Deltras), Eduardo, M. Ridwan (Pelita Jaya), M. Nasuha (Sriwijaya), Eliusangelo (Persiba), Onambele Jules Basile, Salomon Bengondo (PSIS), Victor Igbonefo (Persipura), Ebenje Rudolf (Persitara)

2 gol: Tarik Aljanaby, Satria Fery (PKT), Fortune udo, Ahmad Sembiring Usman, ChMelo Roman (Arema), Noorhadi (Persijap), Dede Hugo Gustavo Chena 1-pen, M. Khusen, Carlos Bergontini (Deltras), Atep, Nyeck Nyobe, Eka Ramdani, Nova Arianto, Zaenal Arif -1 pen (Persib), Ismed Sofyan, Agus Indra Kurniawan 1-pen (Persija), Feri Ariawan, Nenggue Binevenue(PSIS), Micheal Adolfo Souza, Supriyadi, Cucu Hidayat, Lubis Syukur (Persita), Yongky Aribowo, Mahyadi Panggabean (Persik), Fabiano (Persela) Ambrizal (Sriwijaya), Vendry Mofu, Immanuel Padwa, Yesaya Desanu (Persiwa), Diva Tarkas (PSM), Andika Yudistira (PSMS), Ian Luis Kabes, Ortizan Solossa, Ricardo Salampessy (Persipura)

1 gol:Fadil Sausu (Persik), Cornelis Kaimu, Alberto Mambrasasr, Habel Satya, Tutug Widodo (Persiwa), Leonard Tumahu, Ponaryo Astaman, Ade Suhendra (Persija), Nicolas Djone, Ade Mustari (Persita) Mustopa Aji, Pello Benson, Alfredo Figuera, Yahya Sosomar, Dedy Mulyadi (Persitara), Legimin Raharjo 1-pen, M. Roby,Jefri Dwi Hadi, Agus Susanto (Persik), Boston Browne, Ronny Firmansyah, Suroso, Hendra Ridwan (Arema),Alex Robonsaon, Zaenal Arifin (Persela), Sulthan Samma, Bruno Zandonadi, Muhammadan (Persiba), Benben Berlian, Alamsyah Nasution, Tsimi Jacques Joel, Wijay, Toni Sucipto, Korinus Fingkrew (Sriwijaya), Gilang Angga, Fabio Lopez, Salim Alaydrus (Persib), Basri B.S, Eduardo Pizzaro (Pelita Jaya), Dwi Joko (Deltras), David da Rocha (Persipura), Oktavianus Maniani, Pinto, Juan Valabery, Affan Lubis, Patricio Jimenez, Makinwa, Asri Akbar (PSMS), Rahmat LatiefIrsyad Aras (PSM), Trias Budi, Domerto Thesia, Donny Siregar (PKT), Donny F. Siregar, Nurul Huda, Sofyan Morhan (Persijap),

Gol Bunuh Diri:
1 gol: Erik Setiawan (Arema) Fabiano (Persela), Evaldo da Silva (Persijap) Heri Susilo (PSIS), Sofyan Morhan (Persijap)
Read More..

Sopir Bus itu Telah Sampai Terminal

Malam semakin larut. Jarum di dinding telah menunjukkan bahwa waktu telah memasuki pukul 22.30 WIB. Hampir sebagian besar orang pun telah larut dalam tidur. Tapi, malam itu-Rabu 10 Juni 2009-Purwanto masih terjaga.

Saya tahu kalau pria asal Kediri itu masih terjaga, karena beliau menyapa saya lewat telepon. ”Bagaimana kepemimpinan saya tadi Mas? Bagaimana dengan keputusan saya memberi penalti?,” pertanyaan itu membuka percakapan kami malam itu.

Beberapa jam sebelumnya, Purwanto memang memimpin pertandingan sarat gengsi antara Persija Jakarta kontra Persib Bandung di Stadion Gajayana, Malang. Duel tersebut dimenangi Persib dengan skor 2-1. Gol penentu kemenangan Persib lahir dari kaki Christian Gonzalez lewat eksekusi penalti pada menit 89.

Sebelum gol Gonzalez, kedudukan berimbang 1-1. Persib unggul dulu lewat gol tandukan Airlangga Sucipto lima menit setelah turun minum. Striker asing Persija asal Brazil yang pada putaran pertama berkostum Persib Fabio Lopez membalas pada menit 56.

Persib memperoleh penalti itu, setelah Purwanto menyatakan pemain Persija Aris Indarto melakukan pelanggaran terhadap Airlangga di kotak penalti. ”Menurut sampeyan pas tidak keputusan saya memberikan penalti tadi?,” tanya Purwanto lagi.

Dari nada suaranya, lelaki yang di masa kecilnya bercita-cita sebagai sopir bus tersebut tidak dalam posisi risau akan keputusannya di penghujung partai Persija lawan Persib itu. Purwanto hanya ingin memastikan bahwa keputusannya tersebut tidak salah.

Purwanto sadar bahwa sebagai manusia dirinya tidak akan pernah bisa luput dari salah. Namun, dirinya selalu berusaha untuk meminimalkan kesalahan. Termasuk dalam hal memimpin pertandingan. Purwanto ingin selalu memimpin dengan baik dan setipa keputusan yang diambilnya tepat.

Karena itu, Purwanto pun merasa perlu mendengar penilaian orang lain setiap kali usai memimpin pertandingan. ”Saya tidak ingin mengecewakan siapapun. Saya ingin selalu menjalankan tugas sesuai dengan atura,” ujar Purwanto.

Sama seperti sebelum-sebelumnya, malam itu, suami Indarsih tersebut pun ingin mendengar penilain objektif orang lain akan kepemimpinannya. Lebih-lebih kepemimpinan Purwanto malam itu bisa jadi menjadi tugas terakhirnya sebagai wasit.

Memang musim kompetisi sepak bola Indonesia musim ini belum sepenuhnya berakhir. Sebab, Copa Indonesia IV masih berjalan. Juga masih terdapat partai playoff ISL yang mempertemukan Persebaya Surabaya kontra PSMS Medan 30 Juni nanti. Namun, secara umum, kompetisi musim ini telah berakhir 10 Juni kemarin.

Sesuai regulasi, musim depan Purwanto harus purnatugas sebagai wasit. Sebab, pada 24 September mendatang, bapak dua anak itu genap 46 tahun. Itu artinya usia Purwanto sudah mencapai batas akhir sebagai wasit. Usia wasit memang dibatasi hanya sampai 46 tahun.

”Bagi saya mau itu awal atau akhir tidak ada bedanya. Sebab, keinginan saya hanya ingin bertugas sebaik mungkin. Tapi, bagaimanapun juga, saya tetap ingin mengakhiri perjalanan wasit dengan baik,” akunya.

Dan bagi saya, penampilan Purwanto malam itu tidak bisa saya katakan buruk. Tentu pula tidaklah sempurna. Pasalnya, ada beberapa momen yang luput dari pengawasannya. Salah satunya ketika Ismed Sofyan mendorong kepala bagian belakang Siswanto saat injury time.

Secara umum, Purwanto telah bertugas cukup baik. Bagi saya, keputusannya menghukum Persija dengan penalti cukup tepat. Sebab, dua pemain Persija melakukan gangguan yang sangat cukup berbahaya kepada Airlangga di kotak penalti. Ada Agus Indra Kurniawan yang mendorong Airlangga dari belakang. Terdapat juga Aris Idarto yang menangkat kaki kanannya terlalu tinggi. Bahkan kaki pemain asal Sragen itu sejajar dengan perut Airlangga.

Jadi, bagi saya Purwanto telah mengakhiri tugasnya dengan sangat indah. Secara pribadi saya kagum dengan perjalanannya sebagai wasit nasional yang dilakoni sejak 1993 hingga 10 Juni 2009. Saya bertambah kagum bukan saja karena penampilannya pada 10 Juni 2009 itu. Tapi, karena pertemuan saya dengan ”seseorang” di Peecock CafĂ© Hotel Sultan, Jakarta, 25 Mei 2009.

Malam itu-25 Mei 2009-”seseorang” itu bicara blak-blakan dengan saya. Salah satu omongannya tentang wasit Indonesia. Dia menyebut bahwa hanya ada satu wasit yang tidak pernah memakan uangnya. Dan orang yang disebut itu adalah Purwanto.

Sampai titik ini saya sangat kagum dengan Purwanto. Tapi, pada titik ini pula saya merasa kehilangan beliau. Kehilangan sosok sopir bus yang telah menjadi oase di tengah coreng-morengnya sepak bola Indonesia. Musim depan, saya tidak bisa melihat lagi ketegasannya memimpin pertandingan. Sebab, sopir bus itu telah sampai terminal.

Nama : Purwanto
Lahir : Kediri, 24 September 1963
TB/BB : 180 cm/72 kg
Orang Tua : (alm.) Sumowinoto-Mastain
Istri : Indarsih
Anak : – Rizki Eka Saputra
- Ardi Kharismaulana

Karir
– Sukarelawan Puskesmas Bogo Kidul, Plemahan, Kediri (1989)
– Honerer Dispenda, Kab. Kediri (1996)
– PNS di seksi pertamanan Dinas Kebersihan dan Lingkungan Hidup Kota Kediri (2002)
– Wasit C3 (1989)
– Wasit C2 (1991)
– Wasit C1 (1993)
– Asisten wasit FIFA (1995)
– Ketua komisi wasit Pengda PSSI Jatim (2006-2010)

Prestasi
– Wasit Terbaik Indonesia (2002)
– Wasit Terbaik versi antv Award (2003)
– Memimpin Final Liga Indonesia antara Persita Tengerang v Petrokimia Gresik (2002)
– Memimpin Final Liga Indonesia antara Persija Jakarta v Persipura Jayapura (2006)
- Wasit terfair play versi Jawa Pos (2007)
Read More..

18 Juni 2009

Produktifitas Gol, Ramadhan, dan Suporter

Catatan negatif begitu banyak menghiasi wajah kompetisi Indonesia Super League (ISL) edisi perdana. Saking banyaknya catatan tersebut, label super pun terasa masih sebatas nama. Meski banyak catatan negatif, ISL tahun pertama ini tetap memiliki sisi positif.

Salah satu sisi positif itu adalah tinggi produktifitas gol yang tercipta selama ISL 2008/2009 ini. Sejak dihelat pada 12 Juli 2008 hingga berakhir 10 Juni 2009 telah terlahir 814 gol..Itu artinya setiap pertandingan rata-rata terlahir 2,66 gol. Sebab, ISL 2008/2009 mempertandingkan 306 laga.

”Jika dirata-rata ternyata terdapat lebih dari 2 gol di setiap pertandingan, bagi saya itu berarti produktifitas gol cukup bagus,” sebut Danurwindo, pelatih Persija Jakarta, pada suatu kesempatan.

Ya, jika dibandingkan dengan Liga Indonesia Divisi Utama musim 2004, torehan gol di ISL edisi perdana ini memang jauh lebih baik. Liga Indonesia musim 2004 juga menggunakan sistem satu wilayah seperti ISL. Jumlah kontestannya pun 18, sama dengan peserta ISL.

Pada kompetisi Divisi Utama musim 2004, di akhir laga hanya tercipta 713 gol. Itu artinya ada selisih 101 gol antara yang tertoreh di ISL dengan di Divisi Utama musim 2004.

Dengan jumlah pertandingan 306, maka gol yang dihasilkan di setiap pertandingan hanya 2,3. Hitungan itu tentu menunjukkan kalau produktifitas gol di ISL edisi pertama ini cukup tinggi. ”Rata-rata itu (2,6 gol per pertandingan) menandakan bahwa mayoritas tim-tim ISL memainkan sepak bola menyerang,” kata Suharno, pelatih Persiwa Wamena.

Selain tingginya produktifitas gol, langkah Badan Liga Sepak Bola Indonesia (BLI) menggelar pertandingan pada bulan ramadhan juga menjadi sisi positif lainnya. Hal itu menjadi sejarah tersendiri bagi sepak bola Indonesia. Sebab, selama ini, kompetisi di Indonesia selalu berhenti lebih dari sebulan ketika memasuki ramadhan.

6 September 2008 menjadi sejarah baru sepak bola Indonesia tersebut. Untuk kali pertama kompetisi sepak bola nasional digulirkan pada bulan Ramadhan. Laga Persik Kediri lawan PSM Makassar di Stadion Brawijaya, Kediri menjadi pembuka.

Awalnya, banyak pihak yang tidak yakin dengan gebrakan BLI tersebut. Banyak yang meragukan kualitas pertandingannya. Tidak sedikit pula yang pesimis dengan antusiasme penonton. Tapi, prediksi tersebut langsung terbantahkan di hari pertama pertandingan di bulan Ramadhan.

Duel Persik kontra PSM berjalan menarik. Bahkan, tuan rumah nyaris dibuat malu oleh tim tamu. Penonton yang hadir di Stadion Brawijaya pun tidak bisa dibilang sedikit. Dari data BLI, tercatat ada enam ribu penonton. Di lapangan jumlahnya jelas berbeda. Sebab, waktu itu nyaris semua tribun Stadion Brawijaya terisi. Kapasitan stadion di tepi Kali Brantas itu sendiri berkisar 15.000.

Secara keseluruhan, pertandingan di Ramadhan berlangsung seru. Dari 37 laga selama Ramadhan terlahir 94 gol. Artinya di setiap pertandingan rata-rata tercipta 2,5 gol. Hanya saja, pertandingan di bulan Ramadhan tetap menyisakan secuil catatan. Itu terakit jadwalnya yang terlalu padat.

Bayangkan, dalam tiga pekan Ramadhan, rata-rata pemain harus melakoni lima pertandingan. Itu artinya setiap empat hari sekali para pemain harus menjalani pertandingan. Yang memberatkan, jarak antara satu tempat pertandingan dengan tempat lainnya cukup berjauhan. Kondisi itu tentu harus menjadi bahan evaluasi untuk musim depan.

”Berat memang menjalani kompetisi pada bulan Ramadhan. Tapi, justru pertandingannya sangat menantang. Saya rasa bukan sesuatu yang salah, jika langkah ini dilanjutkan,” ungkap pelatih asal Malaysia Raja Isa yang sempat membesut PSM dan Persipura.

Keberanian BLI itu menggelar pertandingan di bulan ramadhan juga menjadi bukti betapa antuasinya penonton Indonesia. Ya, selama pertandingan di bulan ramadhan, penonton animo masyarakat datang ke stadion tetap tinggi.

BLI mencatat ada 363.816 penonton yang hadir di stadion selama ramadhan. Jika dirata-rata, maka setiap pertandingan dihadiri sekitar 9832 penonton. Jumlah yang tidak kecil. Pasalnya, rata-rata stadion di Indonesia kapasitasnya 15 ribu. Jadi, jumlah tersebut sama artinya separo lebih dari kapasitas stadion.

Angkat Topi Untuk Suporter

Bicara penonton atau suporter, bagi saya merekalah yang paling dewasa di ISL edisi perdana. Memang masih ada kerusuhan yang ditimbulkan suporter. Setidaknya ada tiga kerusuhan besar yang meletup.

Seperti aksi brutal suporter Persib Bandung saat timnya kalah dari Persija di Stadion Siliwangi, Bandung (20/7/08). Akibat ulah bobotoh-sebutan suporter Persib-pertandingan sempat terhenti sekitar 15 menit. Selain itu juga ada ulah pendukung Arema Malang di akhir laga Arema kontra PKT Bontang (13/9/08).

Kerusuhan lebih parah meletus di Makassar. Tak terima timnya kalah dari Persela (15/9/08), ribuan suporter PSM masuk ke lapangan. Mereka merusak beberapa fasilitas stadion. Seperti pagar pembatas, tembok stadion, gawang, maupun aboard.

Kendati begitu, secara umum mereka jauh lebih baik daripada komponen lainnya yang terlibat di ISL. Bandingkan saja dengan perangkat pertandingan. Dari catatan komisi disiplin (Komdis) hanya sedikit saja keputusan yang bersinggungan dengan penonton.

Sebaliknya, terdapat sembilan pengawas pertandingan (PP) yang dikembalikan ke BWSI. Satu diantara sembilan PP itu bahkan diistirahtakan selama satu tahun. Dan terdapat tujuh wasit yang dikembalikan ke BWSI. Kinerja mereka juga masih banyak yang amburadul. Tidak sedikit pula-meminjam istilah Direktur Kompetisi BLI Joko Driyono-wasit yang masuk angin. Bahkan, di ISL ini, ada wasit yang memukul offisial tim. Wasit itu adalah Yandri yang memukul asisten manajer PSM.

Pemain dan offsial tim juga setali tiga uang dengan perangkat pertandingan. Sepanjang ISL edisi perdana, banyak sekali terjadi perkelahian antarpemain dan juga aksi brutal offisial tim. Bahkan, dimusim ini tercatat tiga kali fairplay dikebiri oleh pemain. Yakni oleh James Debbah (PKT) dan Buston Browne (Arema) yang mencetak gol dengan mengindahkan etika fairplay.

Adapula, aksi protes ala pemain Persib kala dijamu Persitara Jakarta Utara di Stadion Surajaya, Lamongan (2/6/09). Karena kecewa terhadap wasit, mereka membiarkan gawangnya dibobol lawan. Pada lima menit akhir pertandingan, pemain Persib malah aksi duduk, tidur, dan berdiam diri di lapangan.

BLI dan PSSI pun tak jauh beda. BLI masih saja terlalu toleran dalam memberlakukan aturan. Tak kurang dari 70 kali mereka mengubah jadwal. PSSI. Otoritas sepak bola Indonesia itu melalui sang ketua umum Nurdin Halid malah menginjak aturan yang mereka buat sendiri. Hal itu seiring diterbitkannya pengampunan kepada beberapa orang bermasalah.

Seperti dibebaskannya Christian Gonzalez dari skorsing satu tahun dan juga kiper muda Kurnia Meiga Hermasyah. Demikian juga dengan dibebaskannya general manajer PSIS Yoyok Sukawi.

Jadi, penontonlah atau suporterlah yang lebih layak diberi apresiasi. Apalagi, di akhir kompetisi mereka juga menutupnya dengan sangat indah. Dimana, dua suporter yang selama ini bermusuhan-Jakmania (suporter Persija) dan Viking (kelompok suporter Persib)-bertemu di Stadion Gajayana, Malang.

Tak ada gesekan. Tak ada tawuran. Yang ada, keduanya beradu kreasi, beradu suara, beradu semangat dalam mendukung tim kesayangannya yang berlaga di atas lapangan.
Read More..

16 Juni 2009

Super Baru Sebatas Nama

Indonesia Super League (ISL) edisi perdana telah berakhir Rabu 10 Juni lalu. Strata tertinggi kompetisi sepak bola Indonesia itu ditutup meriah dan diwarnai hujan gol. Selain itu, ISL edisi perdana juga berakhir dengan banyak catatan.

Perhelatan pertama ISL kali ini terasa begitu manis bagi publik Papua. Betapa tidak, beragam gelar berhasil diboyong ke Bumi Cenderawasih. Persipura Jayapura ditahbiskan diri sebagai juara. Saudara mudanya-Persiwa Wamena-sukses merebut posisi runner up.

Putra Papua, Boaz Boaz Theofilius Erwin Solossa dinobatkan sebagai pemain terbaik. Mutiara dari Sorong itu juga berhasil menyabet gelar pencetak gol terbanyak alias top skor. Mengoleksi 28 gol, Boaz bersanding dengan striker Persib Bandung Christian Gonzalez dalam daftar top skor.

Selain ujung ISL edisi perdana yang dihelat dari 12 Juli 2008 hingga 10 Juni 2009 terasa manis bagi tanah Papua, akhir ajang tersebut juga sangat meriah. Saat penutupan di Stadion Mandala, Jayapura, tak kurang dari 30.000 orang hadir. Situasi yang tentu sangat kontras dibanding akhir Liga Indonesia 2007 yang ditutup tanpa kehadiran penonton. Pesta penobatan Sriwijaya FC Palembang sebagai juara pascamenekuk PSMS Medan 3-1 di Stadion Jalak Haraupat, Bandung kala itupun terasa hambar.

Yang tak kalah menarik, akhir ISL edisi perdana juga ditutup dengan hujan gol. 36 gol tercipta dipertandingan terakhir. Persiwa, Deltras Sidoarjo, Persiba Balikpapan, dan juga PKT Bontang bahkan berhasil menyuguhkan lima gol kepada para pendukungnya di laga terakhir.

Namun, akhir yang manis itu, tetap tidak bisa mengimbangi banyaknya catatan negatif pada ISL edisi pertama ini. Saking banyaknya catatan tersebut ISL musim pertama ini terasa jauh dari kata sempurna. Status super yang melekat pada ISL pun terasa baru sebatas nama.

Banyak hal yang menggambarkan betapa tidak supernya ISL yang berstatus super. Bahkan, catatan negatif bahkan sudah tertoreh sejak awal ISL digulirkan. Tepatnya mulai saat BLI melakukan verifikasi para calon kontestan ISL.

Ada lima aspek yang diverifikasi BLI. Aspek infrastruktur, finansial, legal, personal dan administrasi, serta sporting. Ketika proses verifikasi BLI terlihat serius. Apalagi, mereka berani mengeliminasi Persim Minahasa dan Persiter Ternate yang dilihat tidak memenuhi persyaratan.

Namun, keberanian itu terasa hambar saat PSSI memutuskan ada pergantian terhadap dua tim yang tereliminasi. Dimana, PKT Bontang dan PSIS Semarang ditetapkan sebagai pengganti. Kehambaran semakin terasa tatkala BLI meloloskan PSMS Medan, Persita Tangerang, dan Persitara Jakarta Utara untuk berlaga di ISL.

Padahal, stadion ketiganya tidak memenuhi syarat. Ketika kompetisi berjalan, ketiganya pun berpindah-pindah stadion saat menjamu tamu-tamunya. Hal itu bukan saja menyulitkan ketiganya, tapi juga tim lawan.

Awal kompetisi, juga ternoda dengan sikap BLI yang memperbolehkan beberapa pelatih yang masih berlisensi B memimpin tim. Padahal, dalam aturan, yang boleh melatih tim ISL adalah pelatih yang berlisensi A. Mereka yang sejatinya belum berlisensi A pada awal musim antara lain Jaya Hartono (Persib), Suharno (Persiwa), M. Basri (Persela Lamongan), serta Mustaqim (PKT Bontang).

Memasuki musim kompetisi, sisi negatif ISL semakin banyak. Salah satunya kambuhnya penyakit lama BLI yang senantiasa melakukan perubahan jadwal. Hingga akhir kompetisi tercatat tak kurang dari 70 kali BLI melakukan perubahan jadwal. Situasi itupun memunculkan lelucon yang cukup memerahkan telinga. Beberapa orang menanggap bahwa ada lima hal yang tidak bisa diprediksi. Selain lahir, mati, jodoh, dan rejeki, juga jadwal kompetisi Indonesia (termasuk ISL).

Memang sih, BLI mendapat kesulitan besar untuk menjalankan jadwal ideal untuk ISL edisi perdana. Sebab, di tengah-tengah ISL perdana bergulir pula pemilihan umum (Pemilu). Dan tidak bisa dipungkiri bahwa sebagian besar perubahan jadwal itu akibat dari agenda pemilu.

Di masa proses pemilu, banyak klub yang kesulitan mendapatkan ijin pertandingan. BLI sempat mengajukan opsi menggelar sentralisasi di Jawa Timur. Klub sempat setuju. Tapi, semua menjadi mentah kembali karena sikap naif penguasa PSSI. Alhasil, perjalanan kompetisi sempat amburadul. Ada klub yang tetap bisa terus menjalankan pertandingan. Tidak sedikit pula yang harus istirahat lama.

Meski memuakkan, tapi saya tetap bisa ”sedikit” memaklumi adanya banyak perubahan jadwal karena Pemilu. Tapi, saya menjadi dongkol dengan adanya perubahan jadwal karena agenda tim nasional. Seperti yang terjadi pada Januari 2009. ISL harus berhenti lantaran PSSI ingin mengutamakan pemusatan latihan tim nasional.

Sebuah fakta yang menunjukkan betapa buruknya manajemen PSSI. Agenda tim nasional kan di arena internasional kan jauh-jauh hari sudah mereka ketahui. Jadi, seharusnya mereka sudah melakukan sinkronisasi agenda tim nasional dengan kompetisi nasional.

Sikap PSSI yang seenaknya mengubah jadwal lantaran tim nasional juga menunjukkan betapa naifnya mereka menghargai klub. Jika PSSI kumpulan orang profesional, selayaknya mereka paham bahwa klub harus diistimewakan. Sebab, mereka pemilik kompetisi sekaligus penggerak sepak bola.

Kembali ke catatan negatif ISL, perubahan jadwal bukan satu-satunya masalah di tengah kompetisi. Masih ada deretan catatan lainnya. Antara lain kepemimpinan wasit yang buruk, perkelahian antarpemain, hingga aksi anarkis penonton.

Bahkan, di tengah kompetisi juga muncul fenomena baru. Dimana, offisial tim yang senang menganiaya perangkat pertandingan. Seperti yang diperlihatkan Yoyok Sukawi dari PSIS Semarang atau Ekoyono Hartono (Arema Malang). Keduanya berusaha menganiaya wasit di tengah lapangan.

Yang lebih menyedihkan adalah dikebirinya fair play. Di ISL musim pertama ini tercatat tiga kali fairplay dikebiri oleh pemain. Yakni oleh James Debbah (PKT) dan Buston Browne (Arema) yang mencetak gol dengan mengindahkan etika fairplay.

Adapula, aksi protes ala pemain Persib kala dijamu Persitara Jakarta Utara di Stadion Surajaya, Lamongan (2/6/09). Karena kecewa terhadap perangkat pertandingan, mereka membiarkan gawangnya dibobol lawan. Pada lima menit akhir pertandingan, pemain Persib memilih berdiam diri di atas lapangan, duduk-duduk, dan beberapa diantaranya tiduran.

Super sekedar status semakin kental terasa dengan melimpahnya keputusan komisi disiplin (Komdis) PSSI. Hingga sidangnya pada 6 Mei, ada 135 keputusan. Jumlah itupun masih bisa bertambah. Sebab, pada 24 Juni nanti Komdis berencana menyidangkan sembilan kasus lagi.

Dengan angka yang ada sekarang ini saja (135) sudah memperlihatkan betapa tingginya angka pelanggaran. Sesuatu yang ironis. Dengan status kompetisi profesional dan menempati kasta tertinggi di pentas sepak bola Indonesia, sudah seharusnya memang pelanggaran disiplin tidak terlalu banyak. Sebab, para pelakunya tentu sudah lagi pernah membaca aturan permainan sepak bola atau laws of the game.

Namun, mereka juga sudah semestinya telah memahami aturan-aturan yang tertuang. Tidak hanya sampai di situ, para pelaku Djarum ISL tentu juga wajib menjalankan dan mematuhi segala hal yang tertuang dalam laws aturan permainan sepak bola.

Dengan begitu, seharusnya pelanggaran disiplin di Djarum ISL angkanya minim. Bukannya setinggi seperti saat ini. Fakta yang tersaji dari hasil sidang Komdis tersebut tentu menjadi ironi.

Tapi, itulah ISL musim ini. Buruk dan masih jauh dari kata super. Kendati begitu, saya tetap harus menikmatinya sebagai sejarah. Saya pun tidak pantas untuk marah dan mengolok-olok. Apalagi, ini masih kompetisi musim pertama.

Akhirnya, ini semua harus dijadikan bekal berharga untuk menatap ISL musim-musim berikutnya. Selain itu juga selamat buat tanah Papua serta selamat jalan Deltras, Persita Tangerang, dan PSIS. Mungkin juga selamat jalan PSMS Medan. Dan selamat datang Persisam Samarinda, Persema Malang, PSPS Pekanbaru, serta mungkin Persebaya Surabaya di ISL musim depan.
Read More..

09 Mei 2009

Untuk Persebaya

Mengukur Peluang Persebaya Menjadi Tuan Rumah Delapan Besar

Harus Juara Grup dan Persikab Tidak Lolos

Tiket Indonesia Super League (ISL) musim depan menjadi target utama Persebaya Surabaya musim ini. Jalan untuk meraihnya kini pun terbentang lebar bagi Green Force-julukan Persebaya. Sebab, Persebaya sudah memastikan diri di babak delapan besar Divisi Utama musim ini.

Itu artinya, Persebaya tinggal butuh setidaknya tiga kemenangan untuk memastikan satu tempat di ISL musim depan. Dua kemenangan di delapan besar serta satu kemenangan di partai semifinal. ISL musim depan menyediakan tiga tiket langsung bagi penghuni Divisi Utama.

Meski menyadari bahwa jalan menuju ISL tinggal sedepak lagi, namun Persebaya sepertinya tidak mau terlalu jumawa. Itu terlihat dari keputusan mereka mengajukan diri sebagai tuan rumah delapan besar. Persebaya menyakini bahwa dengan menjadi tuan rumah delapan besar, maka jalan ke ISL musim depan bakal semakin mudah.

Karena itu, mereka sampai berani jor-joran agar terpilih sebagai tuan rumah. Seperti siap menanggung akomodasi dan transportasi lokal tim tamu. Bahkan, Persebaya menyediakan match fee Rp 25 juta di setiap pertandingan.

Akankah Persebaya terpilih sebagai salah satu tuan rumah delapan besar? Jawabannya baru akan diketahui 11 Mei. Kendati jawaban baru bisa dilihat 11 Mei, namun tidak ada salahnya kita mengukur terlebih dulu peluang Persebaya.

Bagi saya, Persebaya sejatinya memiliki peluang besar. Sebab, mereka punya potensi besar dalam hal antusiasme penonton dibanding tiga rivalnya. Tiga rival Persebaya adalah Persema Malang, Persisam Samarinda, dan Persikab Kabupaten Bandung. Namun, seiring situasi yang terjadi Rabu (6/5) lalu, kini peluang Persebaya menjadi menipis. Bahkan, boleh dibilang jalan Persebaya cukup terjal.

Kenapa begitu? Situasi itu bukan semata karena kekalahan 1-2 dari Gresik United (GU) pada Rabu lalu. Juga bukan hanya lantaran kemenangan telak 4-0 yang dipetik Persema atas Persiba Bantul. Tapi, jalan sulit bagi Persebaya karena ulah anarkis pendukungnya yang akrab disebut Bonek pada Rabu lalu. Dimana, mereka berulah saat dan sesudah pertandingan GU kontra Persebaya di Gresik.

Sah-sah saja memang mereka kesal atas kepemimpinan wasit. Namun, kekesalan itu bukan berarti mereka dihalalkan melakukan tindak anarkis. Apalagi, sampai merusakan fasilitas umum, menjarah pertokoaan, hingga memukuli seorang jurnalis.

Nah, aksi anarkis Bonek itu jelas menjadi nilai negatif bagi Persebaya dalam usahanya menjadi tuan rumah delapan besar. BLI pun menilai seperti itu. Karena itu, posisi Persebaya menjadi cukup sulit. Kalaupun nanti Green Force menjuarai Wilayah Timur, tidak sertamerta mereka akan ditunjuk sebagai tuan rumah.

Memang, status juara grup menjadi salah satu parameter utama penentuan tuan rumah. Namun, hal itu jelas tidak berlaku bagi Persebaya karena ulah anarkis pendukungnya. Tentu ada kekhawatiran dari BLI untuk menunjuk mereka mengingat kerusuhan di Gresik Rabu lalu. BLI tentu ingin menjaga citra delapan besar dengan menjauhkannya dari anarkisme.

Hanya saja, mengecilnya peluang itu, bukan berarti kans Persebaya tertutup rapat. Masih ada celah bagi Persebaya untuk menjadi tuan rumah. Syaratnya Persebaya harus menjuarai Wilayah Timur. Jangan ada pikiran menjadi runner up. Sebab, jika itu terjadi, maka Persebaya harus melakoni delapan besar di markas Persisam yang menjadi juara Wilayah Barat.

Untuk menjadi juara tentu mereka harus mengalahkan Persibo Bojonegoro Minggu besok. Tak sekedar menang tentunya. Persebaya harus menang telak. Sebab, jika tidak, maka Persema yang akan memuncaki klasemen Wilayah Timur.

Ingat, Persebaya kini hanya unggul dalam urusan tabungan gol. Persebaya memiliki tabungan empat gol lebih banyak dari Persema. Tapi, hal itu belum menjadi jaminan. Sebab, dipertandingan terakhir, Persema bertindak sebagai tuan rumah, sedang Persebaya bertamu ke Bojonegoro. Lawan Persema adalah PSIM Jogjakarta. Tim yang di laga sebelumnya dibantai Persekabpas Pasuruan 1-6.

Karena itu, Persebaya harus memang menyakinkan dipertandingan terakhir. Menang besar dan juara grup juga belum cukup. Ada syarat lain. Yakni Persikab Bandung tidak lolos ke delapan besar. Jika Persikab lolos, mereka akan menempat urutan keempat Wilayah Barat dan satu grup dengan Persebaya di delapan besar. Kalau itu terjadi, maka tuan rumah akan jatuh ke tangan Persikab. Alasannya tentu saja anarkisme Bonek Rabu lalu.

Jadi, apa yang bisa dilakukan Persebaya agar Persikab gagal lolos? Persebaya harus berdoa agar Persikabo Bogor mampu menahan imbang Persibat Batang. Lebih mantap lagi, kalau Persikabo sukses mengalahkan Persibat di Batang. Dengan begitu, Persikabo yang lolos. Dan Persebaya tanpa pesaing untuk merebut satu jatah tuan rumah.

Agar Persikabo meraih sukses di Batang, mungkin Persebaya tak hanya perlu berdoa. Persebaya bisa memberi suntikan motivasi kepada Persikabo. Misalnya dengan memberi tambahan bonus kepada mereka bila memang. Saya yakin itu bakal semakin melipatkan semangat temput Persikabo. Toh, memberi stimulus untuk menang bukan hal negatif. Beda, dengan menyuap tim lain agar kalah. Persoalannya kini, Persebaya punya uang atau tidak?
Read More..

05 April 2009

Ricky Yacobi, Memilih Jalan Berbeda

14 tahun sudah Ricky Yacobi atau Ricky Yacob gantung sepatu. Namun, perjalanannya di sepak bola tidak pernah surut. Ricky tetap setia berkecimpung di dunia si kulit bundar. Hanya saja, jalan yang dipilihnya berbeda dari kebanyakan pilihan rekan-rekannya.

Sore itu, Selasa 24 Maret lalu, sinar matahari begitu terik. Guyuran sinarnya cukup menyengat kulit. Tapi, Ricky tak menghiraukan itu. Dia tetap berdiri gagah di sisi selatan Lapangan F komplek Gelora Bung Karno, Jakarta. Dengan setia Ricky menunggu kedatangan satu-persatu murid-muridnya di sekolah sepak bola (SSB) miliknya, SSB Ricky Yacobi.

Begitu semua sudah datang, Ricky lantas mengumpulkan mereka. Anak-anak usia 7 hingga 9 tahun itu kemudian diajaknya berlari-lari mengitari seperempat bagian lapangan. Sore itu, seperti sore-sore sebelumnya, Ricky lalu mengajarkan mereka cara menendang, menggiring, dan mengontrol bola.

Tugas yang mulia. Apalagi, Ricky melakukan itu bukan dalam hitungan ”kemarin sore”. Sudah sembilan tahun aktifitas itu dilakoni anak Medan tersebut. ”Cukup menyenangkan bisa selalu melihat anak-anak bersemangat bermain bola,” katanya.

Meski tugas Ricky sangat mulia, tetap saja aktivitasnya masih mengundang tanya banyak orang. Pertanyaan kenapa Ricky tidak melatih tim-tim liga kerap mampir di telinganya. Dengan reputasinya sebagai bintang sepak bola Indonesia di era 80-an, Ricky dinilai mumpuni membesut tim-tim liga.

Di masa keemasannya sebagai pemain, Ricky turut andil mengantarkan Indonesia meraih medali emas di SEA Games 1987. Setahun sebelumnya, dia berkontribusi membawa Indonesia menembus empat besar Asian Games di Korea Selatan. Bersama Arseto Solo, Ricky merasakan manisnya gelar juara Piala Liga (1987) dan Galataman (1990/1992). Dua kali dia menhabiskan diri sebagai top skor Galatama (1986/1987 dan 1990)

Nah, sebagian besar rekan Ricky di masa keemasannya itu, telah terjun sebagai pelatih tim-tim liga. Sebut saja seperti Bambang Nurdiansyah atau Jaya Hartono. Bambang bahkan pernah membesut tim nasional U-23. Sedang, Jaya sudah pernah membawa tim besutannya menjuarai kompetisi Divisi Utama.

”Tawaran itu (melatih tim liga, red) sering datang. Tapi, saya lebih senang berada di sini. Nilai-nilai kejujuran lebih terasa saat berbagi pengalaman dengan anak-anak,” ujar mantan pemain Arseto Solo tersebut.

Ricky sadar bahwa pilihannya tidak bakal mendatangkan uang. Sebab, di SSB tidak ada gemilang uang hingga miliaran seperti di tim-tim liga. Namun, hal itu tidak membuatnya surut.

Hal utama baginya adalah membantu anak-anak belajar dan berkembang menjadi pesepak bola handal. Dan yang terpenting dirinya tetap bisa selalu dekat dengan sepak bola sekaligus merasakan bau rumput lapangan.

Soal urusan agar dapur tetap mengepul, pria yang pernah merumput bersama klub Jepang Matsushita itu sudah punya ladang. Sejak 11 tahun lalu, Ricky bekerja di salah satu produsen alat olahraga, Specs. Saat ini Ricky menjabat posisi manajer profesional servis. Empat tahun sudah kursi manajer profesional servis didudukinya.

”Dari sanalah (Specs, red) saya memenuhi kebutuhan hidup. Saya merasa enjoy. Apalagi, bekerja di sana tetap membuat saya dekat dengan sepak bola,” ungkapnya.

Dengan jabatan sebagai manajer profesional servis, tugas Ricky adalah mempromosikan produk-produk tempatnya bekerja. Karena itu, Ricky harus sering menyambangi lapangan. Baik itu ke stadion tempat pemain-pemain dewasa, maupun ke lapangan bagi anak-anak bermain bola.

”Inilah pilihan saya untuk tetap dekat dengan sepak bola. Dan sampai saat ini saya cukup senang dengan pilihan ini,” sebutnya.

Dimuat Jawa Pos, 9 April 2009
Read More..

03 Februari 2009

Cari Simpati yang Kelewat Batas

Ketika mimpi menjadi kontestan Piala Dunia belum terwujud, PSSI mengejar mimpi yang lain. Begitulah yang tersurat dari berita yang dilansir kantor berita Reuters pada 28 Januari. Dalam beritanya, Indonesia disebut mencalonkan diri sebagai tuan rumah Piala Dunia 2018 dan 2022. Indonesia mencalonkan diri bersama lima calon lainnya seperti Inggris, Jepang, Qatar, Rusia, dan duet Spanyol-Portugal.

Mimpi yang kelewat batas tentunya. Betapa tidak, untuk menjadi tuan rumah Piala Dunia tentu bukan perkara gampang. Ada banyak hal yang harus disiapkan. Bukan hanya tim. Tapi, juga sarana dan prasarana seperti stadion, transportasi, atau hotel. Bahkan, untuk stadion saja, Piala Dunia membutuhkan 12 biji.

”Orang pasti memanggap ini sebagai mimpi belaka. Tapi, hidup kan dibangun dari mimpi. Lagipula, waktu persiapan kita cukup panjang,” kata Nugraha Besoes, sekretaris jenderal PSSI, kepada saya beberapa saat setelah Reuters melansir berita pencalonan diri Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia 2018-2022.

Memang PSSI berhak bermimpi. Memang waktu persiapan yang dimiliki PSSI juga panjang, 9 dan 13 tahun. Tapi, setidaknya PSSI realistis dengan mimpinya. Untuk memenuhi segala prasyarat menjadi tuan rumah Piala Dunia tidak sekedar butuh tekad. Tapi butuh pemikiran matang. Dan tentunya saja uang yang tidak sedikit. Jumlahnya triliunan. Sanggupkan PSSI menyediakan itu?

Saya jelas pesimis. Publik pun pasti pesimis. Bayangkan, menggelar even Piala Kemerdekaan 2008 dan Piala AFF U-16 (juga tahun 2008) saja PSSI menyisakan banyak masalah. Hutang kepada pihak hotel, penyewaan bus dan mobil, bahkan juga berhutang ke tukang cuci pakaian. Jadi, bagaimana mungkin mereka menggelar Piala Dunia. Padahal, perbedaan level Piala Kemerdekaan dengan Piala Dunia ibarat langit dengan bumi.

Yang lebih membuat kita tidak percaya adalah masih carut-marutnya kondisi sepak bola Indonesia sendiri. Contoh carut-marut itu seperti yang baru saja terjadi pada pertengahan Januari ini. Nurdin Halid dengan seenaknya sendiri melakukan pemutihan hukuman pemain maupun offisial tim. Tak kurang dari lima orang yang mendapat pemutihan. Dan pemberian remisi itu dilakukan diam-diam.

Publik baru mengetahui setelah kembali aktifnya Yoyok Sukawi. Yoyok terlihat mendampingi timnya, PSIS Semarang saat pertandingan pertama babak 24 besar Copa Indonesia melawan Persitara Jakarta Utara di Stadion Jatidiri, Semarang pada 15 Januari. Kehadiran general manajer PSIS itu jelas membuat publik bertanya-tanya. Sebab, pemilik nama lengkap Alamsyah Satyanegara Sukawijaya baru dua bulan menjalani hukuman.

Pada pertengahan Oktober 2008, Yoyok divonis komisi disiplin (Komdis) PSSI enam bulan. Yoyok diskor karena dinilai mengintimidasi wasit. Yoyok lantas banding. Namun, oleh komisi banding, bukan keringanan yang didapat. Tapi, Yoyok justru diskorsing satu tahun. ”Dia masih berstatus terhukum. Namun, dia bisa beraktivitas kembali,” kata Nurdin ketika saya menkonfirmasinya Jumat 30 Januari lalu.

Belum hilang keterkejutan akan kembalinya Yoyok, publik kembali mendapat kejutan lain pada 25 Januari. Tepatnya saat pertandingan Divisi Utama antara Gresik United melawan PSIR Rembang. Dalam laga tersebut, PSIR memainkan Geri Mandagi yang oleh Komdis diskorsing dua tahun.

PSIR berdalih bahwa Geri sudah bebas. Mereka juga menyebut mengantongi surat pembebasan dari PSSI. Bahkan, dalam surat yang diterima PSIR, disebut pula nama Stanly Katuuk yang dibebaskan. Baik Geri maupun Stanly sama sama-sama diskorsing dua tahun akibat melakukan pengeroyokan wasit saat PSIR bertandang ke Persibom Boloang Mongondow (12/11/2008). Karena adanya surat pembebasan itu, PSIR berani memainkan Geri.

Nah, pada waktu yang hampir bersamaan, berita pembebasan pemain hukuman juga dilansir Arema Malang. Manajemen Singo Edan-julukan Arema-menyebut bahwa kiper mereka Kurnia Meiga yang diskorsing enam bulan oleh komisi banding, sudah bisa dimainkan kembali. Meiga sendiri sudah merumput di kompetisi resmi pada 2 Februari kemarin. Saat Arema menjamu Persik Kediri.

Kejutan lain datang dari Christian Gonzalez. Striker asal Uruguay membubuhkan tanda tangan kontrak dengan Persib Bandung pada Jumat 30 Januaru. Kerjasama itu terjalin, lantaran Gonzalez sudah bebas dari hukuman. ”Alhamdulillah, keajaiban datang. Tadi malam (29/1) saya dapat surat dari Pak Haruna (Soemitro) dan Pak Iwan (Boedianto),” aku Eva Siregar, istri Gonzalez.

Isi surat itu menyebutkan kalau Gonzalez bisa bermain. ”Dia (Gonzalez, red) memang sudah bisa bermain,” ujar Nurdin. Lho kok? Bukannya Gonzalez diskorsing satu tahun. Hukuman itu dijatuhkan Komdis pada November tahun lalu. Skorsing itu diberikan lantaran Gonzalez dinilai melakukan pemukulan terhadap pemain PSMS Erwinsyah Hasibuan ketika Persik menjamu PSMS.

”Mereka mendapat peninjau kembali. Tapi, bentuk hukumannya seperti apa saya tidak hafal. Lihat saja di kode disiplin PSSI,” dalih Nurdin. Ini jelas janggal. Masak dengan keputusannya sendiri tidak ingat.

Yang lebih membuat janggal, ternyata putusan Nurdin melanggar kode disiplin PSSI. Sesuai pasal 149 ayat 3 kode disiplin disebutkan bahwa jika peninjauan kembali oleh ketua umum PSSI hanya berlaku untuk pihak yang sanksinya lim tahun ke atas. Nah, dari lima orang yang mendapat pemutihan, hukuman mereka semua kurang dari lima tahun. Apa namanya kalau bukan keputusan kontroversi?

Pun demikian halnya dengan keputusan mengajukan diri sebagai tuan rumah Piala Dunia 2018 dan 2022. Semua ini hanya sebuah kontroversi. Keputusan itu sengaja dibuat tidak lebih hanya untuk kepentingan sendiri. Keputusan itu dibuat untuk menarik simpati pengelola sepak bola Indonesia agar tetap mendukung Nurdin memimpin PSSI.

Ingat tahun ini PSSI harus melakukan pemilihan ulang kepengurusan. Hal itu seperti ditegaskan FIFA. Bahwa PSSI harus melakukan pemilihan ulang lantaran FIFA tidak mengakui keabsahaan hasil musyawarah nasional (Munas) PSSI di Makassar pada April 2007.

Benar-benar sikap yang kelewat batas. Sudah tuan-tuan lebih baik tinggalkan saja Senayan dan tidur nyenyak di rumah. Biarlah orang lain yang lebih sehat yang mengendalikan roda organisasi sepak bola Indonesia. Toh, di tangan kalian, prestasi sepak bola Indonesia tetap kering. Yang ada justru kontroversi, kontroversi, dan kontroversi. Di tangan kalian yang terjadi malah inkonsistensi, inkosistensi, dan inkonsistensi lagi.
Read More..

Dia Tetap Berlari Kencang

Rambutnya sudah memutih. Kerutan juga sudah banyak menghiasi wajahnya. Sedikit tanda bahwa lelaki itu sudah tua. Risdianto lelaki tersebut. Risdianto adalah striker tim nasional pada era 70-an. Ris-begitu dia akrab disapa-memang sudah tidak muda lagi. 3 Januari lalu, Risdianto genap 59 tahun.

Kendati sudah tua, tapi semangat dan energinya masih nampak seperti masa mudanya dulu. Apalagi, jika bersinggungan dengan sepak bola. Risdianto tidak pernah kehilangan antusiamenya. Bahkan, Risdianto juga tetap mampu berlari kencang untuk sepak bola Indonesia. ”Sepak bola sudah menjadi hidup saya. Tidak mungkin saya meninggalkannya,” katanya.

Semasa bermain, selain cerdik, Risdianto memang dikenal sebagai striker yang memiliki kecepatan. Hanya saja, Gayeng-begitu para sahabatnya memanggilnya-kini sudah tidak lagi berlari kencang di atas lapangan. Sebab, sejak 1983 silam, striker terbaik yang pernah dimiliki Indonesia itu telah gantung sepatu. Warna Agung menjadi klub terakhir yang dibelanya.

Risdianto kini hanya bisa berlari kencang di pinggir lapangan. Yang dikejarnya pun bukan lagi bola. Namun, para pemain muda. Untuk itu, dia bukan sekedar menjejak lapangan seluas 110x65 centimeter. Risdianto kini harus menjejak ke satu daerah, lantas pindah ke daerah lain. Pergi menyambangi Pulau Sumatra, lalu berkeliling tanah Jawa. Singgah ke Sulawesi, lalu ”berlari” ke Papua. ”Kalau mau sepak bola kita kembali berjaya, kita memang harus ngopeni pembinaan pemain usia muda,” sebutnya.

Bergumul dengan pemain belia. Itulah yang kini dilakoni legenda sepak bola Indonesia asal Pasuruan tersebut. Risdianto benar-benar mencurahkan konsentrasinya ke pembinaan pemain muda. Apalagi, dia juga dipercaya mengisi posisi tim monitoring di Badan Tim Nasional (BTN).

Karenanya, Risdianto pun semakin getol berlari ke beberapa daerah. Tak sekedar lari tentunya. Tapi, berlari dengan kencang. Larinya itupun bukan sekedar memantau bibit-bibit muda untuk dimasukkan ke tim nasional. Namun, Risdianto juga ikut ”menggerakkan” roda kompetisi antarpemain muda.

Nah, untuk dua hal itu, Risdianto seperti memiliki energi berlebih. ”Untuk hal ini saya benar-benar terdorong dan banyak belajar dari alamarhum (Ronny Pattinasarany),” aku pria yang pernah bermain untuk klub Hongkong Mackinnons FC (1974-1975) tersebut.

Selain itu, tentu saja energinya juga terbangun karena kecintaannya kepada sepak bola. Seperti yang dibilang Risdianto, karena sepak bola sudah menjadi bagian hidupnya, maka dia tidak mungkin meninggalkannya. Kecintaannya itupula yang kini membuat tetap tegar menjalankan tugasnya. Meski, Risdianto kini harus bekerja sendirian.

Dua patner kerjanya-Iswadi Idris dan Ronny Pattinasarany-telah berpulang tahun lalu. ”Saya seorang striker. Jadi, saya tidak harus menjadi cenggeng dengan situasi ini. Saya harus tetap bekerja untuk mencetak gol,” tegasnya.

Risdianto memang tetap harus berlari kencang. Sebab, sepak bola Indonesia masih tetap pacaklik prestasi selepas 1991. ”Saya sudah terbiasa dengan keadaan penuh tekanan. Saya memang tidak boleh berhenti,” ujarnya.

Tetap berlari kencang Pak Ris. Jika dulu dengan lari kencang itu Anda mampu mengukir gol. Semoga lari Anda kali ini mampu menghasilkan tunas-tunas baru yang akan mengentas sepak bola Indonesia dari paceklik prestasi.
Read More..

19 Januari 2009

Merekalah yang bakal Terdegradasi

Suhu panas dipastikan tidak hanya tersaji dalam pertarungan merebut juara. Persaingan melepaskan diri dari jerat degradasi juga bakalan sengit. Sebab, selain ingin juara, setiap kontestan Indonesia Super League (ISL) 2008/2009 juga tidak ingin ”menikmati” panasnya kursi degradasi. Kendati begitu, diakhir musim nanti sudah pasti tiga tim harus rela turun kasta.

Selain itu, satu tim lainnya harus memainkan playoff dengan peringkat empat Divisi Utama. Pemenangnya akan tampil di ISL musim depan. Yang kalah tentu saja harus berkompetisi di Divisi Utama musim depan. Nah, siapa yang bakal menerima kenyataan pahit itu?

Delta Putra Sidoarjo (Deltras) jelas menjadi tim yang paling terancam. Pasalnya, mereka kini yang menghuni posisi buncit. Poin yang mereka kantongi juga baru sepuluh. ”Tapi, kami masih sangat optimis bisa lolos dari jerat degradasi,” tegas George Handiwiyanto, manajer Deltras.

Deltras-kata George-memiliki sejumlah alasan dengan optimismenya itu. Salah satunya adalah jatah partai kandang yang mencapai sembilan kali. Jumlah itu bisa membuat tim berjuluk The Lobster itu mendulang 27 poin, kalau mampu mengoptimalkannya. Jika poin itu mampu diraih, maka Deltras sudah bisa membukukan 37 angka.

”Kami sudah melakukan perombakan tim. Dengan komposisi baru ini, kami yakin lolos dari degradasi. Untuk itu, kami tidak hanya akan memaksimalkan partai kandang. Kami juga akan merebut 40 persen pertandingan tandang,” papar George.

Di samping Deltras, bayang-bayang degradasi juga menghantui enam tim lainnya. Sebut saja seperti PSMS Medan, Persita Tangerang, PSIS Semarang, Persitara Jakarta Utara, Persiba Balikpapan, dan PKT Bontang. Mereka itulah yang hingga akhir putaran pertama menghuni papan bawah.


Namun dari daftar itu, beban berat ada di empat tim yakni PSMS, PSIS, Persita, dan Persitara. PSMS memang memiliki sembilan partai kandang. Tapi, Ayam Kinantan-julukan PSMS-harus berbagi konsentrasi di tiga kompetisi. Selain ISL juga ada kompetisi di level Asia dan Copa Indonesia. PSMS juga masih harus melakoni partai kandang di luar Medan.

Untuk putaran kedua, PSMS telah mengajukkan Stadion Siliwangi, Bandung sebagai kandangnya. Dan itu sama artinya mereka tampil di luar kandang dan jauh dari suporternya. Kondisi yang sama juga dialami Persita. Mereka harus tampil di luar Tangerang. ”Kami sudah terbiasa dengan itu. Karena itu, kami yakin minimal bisa mendulang 41 poin dan menempatkan diri di posisi 14,” sebut Zaenal Abidin, pelatih Persita.

Bagaimana dengan PSIS? Diantara kompetitornya, PSIS memiliki laga kandang paling sedikit yakni delapan. Dengan delapan laga kandang, maka mereka hanya bisa menambah 24 poin. Dan hal itu sendiri sulit diwujudkan. Sebab, di putaran pertama saja, mereka hanya bisa menang di tiga kali di kandang sendiri.

Sementara Persitara sedikit lebih aman. Mereka memiliki sembilan laga kandang. Jika mampu mengoptimalkan, maka 27 poin bisa didapatkan. Dan itu berarti mereka bisa menutup kompetisi dengan raihan 41 poin. ”Saya pikir jumlah itu sudah cukup untuk lolos dari degradasi. Karena itu, kami akan konsentrasi penuh mengamankan sembilan pertandingan kandang kami,” kata Harry ”Gendhar” Ruswanto, manajer Persitara.
Read More..

Siapa yang Mengangkat Tropi di Edisi Perdana ISL

Persipura-Persija yang Terdepan

Pertarungan di Indonesia Super League (ISL) 2008/2009 akan kembali tersaji. Akhir pekan ini putaran kedua ISL musim ini dimulai. Dan 13 Juni 2009 akan menjadi babak akhirnya. Siapa yang bakal tertawa dan berduka di akhir musim ISL edisi perdana ini?

Bukan bermaksud mengesampingkan pentingnya degrdasi. Tapi, untuk yang pertama, kita mencoba dulu menakar tim mana saja yang bakal bertahta di ISL edisi perdana ini. Memang bicara degradasi bukanlah hal tabu dalam sebuah kompetisi sepak bola. Sebab, degrdasi juga merupakan salah satu esensi kompetisi. Namun, umumnya kan lebih dulu menakar calon juara, bukan memprediksi tim yang akan degrdasi.

Lantas siapa yang bakal bertahta di akhir kompetisi nanti? Secara kasat mata, tentu lima tim teratas di klasemen akhir putaran pertama lalu yang berpeluang menjadi juara. Mereka antara lain Persipura Jayapura, Persija Jakarta, Persiwa Wamena, Sriwijaya FC Palembang, dan Persib Bandung.

Mereka punya modal lebih dibanding kontestan lainnya. Modal itu tidak lain adalah raihan poin yang telah melebihi angka 30. Donasi itu jelas menjadi jaminan. Apalagi, di putaran kedua, mereka masih memiliki delapan hingga sembilan partai kandang. Seperti diketahui, laga kandang selalu menjadi lumbung poin. Dan di atas kertas, mereka pasti bisa memaksimalkan pertandingan kandang tersebut.

Jadi, sepertinya sulit bagi kontestan lainnya mengejar kelimanya. Apalagi, mereka bukan saja bermodal poin di atas 30 serta sisa laga kandang yang cukup banyak. Namun, kelimanya juga didukung materi pemain yang komplit, Persiwa menjadi pengecualian. Mereka dihuni pemain-pemain dengan kualitas nomor wahid untuk ukuran sepak bola Indonesia. Dari posisi kiper hingga barisan penyerangan. Jadi, merekalah yang paling berpotensi mengakhiri kompetisi sebagai jawara.

Kendati begitu, kita tetap patut bertanya. Benarkah mereka yang paling berpeluang menjadi juara? Untuk itu tentu harus dihitung dan dicermati kelebihan dan kekurangan kelima tim tersebut.

Dimulai dari Persipura. Di putaran pertama mereka telah mengemas 39 poin. Di putaran kedua nanti Mutiara Hitam-julukan Persipura-setidaknya punya dua keuntungan. Persipura memiliki delapan laga kandang, dimana empat diantaranya dimainkan secara beruntun. Mereka juga memainkan partai terakhir di kandang.

Jika keuntungan tersebut bisa dimaksimalkan, maka Persipura bisa mendulang 24 poin. Dengan tambahan itu anak-anak Mandala itu bisa mengepak 63 poin. ”Tapi kami memiliki beban berat harus mengawali putaran kedua dengan lima partai away. Kami harus cerdik mengatur strategi agar tidak drop,” sebut Jacksen F Tiago, arsitek Persipura.

Lalu Persija. Macan Kemayoran-julukan Persija-mengarungi putaran kedua bermodal 35 poin. Di putaran kedua, Persija mendapat jatah sembilan laga kandang. Tiga diantaranya bakal dijalankan secara beruntun. Di akhir kompetisi, Persija juga bertindak sebagai tuan rumah. Kalau itu bisa dioptimalkan, 27 poin bisa direngkuh Persija. Jika ditambah dengan poin putaran pertama, maka Persija mampu mengemas 62 angka.

”Kalau mau juara, keuntungan itu harus kami optimalkan. Kami juga harus mampu mengulang sukses memenangi pertandingan di luar kandang,” tegas Danurwindo. Persija punya modal untuk itu. Di putaran pertama, mereka sukses merebut empat kemenangan di kandang lawan. Bahkan, dua kemenangan direngkuh di kandang ”macan”. Yakni di markas Persib dan Sriwijaya FC. Hanya saja, di putaran kedua, dari delapan laga tandang Persija, empat harus dilakoni secara beruntun.

Lantas Persiwa. Kini mereka memiliki poin sama dengan Persija, 35. Di putaran kedua, Persiwa juga mendapat kuota sembilan partai kandang. Sama halnya dengan Persija, jika Persiwa mampu mengoptimalkan, maka 62 poin akan mereka raup. Sayang, Badai Pegunungan Tengah-julukan Persiwa-harus mengawali putaran kedua dengan empat pertandingan away.

Di sisi lain, Persiwa sepertinya tidak bakal mau menjadi juara. Mengapa begitu? Sebab, jika juara, konsekuensi yang mereka tangguh sangat berat. Ingat juara ISL akan tampil di Liga Champions Asia (LCA). Nah, jika Persiwa sampai juara, maka mereka harus melakukan perombakan stadion agar layak untuk LCA. Dan itu tentu merogok kocek yang sangat dalam. Sebab, harga bahan bangunan sangat mahal di Wamena. Di sisi lain, mereka juga harus menyiapkan dana besar untuk bertarung di LCA dan juga kompetisi nasional. Jadi, Persiwa besar kemungkinannya akan melepas kans juara. ”Hal terpenting dan paling utama bagi Persiwa adalah memberi hiburan untuk masyarakat Wamena. Itu sudah cukup,” aku Agus Santoso, sekretaris Persiwa.

Berikutnya adalah Sriwijaya FC dan Persib. Beban keduanya di putaran kedua jauh lebih berat dibanding tiga rivalnya. Sriwijaya FC misalnya. Mereka hanya memiliki delapan laga kandang. Sembilan lainnya adalah pertandingan tandang. Beratnya, lima diantaranya harus dijalani Laskar Wong Kito-julukan Sriwijaya FC-secara beruntun di akhir kompetisi. Hanya mengandalkan laga kandang, Sriwijaya FC hanya akan mendapatkan 57 poin.

Memang Sriwijaya FC memiliki keuntungan mengawali putaran kedua dengan empat pertandingan kandang. Namun, Rahmad Darmawan dan anak asuhnya harus membagi konsentrasi dan tenaganya untuk tampil di ajang sekaligus. Mereka harus bertarung di Liga Champion Asia (LCA). Sriwijaya FC juga harus tampil di Copa Indonesia. Dan tentu saja di ISL.

Bagaimana dengan Persib? Mereka dituntut mendulang poin lebih ekstra dibanding empat tim di atasnya. Sebab, Persib baru mempunyai 31 poin. Yang menyulitkan, jatah kandang mereka hanya delapan. Maung Bandung-julukan Persib-justru harus main di luar kandang sembilan kali. Lima diantaranya harus dihadapi Persib secara beruntun. Bahkan, Persib harus menutup pertandingannya di kandang musuh bebuyutannya, Persija.

”Melihat fakta yang ada di depan, Persipura dan Persija yang berada digaris terdepan perebutan juara,” prediksi Junaidi, pelatih Persijap Jepara.
Anda setuju dengan prediksi Junaidi? Semua terserah Anda. Yang pasti mari kita nikmati bersama pertarungan klub-klub ISL mulai pekan depan.
Read More..