Catatan negatif begitu banyak menghiasi wajah kompetisi Indonesia Super League (ISL) edisi perdana. Saking banyaknya catatan tersebut, label super pun terasa masih sebatas nama. Meski banyak catatan negatif, ISL tahun pertama ini tetap memiliki sisi positif.
Salah satu sisi positif itu adalah tinggi produktifitas gol yang tercipta selama ISL 2008/2009 ini. Sejak dihelat pada 12 Juli 2008 hingga berakhir 10 Juni 2009 telah terlahir 814 gol..Itu artinya setiap pertandingan rata-rata terlahir 2,66 gol. Sebab, ISL 2008/2009 mempertandingkan 306 laga.
”Jika dirata-rata ternyata terdapat lebih dari 2 gol di setiap pertandingan, bagi saya itu berarti produktifitas gol cukup bagus,” sebut Danurwindo, pelatih Persija Jakarta, pada suatu kesempatan.
Ya, jika dibandingkan dengan Liga Indonesia Divisi Utama musim 2004, torehan gol di ISL edisi perdana ini memang jauh lebih baik. Liga Indonesia musim 2004 juga menggunakan sistem satu wilayah seperti ISL. Jumlah kontestannya pun 18, sama dengan peserta ISL.
Pada kompetisi Divisi Utama musim 2004, di akhir laga hanya tercipta 713 gol. Itu artinya ada selisih 101 gol antara yang tertoreh di ISL dengan di Divisi Utama musim 2004.
Dengan jumlah pertandingan 306, maka gol yang dihasilkan di setiap pertandingan hanya 2,3. Hitungan itu tentu menunjukkan kalau produktifitas gol di ISL edisi pertama ini cukup tinggi. ”Rata-rata itu (2,6 gol per pertandingan) menandakan bahwa mayoritas tim-tim ISL memainkan sepak bola menyerang,” kata Suharno, pelatih Persiwa Wamena.
Selain tingginya produktifitas gol, langkah Badan Liga Sepak Bola Indonesia (BLI) menggelar pertandingan pada bulan ramadhan juga menjadi sisi positif lainnya. Hal itu menjadi sejarah tersendiri bagi sepak bola Indonesia. Sebab, selama ini, kompetisi di Indonesia selalu berhenti lebih dari sebulan ketika memasuki ramadhan.
6 September 2008 menjadi sejarah baru sepak bola Indonesia tersebut. Untuk kali pertama kompetisi sepak bola nasional digulirkan pada bulan Ramadhan. Laga Persik Kediri lawan PSM Makassar di Stadion Brawijaya, Kediri menjadi pembuka.
Awalnya, banyak pihak yang tidak yakin dengan gebrakan BLI tersebut. Banyak yang meragukan kualitas pertandingannya. Tidak sedikit pula yang pesimis dengan antusiasme penonton. Tapi, prediksi tersebut langsung terbantahkan di hari pertama pertandingan di bulan Ramadhan.
Duel Persik kontra PSM berjalan menarik. Bahkan, tuan rumah nyaris dibuat malu oleh tim tamu. Penonton yang hadir di Stadion Brawijaya pun tidak bisa dibilang sedikit. Dari data BLI, tercatat ada enam ribu penonton. Di lapangan jumlahnya jelas berbeda. Sebab, waktu itu nyaris semua tribun Stadion Brawijaya terisi. Kapasitan stadion di tepi Kali Brantas itu sendiri berkisar 15.000.
Secara keseluruhan, pertandingan di Ramadhan berlangsung seru. Dari 37 laga selama Ramadhan terlahir 94 gol. Artinya di setiap pertandingan rata-rata tercipta 2,5 gol. Hanya saja, pertandingan di bulan Ramadhan tetap menyisakan secuil catatan. Itu terakit jadwalnya yang terlalu padat.
Bayangkan, dalam tiga pekan Ramadhan, rata-rata pemain harus melakoni lima pertandingan. Itu artinya setiap empat hari sekali para pemain harus menjalani pertandingan. Yang memberatkan, jarak antara satu tempat pertandingan dengan tempat lainnya cukup berjauhan. Kondisi itu tentu harus menjadi bahan evaluasi untuk musim depan.
”Berat memang menjalani kompetisi pada bulan Ramadhan. Tapi, justru pertandingannya sangat menantang. Saya rasa bukan sesuatu yang salah, jika langkah ini dilanjutkan,” ungkap pelatih asal Malaysia Raja Isa yang sempat membesut PSM dan Persipura.
Keberanian BLI itu menggelar pertandingan di bulan ramadhan juga menjadi bukti betapa antuasinya penonton Indonesia. Ya, selama pertandingan di bulan ramadhan, penonton animo masyarakat datang ke stadion tetap tinggi.
BLI mencatat ada 363.816 penonton yang hadir di stadion selama ramadhan. Jika dirata-rata, maka setiap pertandingan dihadiri sekitar 9832 penonton. Jumlah yang tidak kecil. Pasalnya, rata-rata stadion di Indonesia kapasitasnya 15 ribu. Jadi, jumlah tersebut sama artinya separo lebih dari kapasitas stadion.
Angkat Topi Untuk Suporter
Bicara penonton atau suporter, bagi saya merekalah yang paling dewasa di ISL edisi perdana. Memang masih ada kerusuhan yang ditimbulkan suporter. Setidaknya ada tiga kerusuhan besar yang meletup.
Seperti aksi brutal suporter Persib Bandung saat timnya kalah dari Persija di Stadion Siliwangi, Bandung (20/7/08). Akibat ulah bobotoh-sebutan suporter Persib-pertandingan sempat terhenti sekitar 15 menit. Selain itu juga ada ulah pendukung Arema Malang di akhir laga Arema kontra PKT Bontang (13/9/08).
Kerusuhan lebih parah meletus di Makassar. Tak terima timnya kalah dari Persela (15/9/08), ribuan suporter PSM masuk ke lapangan. Mereka merusak beberapa fasilitas stadion. Seperti pagar pembatas, tembok stadion, gawang, maupun aboard.
Kendati begitu, secara umum mereka jauh lebih baik daripada komponen lainnya yang terlibat di ISL. Bandingkan saja dengan perangkat pertandingan. Dari catatan komisi disiplin (Komdis) hanya sedikit saja keputusan yang bersinggungan dengan penonton.
Sebaliknya, terdapat sembilan pengawas pertandingan (PP) yang dikembalikan ke BWSI. Satu diantara sembilan PP itu bahkan diistirahtakan selama satu tahun. Dan terdapat tujuh wasit yang dikembalikan ke BWSI. Kinerja mereka juga masih banyak yang amburadul. Tidak sedikit pula-meminjam istilah Direktur Kompetisi BLI Joko Driyono-wasit yang masuk angin. Bahkan, di ISL ini, ada wasit yang memukul offisial tim. Wasit itu adalah Yandri yang memukul asisten manajer PSM.
Pemain dan offsial tim juga setali tiga uang dengan perangkat pertandingan. Sepanjang ISL edisi perdana, banyak sekali terjadi perkelahian antarpemain dan juga aksi brutal offisial tim. Bahkan, dimusim ini tercatat tiga kali fairplay dikebiri oleh pemain. Yakni oleh James Debbah (PKT) dan Buston Browne (Arema) yang mencetak gol dengan mengindahkan etika fairplay.
Adapula, aksi protes ala pemain Persib kala dijamu Persitara Jakarta Utara di Stadion Surajaya, Lamongan (2/6/09). Karena kecewa terhadap wasit, mereka membiarkan gawangnya dibobol lawan. Pada lima menit akhir pertandingan, pemain Persib malah aksi duduk, tidur, dan berdiam diri di lapangan.
BLI dan PSSI pun tak jauh beda. BLI masih saja terlalu toleran dalam memberlakukan aturan. Tak kurang dari 70 kali mereka mengubah jadwal. PSSI. Otoritas sepak bola Indonesia itu melalui sang ketua umum Nurdin Halid malah menginjak aturan yang mereka buat sendiri. Hal itu seiring diterbitkannya pengampunan kepada beberapa orang bermasalah.
Seperti dibebaskannya Christian Gonzalez dari skorsing satu tahun dan juga kiper muda Kurnia Meiga Hermasyah. Demikian juga dengan dibebaskannya general manajer PSIS Yoyok Sukawi.
Jadi, penontonlah atau suporterlah yang lebih layak diberi apresiasi. Apalagi, di akhir kompetisi mereka juga menutupnya dengan sangat indah. Dimana, dua suporter yang selama ini bermusuhan-Jakmania (suporter Persija) dan Viking (kelompok suporter Persib)-bertemu di Stadion Gajayana, Malang.
Tak ada gesekan. Tak ada tawuran. Yang ada, keduanya beradu kreasi, beradu suara, beradu semangat dalam mendukung tim kesayangannya yang berlaga di atas lapangan.
18 Juni 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
nice posting bro...
memang betul bro, diantara semua aspek yang ada di sepakbola Indonesia, hanya suporter yang harus kita apresiasi lebih banyak...masih ada kejujuran dalam diri mereka untuk memajukkan dunia olah kulit bundar tanah air...meski di republik ini banyak sekali orang yang berpikir seperti itu...hanya kelompok-kelompok pendukung timlah yang sekana tidak terbeli oleh kemapanan arus globalisasi...bahakn lebih baik dari kita sendiri yang senantiasa berteriak sebagai pewarta...semoga kedepannya lebih baik bro...dan itu diawali dari integritas kita sebagai seorang jurnalis...maju terus sepakbola Indonesia...No Tawuran..No Anarkis...just good football, Indonesia...!!!
Posting Komentar