16 Juni 2009

Super Baru Sebatas Nama

Indonesia Super League (ISL) edisi perdana telah berakhir Rabu 10 Juni lalu. Strata tertinggi kompetisi sepak bola Indonesia itu ditutup meriah dan diwarnai hujan gol. Selain itu, ISL edisi perdana juga berakhir dengan banyak catatan.

Perhelatan pertama ISL kali ini terasa begitu manis bagi publik Papua. Betapa tidak, beragam gelar berhasil diboyong ke Bumi Cenderawasih. Persipura Jayapura ditahbiskan diri sebagai juara. Saudara mudanya-Persiwa Wamena-sukses merebut posisi runner up.

Putra Papua, Boaz Boaz Theofilius Erwin Solossa dinobatkan sebagai pemain terbaik. Mutiara dari Sorong itu juga berhasil menyabet gelar pencetak gol terbanyak alias top skor. Mengoleksi 28 gol, Boaz bersanding dengan striker Persib Bandung Christian Gonzalez dalam daftar top skor.

Selain ujung ISL edisi perdana yang dihelat dari 12 Juli 2008 hingga 10 Juni 2009 terasa manis bagi tanah Papua, akhir ajang tersebut juga sangat meriah. Saat penutupan di Stadion Mandala, Jayapura, tak kurang dari 30.000 orang hadir. Situasi yang tentu sangat kontras dibanding akhir Liga Indonesia 2007 yang ditutup tanpa kehadiran penonton. Pesta penobatan Sriwijaya FC Palembang sebagai juara pascamenekuk PSMS Medan 3-1 di Stadion Jalak Haraupat, Bandung kala itupun terasa hambar.

Yang tak kalah menarik, akhir ISL edisi perdana juga ditutup dengan hujan gol. 36 gol tercipta dipertandingan terakhir. Persiwa, Deltras Sidoarjo, Persiba Balikpapan, dan juga PKT Bontang bahkan berhasil menyuguhkan lima gol kepada para pendukungnya di laga terakhir.

Namun, akhir yang manis itu, tetap tidak bisa mengimbangi banyaknya catatan negatif pada ISL edisi pertama ini. Saking banyaknya catatan tersebut ISL musim pertama ini terasa jauh dari kata sempurna. Status super yang melekat pada ISL pun terasa baru sebatas nama.

Banyak hal yang menggambarkan betapa tidak supernya ISL yang berstatus super. Bahkan, catatan negatif bahkan sudah tertoreh sejak awal ISL digulirkan. Tepatnya mulai saat BLI melakukan verifikasi para calon kontestan ISL.

Ada lima aspek yang diverifikasi BLI. Aspek infrastruktur, finansial, legal, personal dan administrasi, serta sporting. Ketika proses verifikasi BLI terlihat serius. Apalagi, mereka berani mengeliminasi Persim Minahasa dan Persiter Ternate yang dilihat tidak memenuhi persyaratan.

Namun, keberanian itu terasa hambar saat PSSI memutuskan ada pergantian terhadap dua tim yang tereliminasi. Dimana, PKT Bontang dan PSIS Semarang ditetapkan sebagai pengganti. Kehambaran semakin terasa tatkala BLI meloloskan PSMS Medan, Persita Tangerang, dan Persitara Jakarta Utara untuk berlaga di ISL.

Padahal, stadion ketiganya tidak memenuhi syarat. Ketika kompetisi berjalan, ketiganya pun berpindah-pindah stadion saat menjamu tamu-tamunya. Hal itu bukan saja menyulitkan ketiganya, tapi juga tim lawan.

Awal kompetisi, juga ternoda dengan sikap BLI yang memperbolehkan beberapa pelatih yang masih berlisensi B memimpin tim. Padahal, dalam aturan, yang boleh melatih tim ISL adalah pelatih yang berlisensi A. Mereka yang sejatinya belum berlisensi A pada awal musim antara lain Jaya Hartono (Persib), Suharno (Persiwa), M. Basri (Persela Lamongan), serta Mustaqim (PKT Bontang).

Memasuki musim kompetisi, sisi negatif ISL semakin banyak. Salah satunya kambuhnya penyakit lama BLI yang senantiasa melakukan perubahan jadwal. Hingga akhir kompetisi tercatat tak kurang dari 70 kali BLI melakukan perubahan jadwal. Situasi itupun memunculkan lelucon yang cukup memerahkan telinga. Beberapa orang menanggap bahwa ada lima hal yang tidak bisa diprediksi. Selain lahir, mati, jodoh, dan rejeki, juga jadwal kompetisi Indonesia (termasuk ISL).

Memang sih, BLI mendapat kesulitan besar untuk menjalankan jadwal ideal untuk ISL edisi perdana. Sebab, di tengah-tengah ISL perdana bergulir pula pemilihan umum (Pemilu). Dan tidak bisa dipungkiri bahwa sebagian besar perubahan jadwal itu akibat dari agenda pemilu.

Di masa proses pemilu, banyak klub yang kesulitan mendapatkan ijin pertandingan. BLI sempat mengajukan opsi menggelar sentralisasi di Jawa Timur. Klub sempat setuju. Tapi, semua menjadi mentah kembali karena sikap naif penguasa PSSI. Alhasil, perjalanan kompetisi sempat amburadul. Ada klub yang tetap bisa terus menjalankan pertandingan. Tidak sedikit pula yang harus istirahat lama.

Meski memuakkan, tapi saya tetap bisa ”sedikit” memaklumi adanya banyak perubahan jadwal karena Pemilu. Tapi, saya menjadi dongkol dengan adanya perubahan jadwal karena agenda tim nasional. Seperti yang terjadi pada Januari 2009. ISL harus berhenti lantaran PSSI ingin mengutamakan pemusatan latihan tim nasional.

Sebuah fakta yang menunjukkan betapa buruknya manajemen PSSI. Agenda tim nasional kan di arena internasional kan jauh-jauh hari sudah mereka ketahui. Jadi, seharusnya mereka sudah melakukan sinkronisasi agenda tim nasional dengan kompetisi nasional.

Sikap PSSI yang seenaknya mengubah jadwal lantaran tim nasional juga menunjukkan betapa naifnya mereka menghargai klub. Jika PSSI kumpulan orang profesional, selayaknya mereka paham bahwa klub harus diistimewakan. Sebab, mereka pemilik kompetisi sekaligus penggerak sepak bola.

Kembali ke catatan negatif ISL, perubahan jadwal bukan satu-satunya masalah di tengah kompetisi. Masih ada deretan catatan lainnya. Antara lain kepemimpinan wasit yang buruk, perkelahian antarpemain, hingga aksi anarkis penonton.

Bahkan, di tengah kompetisi juga muncul fenomena baru. Dimana, offisial tim yang senang menganiaya perangkat pertandingan. Seperti yang diperlihatkan Yoyok Sukawi dari PSIS Semarang atau Ekoyono Hartono (Arema Malang). Keduanya berusaha menganiaya wasit di tengah lapangan.

Yang lebih menyedihkan adalah dikebirinya fair play. Di ISL musim pertama ini tercatat tiga kali fairplay dikebiri oleh pemain. Yakni oleh James Debbah (PKT) dan Buston Browne (Arema) yang mencetak gol dengan mengindahkan etika fairplay.

Adapula, aksi protes ala pemain Persib kala dijamu Persitara Jakarta Utara di Stadion Surajaya, Lamongan (2/6/09). Karena kecewa terhadap perangkat pertandingan, mereka membiarkan gawangnya dibobol lawan. Pada lima menit akhir pertandingan, pemain Persib memilih berdiam diri di atas lapangan, duduk-duduk, dan beberapa diantaranya tiduran.

Super sekedar status semakin kental terasa dengan melimpahnya keputusan komisi disiplin (Komdis) PSSI. Hingga sidangnya pada 6 Mei, ada 135 keputusan. Jumlah itupun masih bisa bertambah. Sebab, pada 24 Juni nanti Komdis berencana menyidangkan sembilan kasus lagi.

Dengan angka yang ada sekarang ini saja (135) sudah memperlihatkan betapa tingginya angka pelanggaran. Sesuatu yang ironis. Dengan status kompetisi profesional dan menempati kasta tertinggi di pentas sepak bola Indonesia, sudah seharusnya memang pelanggaran disiplin tidak terlalu banyak. Sebab, para pelakunya tentu sudah lagi pernah membaca aturan permainan sepak bola atau laws of the game.

Namun, mereka juga sudah semestinya telah memahami aturan-aturan yang tertuang. Tidak hanya sampai di situ, para pelaku Djarum ISL tentu juga wajib menjalankan dan mematuhi segala hal yang tertuang dalam laws aturan permainan sepak bola.

Dengan begitu, seharusnya pelanggaran disiplin di Djarum ISL angkanya minim. Bukannya setinggi seperti saat ini. Fakta yang tersaji dari hasil sidang Komdis tersebut tentu menjadi ironi.

Tapi, itulah ISL musim ini. Buruk dan masih jauh dari kata super. Kendati begitu, saya tetap harus menikmatinya sebagai sejarah. Saya pun tidak pantas untuk marah dan mengolok-olok. Apalagi, ini masih kompetisi musim pertama.

Akhirnya, ini semua harus dijadikan bekal berharga untuk menatap ISL musim-musim berikutnya. Selain itu juga selamat buat tanah Papua serta selamat jalan Deltras, Persita Tangerang, dan PSIS. Mungkin juga selamat jalan PSMS Medan. Dan selamat datang Persisam Samarinda, Persema Malang, PSPS Pekanbaru, serta mungkin Persebaya Surabaya di ISL musim depan.

Tidak ada komentar: