12 November 2012

Indonesia, Piala AFF, dan Mursyid Effendi

Musryid Effendi tak akan pernah melupakan malam 31 Agustus 1998 di Ho Chi Minh, Vietnam. Malam itu Mursyid terpaksa menikam hatinya. Terpaksa melukai hati keluarganya. Juga hati masyarakat Indonesia.

Malam itu di Stadion Thong Nhat, Mursyid terpaksa menceploskan bola ke gawang negerinya sendiri. Indonesia pun kalah 2-3 dari Thailand. Caci maki, sumpah serapah, juga sanksi pun bertubi-tubi menghujam ke Mursyid.

”Saya adalah korban,” kata Mursyid saat kami berbincang beberapa tahun silam tentang malam kelam di Ho Chi Minh itu. Kalimat yang sama kembali diulangnya ketika kami bertemu akhir Oktober lalu.

Mursyid tak hendak membela diri. Arek Surabaya itu memang salah. Sebab, Mursyid dengan ”sengaja” mencetak gol ke gawangnya sendiri. Tapi, Mursyid hanya korban. Ada tangan-tangan yang memaksanya melakukan kesalahan itu. Ada pengurus teras PSSI di balik gol Mursyid. Adapula kuasa manajer tim yang kala itu dijabat Andri Amin.

Merekalah yang menikam hati masyarakat. Berdalih strategi menggapai juara, mereka merobek-robek bendera fairplay. Menginjak-injak sportifitas. Indonesia tak diperbolehkan menang di laga pamungkas grup A Piala Tiger-kini Piala AFF-kontra Thailand. Alasannya untuk menghindari Vietnam di semifinal.

Orang-orang itu berdalih Vietnam lebih kuat dibanding Singapura. Bukan saja dari segi materi, tapi juga sisi mental, karena Vietnam tuan rumah. Mereka berpikir jalan menuju tangga juara akan lebih mulus jika bersua Singapura di semifinal. Maka cara apapun mereka lakukan untuk itu, meski kotor. Celakanya, Thailand berpikir sama. Sempat bermain imbang 2-2, skor pun berubah menjadi kekalahan setelah Mursyid mencetak gol dipenghujung pertandingan.

Vietnam memang bisa dihindari. Tapi, malu tak bisa ditolak. Sebab, bangsa ini tercatat pernah memainkan sepak bola gajah. Yang lebih menyayat hati lagi, di akhir turnamen itu malah Singapura-tim yang disepelekan itu-yang menjadi juara. Hati masyarakat pun hancur. Begitupula dengan Mursyid. ”Sebab, orang-orang itu yang berjanji membela saya malah menuduh saya menerima suap,” ungkap Mursyid. Dan beban sejarah kelam itupun akan terus melekat dihidupnya.

Kesalahan itu tak selayaknya diulangi. Dan tak sepantasnya masyarakat kembali dilukai hatinya. Masyarakat sudah sangat rindu. Dahaga mereka sudah tak tertahankan. Sudah 21 tahun masyarakat menanti. Sejak terakhir kali Merah Putih berkibar tinggi di arena SEA Games 1991. Waktu penantian yang jelas tak pendek.

Apalagi, dalam penantian itu, celakanya seringkali kita terlalu sombong dengan mengganggap besar dan penting. Bahkan, acapkali kita sudah merasa seperti juara ketika kita baru sebatas meraih tiket final. Padahal, kita sudah semakin tertinggal.

Kini gelaran Piala AFF sudah di depan mata lagi. Jangan ada lagi kesalahan. Juga kesombongan. Selamat berjuang Pasukan Garuda. Seperti kata Nil Maizar bermainlah dengan hati. Hiraukan hiruk-pikuk orang-orang yang mengaku memahami sepak bola. Sebab, penantian panjang ini harus segera diakhiri.
Read More..

07 Mei 2012

Perempuan Mindanao dan Sepak Bola Indonesia

Keruwetan di sepak bola Indonesia seperti tak berujung. Sebab, semua telah menjadi kaku. Baik yang berada di kubu Jenggala maupun yang berpihak ke Kuningan. Semua hanya memikirkan uang dan mengedepankan syahwat politik. Sepak bolanya sendiri dilucuti keindahannya. Olahraga olah si kulit bundar ini cuma diperalat dan dijadikan alat.

Situasi ini mengingatkan saya tentang cerita Mindanao . Cerita tentang kebebalan laki-laki di Filipina selatan itu. Lelaki Mindanao begitu ringan tangan memanggul senjata. Masalah apapun yang muncul penyelesaiannya selalu dengan senjata.

Tak urung, pistol bisa menyalak setiap saat di Mindanao . Darah bisa tumpah saban hari. Perang pun nyaris tidak pernah berhenti sejak 1970-an hanya untuk sesuatu yang absurd. Akibatnya, ekonomi desa mampet. Keluarga tercerai berai. Dan tidak sedikit penduduk yang akhirnya memilih mengungsi.

Kenyataan yang mirip di sepak bola Indonesia . Egosime ”elit” sepak bola negeri ini membuat Indonesia semakin jauh dari prestasi. Sebaliknya, kompetisi menjadi tak tentu arah. Klub terbelah. Begitupula dengan para suporternya. Tengok saja, Arema Malang, Persebaya Surabaya, Gresik United, atau Persija Jakarta.

Tapi, Mindanao lebih beruntung. Mindanao memiliki perempuan-perempuan mulia. Mereka maju menghentikan perang. Tanpa pistol. Juga tanpa parang. ”Dengan menggunakan tipu daya feminisme, para perempuan berhasil mendesakkan keinginannya,” ujar juru bicara United Nation High Commissioner for Refugees (UNHCR) Asia yang mendampingi para perempuan Mindanao , Kitty McKinsey, September tahun lalu kepada CNN.

Perempuan Mindanao melakukan boikot seks. Mereka monolak melayani suami di ranjang selama perang masih berkecamuk. Langkah yang beresiko. Para perempuan itu bisa saja ditinggalkan suaminya. Tapi, untuk kehidupan yang lebih baik, mereka melupakan resiko itu. Toh, semua perempuan Mindanao sudah sepakat menjalankan perlawanan. Kalaupun mereka ditinggal suaminya, sang suami dipastikan tidak bakal mendapatkan pelabuhan baru. Sebab, semua perempuan pasti menolak diperistri.

Perlawanan yang berbuah manis. Para laki-laki Mindanao meletakkan senjata. Mereka kembali ke rumah. Juga ke ladang. Jalan-jalan desa kembali dibuka. Ekonomi pun bergeliat lagi.

Akhir manis itu bisa ditularkan ke sepak bola Indonesia. Memang perempuan Mindanao tak pernah bertautan dengan sepak bola Indonesia. Tapi, spirit mereka bisa menjadi cambuk. Perlawanan mereka bisa menjadi contoh untuk membangun sepak bola Indonesia yang lebih cerah.

Lakonnya adalah para pemain. Juga pelatih. Baik itu yang bertanding di Indonesia Super League (ISL) maupun yang terjun di Indonesian Preimer League (IPL). Mereka memiliki kekuatan yang sama.

Seperti perempuan-perempuan Mindanao, pemain dan pelatih bisa melakukan boikot. Mereka bisa menolak untuk melakoni pertandingan. Tidak hanya satu atau dua laga. Namun, seluruh sisa pertandingan, selama ”elit” sepak bola masih enggan menepikan egonya.

Aksi yang beresiko memang. Dimana, pemain dan para pelatih bisa kehilangan sumber pendapatan untuk beberapa waktu. Tapi, gerakan harus dijalankan. Toh, itu demi kebaikan masa depan pemain dan pelatih sendiri. Jika iklim sepak bola Indonesia sehat, tentu para pemain dan pelatih bisa lebih nyaman mengais rezeki di lapangan hijau.

Saya percaya, meski pertandingan terhenti, dapur para pemain dan pelatih pasti masih tetap mengepul. Saldo tabungan mereka pasti tidak kosong. Keadaan beberapa waktu ini menjadi buktinya. Kendati beberapa pemain tidak gaji dalam rentang dua atau tiga bulan, toh mereka tetap bisa makan.

Boikot pertandingan mungkin bukan jalan terbaik. Tapi, bisa menjadi efektif meredakan perang. Dengan boikot, para pemain dan pelatih bisa mendesakkan rekonsiliasi. Sungguh-sungguh rekonsiliasi. Bukan sekedar basa-basi seperti selama ini.

Sebab, tanpa pertandingan secara otomatis kompetisi terhenti. Pertandingan adalah nadi kompetisi. Tanpa kompetisi, sepak bola akan kehilangan gairah. Dengan begitu, ”orang-orang yang kaku” itu tidak bakal mendapat pemasukan. Mereka juga tidak lagi bisa memperalat sepak bola sebagai kendaraan politik. Para parasit itu pasti akan pergi. Karena, sepak bola dipandang tidak lagi menguntungkan.

Sebaliknya, orang-orang yang memang peduli sepak bola pasti akan tergerak untuk melakukan perbaikan. Menepikan ego dan bersatu bahu-membahu mengubah keadaan. Yang tidak kalah penting, di tengah ”rehat” kompetisi, sistem pembinaan juga bisa dipikirkan dengan jernih. Salah satunya pembatasan pemain asing. Tiga saja cukup.

Di tengah ”rehat”, komponen lain di sepak bola, seperti wasit juga bisa memanfaatkannya untuk instropeksi. Agar ke depan mereka lebih tegas. Lebih cerdas dalam memimpin pertandingan. Dengan begitu stigma bahwa wasit merupakan akronim waspada saat peluit ditiup bisa dieliminir.

Boikot pertandingan memang sebuah jalan yang berat. Tapi, tanpa gerakan moral yang nyata, sepak bola Indonesia bisa semakin suram. Sebab, saya tak yakin, kalaupun Indonesia di suspend FIFA, orang-orang yang kaku itu mau berdamai. Bukan tidak mungkin, mereka malah saling menyalakan. Saling menyerang.

Lalu beranikan para pemain dan pelatih melakukannya? Jawabannya ada di tangan Bambang Pamungkas, Ponaryo Astaman, Andik Vermansyah, dan pemain lainnya. Jawabannya juga ada di pundak Rahmad Darmawan, Nil Maizar, M. Basri, dan para pelatih lainnya. Bagaimana, Mas Bambang, Mas Ponaryo, Mas Andik, Pak Rahmad,Pak Nil Maizar, dan Om Basri? Atau kita masih berharap bintang jatuh di sepak bola Indonesia . Berharap ”elit” sepak bola sadar dengan sendirinya dan menyembeli egonya.
Read More..

03 April 2012

Sepak Bola itu Membahagiakan


Judul : Menerjang Batas
Penulis : Estu Ernesto
Penerbit : Bogalakon Publishing
Cetakan : 2012
Tebal : II + 250 Halaman

Di buku ini, timnas Indonesia diceritakan bisa menjadi juara Asia dan menembus Piala Dunia 2014. Utopis, tapi mewakili keinginan jutaan warga negeri ini.

SEPAK bola memang tidak akan pernah habis untuk dibahas. Sebab, inilah olahraga yang menjadi lingua franca bagi warga dunia yang terpisah secara etnis, agama, budaya, ataupun ideologi. Sepak bola membangkitkan luapan keinginan dan emosi yang tidak sama dengan olahraga lainnya. Sarana paling tepat untuk mengekspresikan diri. Baik di lapangan, di tribun penonton, maupun di depan layar kaca.

Karena itu, sepak bola akan selalu membahagiakan. Kendati di dalamnya kita juga mesti setiap saat siap menerima kekalahan. Itulah sepak bola yang tergambar dalam karya Estu Santoso ini. Tokoh utamanya, Edi Baskoro, selalu menyakini sepak bola bakal membuat jalan hidupnya bahagia. Read More..

12 Februari 2012

Marem

Dunia sepak bola Indonesia memang belum memberi ruang lebih bagi perempuan untuk memainkannya. Kendati begitu, tidak sedikit yang menggelutinya dan berhasil meraih banyak hal karenanya. Marem Trisnani diantara yang sedikit itu.


Sapuan bedak tipis di wajahnya dan rambut panjangnya yang dibiarkan terurai membuat Marem Trisnani terlihat kalem. Seragam batik biru pegawai pemerintah kabupaten (pemkab) Sidoarjo menambah kesan anggun pada diri perempuan 41 tahun itu.

Dia juga sering mengumbar senyum kepada tamu yang datang ke kantornya di sisi timur GOR Serbaguna, Sidoarjo. Tamu-tamu yang umumnya hendak menyewa GOR tersebut dilayani dengan ramah dan sabar.

Sikap tersebut jelas bertolak belakang dengan keseharian Marem di lapangan hijau. Selama ini, Marem memang lebih dikenal sebagai pesepak bola perempuan. Ketika di lapangan, perempuan asal Balongbendo, Sidoarjo tersebut begitu garang. Marem tidak pernah mengenal kata kompromi terhadap lawan. Setiap lawan yang mengancam gawang timnya, pasti tidak dibiarkan leluasa memainkan bola.

Tidak hanya penampilan, suaranya juga lantang. Meski berposisi sebagai libero, teriakannya tetap terdengar jelas oleh rekannya yang bermain di lini depan. Saking lantangnya, beberapa rekannya terkadang takut dengannya. ”Tidak hanya sekali dua kali ada orang tua yang protes. Bahkan, ada orang tua pemain yang bilang kalau anaknya baru mau bermain kalau tidak ada saya. Sebab, saya dianggap galak,” ungkap Marem seraya tertawa lepas.

Aktifitas Marem di lapangan bola saat ini sudah agak berkurang. Kini waktu ibu dua anak tersebut lebih banyak di kantor. ”Sejak pertengahan 2004 saya menjadi pegawai honorer Pemkab Sidoarjo,” katanya. Marem ditempatkan di Dinas Pemuda, Olahraga, Kebudayaan, dan Pariwisata. Lebih spesifik lagi bertugas di GOR Serbaguna. ”Awalnya saya di GOR Delta atau stadion. Sekitar dua tahun terakhir saya pindah ke GOR Serbaguna. Tapi, tugasnya tetap sama ngurusi sarana olahraga,” ucapnya.

Marem tergolong perempuan istimewa. Selain menjadi ibu rumah tangga, dia menggeluti tiga profesi sekaligus yang bertolak belakang. Marem merupakan sedikit dari perempuan yang menggeluti sepak bola. Istri Arifin itu juga seorang pegawai Pemkab serta pelawak. Dua profesi terakhir digeluti Marem karena ketekunannya bermain sepak bola.

Marem memang sangat mencintai sepak bola. Kecintaannya itu tumbuh lantaran Marem kecil sering melihat bapaknya Djali bermain si kulit bundar di lapangan kampung halamannya. Dia pun kepincut dan ingin bisa memainkannya. Tapi sayang, dunia sepak bola Indonesia belum memberi ruang lebih kepada perempuan untuk memainkannya. Alhasil, Marem kecil pun hanya bisa menjadi penonton.

Kendati begitu, sesekali dirinya ikut bermain dengan teman-teman laki-lakinya. Hasratnya baru terpenuhi setelah Marem tamat SMA. Saking inginnya bermain sepak bola dan menjadi pesepak bola, awal tahun 1990 Marem nekat bergabung dengan klub sepak bola Putri Gelora Tambaksari 97.

Sembari berlatih, Marem juga terus menyakinkan kedua orang tuannya. Akhirnya izin itu datang. Pilihannya pun tepat. Dari lapangan hijau Marem mendapat banyak hal. Dari lapangan hijau pula, Marem membuka jalan menuju profesi lain. ”Apa yang saya dapatkan dari sepak bola? Yang pertama adalah kebahagiannya. Yang lainnya adalah prestasi,” tegasnya.

Prestasi Marem di lapangan hijau pun cukup menterang. Saat berseragam Delta Putri Sidoarjo (Deltris), tim asal Kota Udang itu dibawanya menempati posisi ketiga turnamen sepak bola perempuan se-Jawa Timur tahun 2003 dan runner up tahun berikutnya. Bersama Persida Putri Sidoarjo, Marem meraih tempat keempat nasional. ”Pada tahun tersebut saya juga terpilih sebagai anggota tim nasional,” tuturnya dengan bangga.

Prestasi teranyarnya direngkuh Desember tahun lalu. Hingga usianya yang telah dia atas 40 tahun, Marem memang masih aktif bermain sepak bola. Nah, Desember tahun lalu, sebagai kapten tim, Marem berjasa membawa Persida Putri menjadi runner up Piala Budhe Karwo. ”Tapi, intensitasnya saat ini tidak sesering dulu. Saya dan rekan-rekan baru berlatih dua bulan sebelum turnamen. Latihannya pun hanya Sabtu dan Minggu,” ujarnya.

Tak hanya berprestasi di lapangan, dari sepak bola Marem juga mendapatkan hal yang tidak kalah istimewa. Karena sepak bola, Marem direkrut masuk sebagai pegawai Pemkab Sidoarjo tanpa tes. ”Saat itu, setelah berlatih sepak bola di stadion saya didatangi para pejabat dan besoknya disuruh masuk kerja di dinas pemuda dan olahraga. Sekitar seminggu kemudian, saya diberi seragam,” kenangnya.

Meski hingga kini masih berstatus honorer, Marem tetap bangga. Apalagi, dia datang dari keluarga petani di desa. Selain itu, tidak ada anggota keluarganya yang bermimpi menjadi pegawai. ”Dengan status ini, saya juga lebih tenang menjalankan hidup karena memiliki pegangan kerja yang pasti,” sebutnya.

Yang didapatkan pun tidak sekedar itu. Dari sepak bola, Marem berkenalan dengan panggung lawak. Cerita itu bermula pada awal 1994. Ketika itu, Marem bergabung dengan tim Galanita yang bertanding dengan grup lawak Galatawa. Para pelawak Jawa Timur, terutama Bambang Gentolet kesemsem dengan cara bermain Marem.

Marem kemudian diajak memperkuat Galatawa. Dalam setiap kesempatan berlatih maupun bertanding ternyata celetukan-celutukan Marem mampu mengundang tawa rekan-rekannya yang berprofesi pelawak. Melihat bakat mbanyol Marem, Bambang Gentolet pun mengajaknya pentas pertengahan 1994.

”Saya pentas pertama kali di alun-alun Lamongan. Saat itu saya gemeteran dan nyaris ngompol. Bukannya disuport, rasa grogi saya itu justru dibuat bahan bercandaan Bambang dan rekan-rekan,” cerita Marem sembari tersenyum.

Setelah turun panggung, teman-temannya menyebut permainannya cukup bagus. ”Saya tahu itu penilaian ngawur. Tapi, saya tetap senang. Apalagi, saya pentas dengan pelawak-pelawak yang sudah matang di panggung. Saya pun akhirnya ketagihan untuk ikut manggung,” katanya.

Saat kecil, selain bermain sepak bola, Marem juga berlatih ludruk. Di Balongbendo kesenian khas Jawa Timur tersebut memang hidup gemerlap. Karena pernah berlatih ludruk, Marem pun akhirnya tak canggung lagi manggung di pentas lawak. Dia pun sudah pentas ratusan kali di berbagai tempat. Bukan saja di daerah Jawa Timur, tapi juga ke luar Jawa, seperti Gorontalo dan Lampung.

Marem menyebut sejak pertama bergabung dengan Bambang Gentolet cs dirinya tidak pernah berlatih bersama. Kendati begitu, mereka selalu nyambung di atas panggung dan mampu membuat para penonton terpingkal-pingkal. ”Kami main begitu saja. Bahannya mengalir di panggung sesuai dengan siapa yang nanggap dan juga disesuaikan dengan berita terbaru. Yang jelas dipanggung saya selalu jadi bahan kalah-kalah,” paparnya.

Lalu bagaimana Marem mengatur waktu untuk keluarga dan menjalankan ketiga profesinya? Dengan enteng, Marem menyebut tidak terlalu kesulitan. Soal profesi, dia selalu mengedepankan sepak bola. Kalau ada turnamen, maka Marem konsentrasi ke sepak bola. Untuk itu, dia tidak kesulitan. Sebab, kantornya selalu memberi dispensasi.

Rekan-rekannya dilawak pun cukup mengerti. Kalau pentasnya jauh, Marem tidak keberatan ditinggal. Tapi, kami masih di Sidoarjo atau Surabaya dan dekat dengan lokasi turnamen, Marem bakal siap naik panggung. ”Kan saya juga kalau tidak ikut ngelawak. Selain berpahala menghibur orang, bayarannya juga gede,” ucapnya lantas terkekeh.

Bagaimana dengan keluarga? Sesekali memang sempat ada komplain dari anak-anaknya, Swastyratu Indra Nili Wijaya dan Hanggareksa Indra Nili Wijaya. Tapi, secara umum, merekalah yang memberi suport terbesar bagi Marem. ”Yang penting kan saya konsekuen selalu bangun paling pagi dan menyiapkan sarapan. Itu harus tetap saya lakukan kendati saat baru sampai rumah dinihari setelah pentas,” sebutnya.
Read More..

10 Januari 2012

Klagen

Aroma sepak bola begitu terasa di Klagen. Seperti halnya Minggu (8/1) kemarin. Ketika fajar belum lama menyingsing, puluhan anak berkumpul di lapangan sepak bola kampung tersebut. Bajunya seragam : kostum sepak bola berwarna kuning. Di dada tertulis nama SSB Kelud Putra : akronim dari Klagen Wilayut.

Minggu itu anak-anak tersebut hendak berangkat ke Mojokerto untuk menjalani pertandingan persahabatan. Kalau tidak menjalani pertandingan ke luar kota, setiap Minggu, anak-anak itu dipastikan bakal memenuhi lapangan kampung. Tentu saja mereka tidak sekedar bermain sepak bola, tapi juga belajar memainkan si kulit bundar dengan benar.

”Sepak bola sudah menjadi bagian kehidupan masyarakat Klagen. Sepak bola juga menjadi sumber motivasi anak-anak Klagen dalam menjalani kehidupan,” ujar sesepuh sepak bola Klagen, Slamet.

Karena itu, sepak bola nyaris tidak pernah berhenti dimainkan di Klagen. Tak hanya Minggu pagi, lapangan kampung Klagen juga selalu penuh anak dan juga remaja bermain sepak bola. Yang tidak kebagian lapangan, bakal memainkannya di halaman rumah. Kalau tidak ya di gang-gang. ”Ini sudah turun-temurun. Dan semua orang tua selalu mendukung anak-anak untuk bermain sepak bola,” tegas Slamet yang juga mantan lurah Klagen sekaligus pendiri SSB Kelud Putra.

Klagen adalah sebuah kampung di Desa Wilayut, Sukodono, Sidoarjo. Letaknya di barat laut Kota Sidoarjo. Klagen dikelilingi persawahan. Mayoritas penduduknya pun bertani. Namun, anak-anak mudanya tak ingin sekedar menjadi petani. Bukan karena mereka malu menjadi petani. Tapi, karena di Indonesia menjadi petani tidak sejahtera. Mereka ingin hidup lebih sejahtera. Dan sepak bola dipandang sebagai jalan yang tepat untuk melakukan perubahan tersebut.

Tak heran jika akhirnya Klagen menjadi kampung yang istimewa dalam sejarah sepak bola nasional. Kampung tersebut merupakan produsen pemain nasional. Sejak tahun 90-an, lima pemuda Klagen telah dan masih tercatat sebagai punggawa Timnas. Dimulai dari Nurul Huda. Bek kanan yang kini bermain di Persijap Jepara itu merupakan anggota Primavera yang berguru di Italia

Setelah itu ada Uston Nawawi yang menjadi bagian Barreti yang juga berlatih di Italia. Selain itu, pemain berusia 34 tahun tersebut tujuh tahun menjadi bagian skuad Garuda. Terhitung mulai tahun 1997 hingga 2004.

Nama lainnya adalah Arif Ariyanto yang pernah berseragam Timnas U-20. Lalu Lucky Wahyu yang pernah membela Timnas U-14 hingga Timnas U-23 di SEA Games 2009 lalu. Satu lagi adalah Hariono. Bahkan, gelandang Persib Bandung itu hingga kini masih dipercaya di skuad Timnas.

Di luar nama-nama tersebut, Klagen juga melahirkan pemain-pemain berkualitas lainnya, meski tidak berlabel anggota Timnas. Sebut saja Sutaji yang pernah berjaya bersama Arema Malang. Gelandang lincah Persebaya Surabaya Rendi Irawan juga berasal dari Klagen.

”Tentu munculnya mereka tidak tiba-tiba. Selain karena kultur kampung ini yang begitu lekat dengan sepak bola. Mereka seperti itu juga karena berusaha keras dan rela kehilangan masa anak-anak serta remajanya untuk berlatih sepak bola,” kata Suwadi, tokoh sepak bola Klagen sekaligus ayah Uston.

Fakta lainnya yang tak kalah istimewa, ternyata mayoritas para pemain tersebut dulu lahir dan tinggal di satu gang. Tepatnya di Gang Nyi Pasek. Mereka yang berasal dari Gang Nyi Pasek antara lain Nurul Huda, Uston Nawawi, Lucky Wahyu, Arif Ariyanto, dan Rendi Irawan. Mereka mereka pun berdekat. Rumah Uston dan Rendy bersebelah yang sekaligus berhadapan dengan rumah Arif dan Lucky.

Hanya rumah Hariono dan Sutaji yang agak berjauhan. Rumah Hariono terletak di depan lapangan, sedang tempat tinggal Sutaji berada di sisi timur lapangan. ”Huda, Uston, dan Sutaji tumbuh bersama-sama. Sedang, Arif, Lucky, Hariono, dan Rendy juga berkembang bersama-sama,” terang Slamet.

Dari sepak bola, anak-anak Klagen itupun akhirnya mampu mengubah hidupnya. Uston Nawawi misalnya. Di lapangan hijau, Uston pernah sebelas tahun berseragam Persebaya Surabaya dan tujuh tahun membela Timnas. Uston juga pernah mencecap gelar juara Liga Indonesia III bersama Persebaya.

Di luar arena, Uston yang dulu hanya memiliki sepeda angin, kini telah memiliki rumah megah di pusat kota Sidoarjo. Uston juga memiliki tempat usaha dua sekaligus. Pemain yang kini bermain di Persegres Gresik itu mengelola restoran bersama istrinya di Sidoarjo dan mempunyai bengkel bubut di kampung halamannya.

”Apapun profesi yang kita jalani, asal ditekuni dengan serius dan tidak lupa berdoa tentu akan berhasil. Tanpa kerja keras, kesuksesan itu tentu tidak akan datang,” ujar Uston.

Sama seperti Uston, para pemain lainnya pun sama. Mereka yang dulu tak memiliki apa-apa, kini hidup lebih sejahtera. Lucky Wahyu misalnya. Di usia yang baru 21 tahun, Lucky telah mampu membeli mobil dengan harga lebih dari Rp 300 juta dari kantongnya sendiri. Lucky juga kini memiliki rumah cukup besar di pusat kota Sidoarjo.

Hariono tak jauh berbeda. Gelandang Persib Bandung itu yang dulunya hanyalah buruh di gudang, kini telah memiliki sebuah tempat usaha di Bandung. Hariono yang awalnya hanya dikontrak Rp 10 juta satu musim kala membela Deltras Sidoarjo, di Persib dia dibayar tak kurang dari Rp 800 juta.

Kini Klagen pun tidak bakal berhenti untuk terus memproduksi pemain-pemain nasional. Masyarakat Klagen bakal terus menggelorakan kecintaan sepak bola kepada anak-anak. ”Satu hal pula yang tidak akan pernah kami lupakan. Setiap ada anak yang terlihat berbakat, kami akan usaha untuk memenuhi kebutuhan makan yang layak untuknya,” sebut Slamet.
Read More..