03 April 2012

Sepak Bola itu Membahagiakan


Judul : Menerjang Batas
Penulis : Estu Ernesto
Penerbit : Bogalakon Publishing
Cetakan : 2012
Tebal : II + 250 Halaman

Di buku ini, timnas Indonesia diceritakan bisa menjadi juara Asia dan menembus Piala Dunia 2014. Utopis, tapi mewakili keinginan jutaan warga negeri ini.

SEPAK bola memang tidak akan pernah habis untuk dibahas. Sebab, inilah olahraga yang menjadi lingua franca bagi warga dunia yang terpisah secara etnis, agama, budaya, ataupun ideologi. Sepak bola membangkitkan luapan keinginan dan emosi yang tidak sama dengan olahraga lainnya. Sarana paling tepat untuk mengekspresikan diri. Baik di lapangan, di tribun penonton, maupun di depan layar kaca.

Karena itu, sepak bola akan selalu membahagiakan. Kendati di dalamnya kita juga mesti setiap saat siap menerima kekalahan. Itulah sepak bola yang tergambar dalam karya Estu Santoso ini. Tokoh utamanya, Edi Baskoro, selalu menyakini sepak bola bakal membuat jalan hidupnya bahagia.

Keyakinan yang bukannya tanpa dasar. Pada 1987, Edi adalah bagian dari puluhan ribu suporter yang merayakan kejayaan Indonesia di arena SEA Games 1987. Kala itu, kali pertama tim Merah Putih merengkuh medali emas sepak bola di pesta olahraga bangsa-bangsa Asia Tenggara tersebut setelah di final mengempaskan Malaysia 1-0 lewat gol Ribut Waidi.

Hanya karena kostum sepak bola pula, hubungan rumah tangga Edi dengan Wahyu Winarti alias Wiwin kembali harmonis setelah sempat beku dan kaku. Gara-gara si kulit bundar juga, pria yang tinggal di Ungaran, Semarang, tersebut mengenal banyak orang.

Dan, segala impian Edi di lapangan hijau akhirnya terwujud lewat Gabriel Omar Baskoro. Kumbang jantan yang merupakan anak kedua Edi yang mampu membawa Indonesia berprestasi. Tidak hanya di Asia Tenggara, tapi juga Asia dan dunia. Gabriel berhasil mengantarkan Indonesia menembus pentas putaran final Piala Dunia.

Edi Baskoro, barangkali, adalah alter ego sang penulis, Estu Santoso, mantan wartawan olahraga Jawa Pos yang amat mencintai sepak bola. Lihat betapa bersemangatnya Estu menulis Indonesia lolos ke semi final Asian Games 1986. Pria asal Wonogiri, Jawa Tengah, itu juga dengan penuh semangat bercerita bagaimana Indonesia menjuarai Piala Asia 2004 dan Piala AFF 2010. Dengan ’’liar’’ pula, Estu bercerita tentang lolosnya Indonesia ke Piala Dunia 2014 di Brazil.

Tentu saja semua itu hanya fiksi. Kita tahu, jangankan lolos ke Piala Dunia, sekadar juara Piala AFF saja Indonesia belum pernah. Di Asian Games 1986 kita juga hanya sampai semifinal –itu pun sudah tergolong prestasi terbaik kita–, apalagi juara Piala Asia dan menembus Piala Dunia. Bah!

Dalam realitanya, kita tahu, Indonesia bahkan menjadi bulan-bulanan di kualifikasi Piala Dunia 2014. Terakhir, Merah Putih digilas Bahrain sepuluh gol tanpa balas. Skor kekalahan terbesar yang pernah dirasakan Indonesia.

Tapi, siapa berhak melarang orang bermimpi? Kalau Amerika Serikat bisa terus membuat
film yang memperlihatkan perkasanya mereka di Vietnam kendati dalam kenyataannya menjadi pecundang, mengapa kita tidak. Toh, impian Estu yang tertuang dalam buku ini adalah representasi dari keinginan seluruh pencinta Pasukan Garuda. Di balik utopia Estu terselip kerinduan akan prestasi tim nasional yang tak lagi naik podium selepas meraih medali emas di SEAGames 1991.

Kendati ’’liar’’ , Estu tetap tak melupakan sejarah. Dalam bukunya ini, alumnus UPN Jogjakarta itu menunjukkan kepada generasi saat ini dan masa depan bahwa Indonesia pernah memiliki sederet pemain sepak bola andal. Salah satu di antara mereka, Risdianto. Seorang pria asal Pasuruan yang pernah menenggelamkan mahabintang sepak bola dunia Pele saat Indonesia beruji coba dengan Santos di Gelora Bung Karno pada 21 Juni 1972.

Kala itu, Risdianto mampu melesatkan dua gol, sedangkan Pele hanya mencetak satu gol–itu pun dari titik putih. Meski akhirnya Indonesia menyerah 2-3, Risdianto mampu membuat para pendukung Pasukan Garuda meninggalkan stadion dengan kepala tegak.

Estu juga tidak lupa menulis Widodo Cahyono Putro. Mantan striker Petrokimia Putra Gresik tersebut pernah membuat bangga publik Indonesia dengan gol salto yang dicetakknya ketika Indonesia bersua Kuwait di Piala Asia 1996. Gol indah Widodo tersebut akhirnya dibukukan sebagai gol terbaik Asia tahun 1996.

Namun, jalan menuju kebahagiaan itu tentu tak linier. Selalu ada liku. Keyakinan Edi bahwa sepak bola akan membuatnya bahagia juga tidak didapatkan dengan mudah. Seperti saat dirinya menjadi saksi kejayaan Indonesia di SEA Games 1987. Untuk bisa sampai ke stadion, Edi harus menempuh perjalanan sebelas jam dengan menumpang bus dari Ungaran hingga Jakarta. Edi juga harus tidur berimpitan di kontrakan mungil rekannya di pinggiran Jakarta sebelum pergi ke stadion.

Sebelum melihat kumbang jantannya, Gabriel Omar, membawa Indonesia berjaya, Edi harus menerima kenyataan ditinggal sang istri ketika melahirkan Gabriel. Edi juga harus mendapati kenyataan, sang putra, gagal masuk seleksi ke sekolah sepak bola (SSB) ternama di ibukota dan dipulangkan dari tim nasional U-19 karena dianggap indisipliner.

Tapi, itu semua tak membuat Edi meninggalkan sepak bola. Keyakinannya tidak pernah luntur. Seperti keyakinan Edi, sepak bola memang selalu menerbitkan kebahagian bagi pecintanya. Lewat sepak bola, orang-orang bisa melepaskan diri dari himpitan ekonomi dengan memainkan atau berteriak lantas di tribun stadion. Hanya di sepak bola, sekat ekonomi, jabatan, politik, maupun agama lebur.

Tidak ada komentar: