30 September 2008

Berebut Gelar Disaat Tak Nyaman


Hari ini (Jumat, 7 September 2007) di Stadion Manahan, Solo bakal dimulai pertarungan merebut gelar juara Divisi I musim 2007. Empat tim Persibo Bojonegoro, PSP Padang, Persikad Depok, dan Mitra Kukar akan berpacu menjadi yang terbaik. Keempatnya akan beradu kemampuan dalam kondisi yang sangat ”tidak nyaman”.


Rabu 16 Agustus 2006. Waktu itu Persebaya Surabaya bentrok dengan Persis Solo di partai final Divisi I musim 2006 di Stadion Brawijaya, Kediri. Hasilnya Green Force-julukan Persebaya-sukses menahbiskan diri sebagai juara. Persebaya naik podium utama usai menang 2-0 berkat gol Nova Ariyanto dan Ever Barientos.

Prestasi Persebaya memang pantas dibukukan dalam sejarah sepak bola Indonesia. Sebab, itu gelar kedua dalam rentang lima tahun terakhir. Tapi, ada hal lain yang juga tidak boleh dilupakan. Laga final antara Persebaya kontra Persis kala itu terjadi dalam kondisi yang sangat tidak nyaman. Sebab, keduanya berjuang di tengah-tengah inkonsistensi PSSI.

Jelang partai final, PSSI mengumumkan bahwa tim yang promosi ke Divisi Utama tidak hanya empat sesuai regulasi. Tapi, ada delapan tim yang naik kasta dari Divisi I. Disamping itu, otoritas sepak bola nasional tersebut juga menghapuskan degradasi Divisi Utama.

Bayangkan, betapa terlukanya Persebaya dan Persis waktu itu. Sebab, perjuangan dan miliaran rupiah yang telah mereka habiskan ternyata tidak berbanding lurus dengan penghargaan dari PSSI yang begitu mudahnya merubah regulasi.

Nah, ketidaknyamanan musim lalu ternyata kembali terulang tahun ini. Sepekan jelang babak semifinal Divisi I yang dihajat hari ini (Jumat, 7 September 2007) di Stadion Manahan, lagi-lagi PSSI menabur benih inkonsistensi. Lewat suara sang Ketua Umum Nurdin Halid, PSSI mengutarakan wacana perubahan format Divisi Utama musim 2008.

Dimana nantinya besar kemungkinan tidak hanya delapan tim yang promosi ke Divisi Utama sesuai Manual Liga Indonesia (MLI) 2007. Tapi, bisa jadi ada 16 sampai 18 tim Divisi I yang mendapat tiket promosi. (Akhirnya wacana tersebut tidak sekedar wacana. Tapi, benar terjadi)
”Perjuangan kami sangat berat. Biaya yang kami keluarkan tidak kecil. PSSI harusnya konsisten. Harusnya mereka membuat aturan sebelum kompetisi, jangan disaat seperti ini,” ujar Gusnul Yakin, pelatih Persibo.

Kekecewaan yang sudah sepatutnya. Untuk menggenggam tiket semifinal sekaligus promosi ke Divisi Utama memang tidaklah mudah. Sebab, masing-masing tim harus melewati tidak kurang dari 15 pertandingan. Dimana, dalam kurun waktu itu tekanan demi tekanan terus saja mengalir. Baik itu yang datang dari pihak lawan atau berasal dari internal yang berwujud tuntutan kemenangan.

”Demi kebanggaan untuk sementara kami mengesampingkan terlebih dulu wacana yang ada. Kini kami konsentrasi dulu untuk merengkuh juara,” aku Gusnul. ”Kami tidak ambil pusing dengan wacana penambahan tim promosi ke Divisi Utama. Yang terpenting adalah rasa bangga bisa lolos sesuai dengan atauran Manual Liga saat ini,” sambung arsitek Mitra Kukar Mustaqim.

Meski terlihat acuh dengan wacana PSSI. Sejatinya ungkapan tersebut bak sebuah simbol kekecewaan akibat perjuangan Mitra Kukar seakan terkebiri dengan munculnya wacana perubahan format Divisi Utama musim depan. ”Seharusnya memang sesuai aturan,” sahut Yusman Kasim, ketua umum PSP Padang.
Ah PSSI, tetap saja tak mau berubah. Lagi-lagi klub yang jadi korban.

(Dimuat Jawa Pos 7 September 2007)








Read More..

29 September 2008

Harusnya Memberi Bukan Membebani

Pertandingan sepak bola tanpa kehadiran penonton atau suporter jelas terasa hambar. Suporter adalah elemen penting yang bisa membuat arena pertandingan menjadi lebih berwarna. Begitupula bagi pertandingan di Liga Indonesia. Pentas sepak bola paling akbar di Indonesia (Ligina) tersebut juga selalu haus akan kehadiran suporter. Tapi, Ligina terbilang beruntung. Sebab di setiap pertandingan, stadion tak pernah sepi peminat.

Beribu-ribu suporter senantiasa berduyun-duyun membanjiri stadion. Uniknya mereka tidak hanya datang untuk menonton. Tapi, para suporter selalu menikmati pertandingan dengan bertingkah atraktif di tribun. Entah itu menabuh tetabuhan yang menggugah semangat, bernyanyi, atau menari.

Pokoknya, aksi mereka membuat suasana pertandingan lebih indah. Aksi atraktif itu sendiri sudah mulai lahir diakhir 90-an. Munculnya Aremania-Suporter Arema Malang-dan Pasopati-suporter Persis Solo-sebagai pionernya. Sampai kini aksi mereka pun tetap bisa dinikmati hampir di seantero stadion di Indonesia.

Hanya saja, dewasa ini sebagian besar kelompok tersebut mulai tercerabut dari esensi sejatinya sebagai suporter. Memang kelompok suporter itu tetap atraktif di tribun. Tapi, keberadaan mereka saat ini justru tidak lagi menguntungkan bagi klub. Mereka justru menjadi beban berat bagi klub. Sebab, untuk masuk stadion mereka lebih sering ”ngemis” bantuan finansial dari klub.

”Dari pengamatan saya, untuk masuk stadion kelompok suporter lebih sering meminta keringanan harga tiket alias harganya dipotong,” papar salah seorang kawan dari Bandung. ”Mata rantai seperti itu (pemotongan tiket, red) yang ingin kami potong,” begitu penegasan yang selalu didengungkan manajemen Persebaya untuk mendongkrak peningkatan jumlah pemasukan.

Diakui atau tidak, kenyataan bahwa suporter tidak lagi dalam khitahnya dalam mensuport memang benar adanya. Apalagi, mereka sebenarnya bukan hanya selalu meminta potongan harga tiket. Ketika mereka mendampingi tim kesayangannya tur ke luar kandang, tidak jarang mereka malah menggunakan dana dari klub. Bukan dari kantongnya sendiri.

”Itu adalah persepsi yang keliru dan memalukan. Suporter itu harusnya memberi, bukannya malah meminta. Untuk ngurus tim, manajemen itu sudah berat. Suporter harusnya tidak menambah beban mereka,” keluh Mayor Haristanto, pendiri Pasopati.

Yang lebih menyedihkan lagi adalah ulah anarkis yang juga kerap mereka pertontonkan. Tidak sedikit para suporter itu terkadang berulah dengan melakukan teror berlebihan terhadap tim tamu maupun perangkat pertandingan. Baik itu melakukan pelemparan maupun pemukulan. Bahkan, tak jarang lebih dari itu.

Alhasil, klub akhirnya harus menanggung tindakan nakal tersebut karena Komisi Disiplin (Komdis) PSSI selalu menjatuhkan sanksi kepada klub akibat ulah anarkis suporter tersebut. Hukuman itu bisa berupa denda puluhan juta. Dan tidak sedikit yang harus dihukum menggelar partai usiran tanpa penonton. Kalau sudah begitu tentu klub lagi-lagi harus merogoh koceknya untuk membayar mahalnya tindakan anarkis para suportenya.

”Benang kusut ini harus segara diurai. Tonggak utama perubahan ada pada suporter itu sendiri. Mereka harus kembali ke esensi sejatinya suporter yang punya arti mensuport, memberi,” seru Mayor Haristanto.

Ungkapan Mayor tidak salah. Suporter memang harus independen. Sehingga mereka tidak membebani pembiayaan klub. Dengan independensinya, suporter juga nantinya bisa kembali melakukan kritik membangun kepada klub. Mereka bisa mensuport klub tidak hanya secara moral, tapi juga dari sisi finansial. Suport paling kecil yang bisa dilakukan tentu saja dengan membeli karcis masuk stadion. Bagaimana klub bisa tetap menjalankan roda kompetisi, kalau suporternya tidak ”memberi”, tapi justru membebani?

(Dimuat Jawa Pos pada September 2007)




Read More..

Purwanto di Sisi Lain (2)




Penyemai Kenyamanan Stadion Brawijaya
Menyebut nama Purwanto, orang pasti lebih mengenalnya sebagai seorang wasit terbaik di kancah sepak bola nasional. Maklum saja, kiprahnya di atas lapangan saat memimpin pertandingan kerap disorot media baik itu cetak maupun elektronik.

Tapi, kalau menyebut Purwanto sebagai aktor penting di balik hijaunya rumput Stadion Brawijaya, Kediri jelas tak banyak yang tahu. ”Jangankan masyarakat umum, para pemain yang biasa main di stadion ini (Stadion Brawijaya, red) saja banyak yang tidak tahu kok Mas,” tutur Purwanto sembari mengumbar senyum.

Memang profesi wasit sudah jauh lebih dulu ditekuni Purwanto. Namun, pekerjaannya sebagai penjaga Stadion Brawijaya tidak bisa dibilang pendek. Sudah sejak lima tahun lalu Purwanto bertugas menjaga keasrian home base Persik Kediri tersebut. Atau tepatnya sejak dia diangkat sebagai PNS di lingkungan Pemkot Kediri tahun 2002 silam.

Totalitasnya ketika memimpin sebuah pertandingan, juga diterapkan Purwanto kala bertugas sebagai penjaga Stadion Brawijaya. Meski posisinya sebagai kepala stadion, tapi dia tidak pernah menganggap pangkatnya lebih tinggi dibanding sembilan patner kerjanya.

Bersama sembilan rekan kerjanya tersebut, Purwanto tak pernah segan untuk turun langsung ke lapangan. Baik itu ikut memotong, memupuk, maupun menyiram stadion kebanggaan masyarakat Kota Tahu tersebut. ”Karenanya saya harus terlibat aktif menjalankan tugas untuk merawat dan menjaga Stadion Brawijaya yang sudah menjadi tanggung jawab saya ini,” papar Purwanto.

Itu sebabnya Purwanto tak pernah malu turun langsung ke lapangan. Tak pernah takut dengan guyuran terik matahari. Tak pernah lelah menjelajah tiap sudut Stadion Brawijaya. ”Toh, kalau pemain merasa nyaman saat bertanding dan penonton bisa menyaksikan pertandingan dengan nikmat, hati kita juga yang senang,” imbuhnya.

(dimuat Jawa Pos 10 Mei 2007. Ilustrasi : Budiono, Jawa Pos)


Read More..

26 September 2008

Purwanto di Sisi Lain (1)

Awalnya Bermimpi Jadi Sopir Bus



Anak-anak selalu menggelayutkan asanya setinggi langit. Imajinasi mereka tak pernah berhenti berkhayal akan indahnya masa depan. Entah itu nantinya jadi dokter, insinyur, polisi, tentara, atau pegawai negeri.

Purwanto kecil pun seperti itu. Dari kampung Kayen, Plemahan, Kediri, Purwanto kecil menyimpan mimpi indah akan hari depannya. Cuma, cita-cita Purwanto tak segemerlap anak-anak kebanyakan. Cita-citanya ternyata sangat sederhana. ”Waktu SD saya bercita-cita jadi sopir bus. Saya ingin berpergian ke mana saja secara gratis,” ungkapnya

Impian itu ternyata bukan sekadar angan-angan kosong tanpa harus diwujudkan. Purwanto ternyata berhasrat besar untuk mewujudkan cita-cita masa kecilnya tersebut. Karenanya, selepas lulus SMEA YP 17 Pare, Kediri, Purwanto pun berusaha keras menjadikan nyata impian yang telah lama mengendap dipikirannya.

Tanpa rasa sungkan-sungkan, Purwanto muda pun melamar sebagai kondektur bus Harapan Jaya. Perusahan bus asal Tulungagung yang biasa melayani trayek Tulungagung-Surabaya. ”Sayang saya gagal diterima jadi kondektur di tempat tersebut. Sebab, meski lulus tes, namun saya tidak bisa memenuhi syarat untuk menyetor uang jaminan,” akunya.

Kegagalan adalah sukses yang tertunda. Kata-kata bijak itu dipegang betul oleh Purwanto kala gagal. Makanya, saat dinyatakan gagal sebagai kondektur bus Harapan Jaya, bapak dua anak tersebut tak larut dalam kesedihan. Purwanto justru terlecut untuk mewujudkan impiannya untuk jalan-jalan gratis dengan cara yang lain.

Menjadi wasit. Jalan itu akhirnya dipilih putra pasangan Sumowinoto-Mastain tersebut sebagai cara lain untuk mewujudkan harapan kecilnya. Pilihan Purwanto ternyata tidak meleset. Dengan menekuni profesi wasit, dia akhirnya bisa jalan-jalan ke seantero negeri tanpa mengeluarkan sepeserpun uang.

Bahkan, dia melakoni perjalanan tersebut tak hanya menggunakan bus. Tapi, juga naik kendaraan yang lebih mewah bernama pesawat terbang. ”Saya sangat bersyukur. Gagal jadi sopir bus ternyata saya tetap bisa ke mana-mana gratis dengan menjadi wasit. Naik pesawat lagi,” katanya serasa melepaskan tawa.

Hingga kini Purwanto sudah tidak bisa lagi menghitung telah berapa kali dia berpergian gratis. Lebih-lebih yang menggunakan burung besi. Tapi, satu yang pasti, Purwanto tidak pernah lupa saat pertama dia naik pesawat. ”Peristiwa itu terjadi saat Liga Indonesia pertama. Waktu itu, saya mendapat tugas sebagai asisten wasit dalam pertandingan PSM Makassar melawan Barito Putra di Makassar,” ingatnya.



Read More..