Awalnya Bermimpi Jadi Sopir Bus
Anak-anak selalu menggelayutkan asanya setinggi langit. Imajinasi mereka tak pernah berhenti berkhayal akan indahnya masa depan. Entah itu nantinya jadi dokter, insinyur, polisi, tentara, atau pegawai negeri.
Purwanto kecil pun seperti itu. Dari kampung Kayen, Plemahan, Kediri, Purwanto kecil menyimpan mimpi indah akan hari depannya. Cuma, cita-cita Purwanto tak segemerlap anak-anak kebanyakan. Cita-citanya ternyata sangat sederhana. ”Waktu SD saya bercita-cita jadi sopir bus. Saya ingin berpergian ke mana saja secara gratis,” ungkapnya
Impian itu ternyata bukan sekadar angan-angan kosong tanpa harus diwujudkan. Purwanto ternyata berhasrat besar untuk mewujudkan cita-cita masa kecilnya tersebut. Karenanya, selepas lulus SMEA YP 17 Pare, Kediri, Purwanto pun berusaha keras menjadikan nyata impian yang telah lama mengendap dipikirannya.
Tanpa rasa sungkan-sungkan, Purwanto muda pun melamar sebagai kondektur bus Harapan Jaya. Perusahan bus asal Tulungagung yang biasa melayani trayek Tulungagung-Surabaya. ”Sayang saya gagal diterima jadi kondektur di tempat tersebut. Sebab, meski lulus tes, namun saya tidak bisa memenuhi syarat untuk menyetor uang jaminan,” akunya.
Kegagalan adalah sukses yang tertunda. Kata-kata bijak itu dipegang betul oleh Purwanto kala gagal. Makanya, saat dinyatakan gagal sebagai kondektur bus Harapan Jaya, bapak dua anak tersebut tak larut dalam kesedihan. Purwanto justru terlecut untuk mewujudkan impiannya untuk jalan-jalan gratis dengan cara yang lain.
Menjadi wasit. Jalan itu akhirnya dipilih putra pasangan Sumowinoto-Mastain tersebut sebagai cara lain untuk mewujudkan harapan kecilnya. Pilihan Purwanto ternyata tidak meleset. Dengan menekuni profesi wasit, dia akhirnya bisa jalan-jalan ke seantero negeri tanpa mengeluarkan sepeserpun uang.
Bahkan, dia melakoni perjalanan tersebut tak hanya menggunakan bus. Tapi, juga naik kendaraan yang lebih mewah bernama pesawat terbang. ”Saya sangat bersyukur. Gagal jadi sopir bus ternyata saya tetap bisa ke mana-mana gratis dengan menjadi wasit. Naik pesawat lagi,” katanya serasa melepaskan tawa.
Hingga kini Purwanto sudah tidak bisa lagi menghitung telah berapa kali dia berpergian gratis. Lebih-lebih yang menggunakan burung besi. Tapi, satu yang pasti, Purwanto tidak pernah lupa saat pertama dia naik pesawat. ”Peristiwa itu terjadi saat Liga Indonesia pertama. Waktu itu, saya mendapat tugas sebagai asisten wasit dalam pertandingan PSM Makassar melawan Barito Putra di Makassar,” ingatnya.
26 September 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar