29 September 2008

Harusnya Memberi Bukan Membebani

Pertandingan sepak bola tanpa kehadiran penonton atau suporter jelas terasa hambar. Suporter adalah elemen penting yang bisa membuat arena pertandingan menjadi lebih berwarna. Begitupula bagi pertandingan di Liga Indonesia. Pentas sepak bola paling akbar di Indonesia (Ligina) tersebut juga selalu haus akan kehadiran suporter. Tapi, Ligina terbilang beruntung. Sebab di setiap pertandingan, stadion tak pernah sepi peminat.

Beribu-ribu suporter senantiasa berduyun-duyun membanjiri stadion. Uniknya mereka tidak hanya datang untuk menonton. Tapi, para suporter selalu menikmati pertandingan dengan bertingkah atraktif di tribun. Entah itu menabuh tetabuhan yang menggugah semangat, bernyanyi, atau menari.

Pokoknya, aksi mereka membuat suasana pertandingan lebih indah. Aksi atraktif itu sendiri sudah mulai lahir diakhir 90-an. Munculnya Aremania-Suporter Arema Malang-dan Pasopati-suporter Persis Solo-sebagai pionernya. Sampai kini aksi mereka pun tetap bisa dinikmati hampir di seantero stadion di Indonesia.

Hanya saja, dewasa ini sebagian besar kelompok tersebut mulai tercerabut dari esensi sejatinya sebagai suporter. Memang kelompok suporter itu tetap atraktif di tribun. Tapi, keberadaan mereka saat ini justru tidak lagi menguntungkan bagi klub. Mereka justru menjadi beban berat bagi klub. Sebab, untuk masuk stadion mereka lebih sering ”ngemis” bantuan finansial dari klub.

”Dari pengamatan saya, untuk masuk stadion kelompok suporter lebih sering meminta keringanan harga tiket alias harganya dipotong,” papar salah seorang kawan dari Bandung. ”Mata rantai seperti itu (pemotongan tiket, red) yang ingin kami potong,” begitu penegasan yang selalu didengungkan manajemen Persebaya untuk mendongkrak peningkatan jumlah pemasukan.

Diakui atau tidak, kenyataan bahwa suporter tidak lagi dalam khitahnya dalam mensuport memang benar adanya. Apalagi, mereka sebenarnya bukan hanya selalu meminta potongan harga tiket. Ketika mereka mendampingi tim kesayangannya tur ke luar kandang, tidak jarang mereka malah menggunakan dana dari klub. Bukan dari kantongnya sendiri.

”Itu adalah persepsi yang keliru dan memalukan. Suporter itu harusnya memberi, bukannya malah meminta. Untuk ngurus tim, manajemen itu sudah berat. Suporter harusnya tidak menambah beban mereka,” keluh Mayor Haristanto, pendiri Pasopati.

Yang lebih menyedihkan lagi adalah ulah anarkis yang juga kerap mereka pertontonkan. Tidak sedikit para suporter itu terkadang berulah dengan melakukan teror berlebihan terhadap tim tamu maupun perangkat pertandingan. Baik itu melakukan pelemparan maupun pemukulan. Bahkan, tak jarang lebih dari itu.

Alhasil, klub akhirnya harus menanggung tindakan nakal tersebut karena Komisi Disiplin (Komdis) PSSI selalu menjatuhkan sanksi kepada klub akibat ulah anarkis suporter tersebut. Hukuman itu bisa berupa denda puluhan juta. Dan tidak sedikit yang harus dihukum menggelar partai usiran tanpa penonton. Kalau sudah begitu tentu klub lagi-lagi harus merogoh koceknya untuk membayar mahalnya tindakan anarkis para suportenya.

”Benang kusut ini harus segara diurai. Tonggak utama perubahan ada pada suporter itu sendiri. Mereka harus kembali ke esensi sejatinya suporter yang punya arti mensuport, memberi,” seru Mayor Haristanto.

Ungkapan Mayor tidak salah. Suporter memang harus independen. Sehingga mereka tidak membebani pembiayaan klub. Dengan independensinya, suporter juga nantinya bisa kembali melakukan kritik membangun kepada klub. Mereka bisa mensuport klub tidak hanya secara moral, tapi juga dari sisi finansial. Suport paling kecil yang bisa dilakukan tentu saja dengan membeli karcis masuk stadion. Bagaimana klub bisa tetap menjalankan roda kompetisi, kalau suporternya tidak ”memberi”, tapi justru membebani?

(Dimuat Jawa Pos pada September 2007)




Tidak ada komentar: