Susi Susanti begitu lekat dengan bulu tangkis. Bagi wanita asal tasikmalaya, Jawa Barat itu, bulu tangkis telah menjadi hidup dan kehidupannya. Karena itu, perjalanan hidup Susi pun tidak bisa dilepaskan dari olahraga tepok bulu tersebut.
”Saya sudah berkenalan dengan bulu tangkis sejak usia tujuh tahun,” ujar Susi membuka pembicaraan.
Sebuah perkenalan yang tentu sangat dini. Jadi, sangat wajar, jika Susi akhirnya memandang bulu tangkis sebagai hidup dan kehidupannya. Atau istilah Susi, bulu tangkis sudah menjadi darah dan dagingnya. Apalagi, dari pertautannya dengan bulu tangkis Susi tidak sekedar mendapatkan materi.
Dari bulu tangkis, Susi dikenal publik. Dari bulu tangkis pula Susi mendapatkan pendamping hidup-Alan Budikusuma-yang menikahinya pada 9 Februari 1997. Lebih dari itu, dari bulu tangkis Susi juga mampu menghiasi perjalanan hidupnya dengan sederet prestasi hebat sekaligus mengharumkan nama Indonesia di dunia internasional.
Wanita yang lahir 11 Februari 1971 itu pernah menyabet gelar juara dunia pada 1993. Empat kali dia menjadi juara di kejuaraan bergengsi All England. Susi juga menjadi ujung tombak keberhasilan Indonesia meraih Piala Uber pada 1994 dan 1996.
Dan yang paling fenomenal tentu saja apa yang ditorehkan Susi pada Olimpiade 1992 yang berlangsung di Barcelona, Spanyol. Di arena multieven olahraga antar bangsa-bangsa itu Susi berhasil membuat lagu Indonesia Raya berkumandang. Ayunan raket Susi membuat bendera Merah Putih berkibar lebih tinggi dari bendera negara-negara lainnya.
Di Olimpiade 1992 itu Susi berhasil menyabet medali emas. Dan medali emas yang direbut Susi tersebut merupakan medali emas pertama yang diraih Indonesia di Olimpiade. ”Momen itu merupakan momen paling bersejarah bagi saya. Saya benar-benar bangga bisa mengharumkan nama bangsa melalui bulu tangkis,” sebut Susi.
Atas pencapaiannya tersebut pemerintah lantas memberikan tanda kehormataan berupa bintang jasa utama kepada Susi. ”Tapi apa yang saya raih ini tidaklah mudah. Butuh pengorbanan dan kerja ekstra,” kata wanita yang kini telah dikarunia tiga anak itu.
Untuk menjadi juara Susi memang mengorbankan banyak hal. Baik tenaga, waktu, dan masa remajanya. Demi menjadi juara, Susi sudah harus hidup terpisah dari kedua orang tuanya saat masih duduk di kelas 2 SMP. Dia hijrah dari kota kelahirannya ke Jakarta seorang diri. Sejak kepindahannya itu hari-hari Susi lebih banyak dihabiskan untuk berlatih.
Dua kali dalam sehari dari Senin hingga Sabtu Susi melahap menu latihan. Porsi latihan lebih berat dijalani ketika mempersiapkan diri ke Olimpiade 1992. Dia harus berlatih tiga kali sehari. Waktu latihan juga lebih panjang dari biasanya. ”Mengingat itu semuanya membuat saya tidak bisa meninggalkan bulu tangkis,” aku Susi.
Ya, meski sudah gantung raket sejak 1997, Susi tidak melupakan bulu tangkis. Susi tetap bersinggungan dengan bulu tangkis. Namun pertautannya kali ini dalam bentuk berbeda. Pasalnya, Susi sudah menegaskan diri tidak bakal menjadi pelatih. Baginya jalan menjadi pelatih belum bisa dijadikan sandaran hidup.
Bersama Alan, Susi menggeluti bisnis yang bersentuhan dengan bulu tangkis. Pada pertengahan 2002 silam, Susi dan Alan mendirikan Astec (Alan Susi Technology). Astec merupakan produsen peralatan bulu tangkis. ”Saya dan Alan memulai dari nol dalam membangun Astec. Dari Asteclah kini kami menyandarkan hidup,” ujar Susi.
”Meski sibuk berbisnis, tapi saya tetap tidak lupa untuk membantu pembinaan bulu tangkis Indonesia. Untuk hal ini saya memilih berada di balik layar saja,” imbuhnya.
Bersama sang suami, Susi mendirikan Olympic Badminton Hall di Kelapa Gading, Jakarta Utara. Tempat tersebut merupakan arena pemusatan latihan bagi para pebulu tangkis muda.
Usaha pembinaan yang dilakoni Susi dari balik layar juga dijalaninya dengan melakukan safari ke sekolah-sekolah. Lewat jalan tersebut Susi ingin memperkenalkan bulu tangkis kepada anak-anak.
Di samping itu, Susi juga menggelar turnamen bulu tangkis berlabel Astec Open yang sudah berlangsung lima tahun terakhir. Turnamen tersebut dikhusukan pada pebulu tangkis muda. Karenanya, dalam turnamen itu tidak dipertandingan kelas dewasa. Sebaliknya dalam Astec Open justru dimainkan kelas anak-anak usia 11 tahun ke bawah.
”Saya berharap dari usaha kami ini, semakin banyak bibit unggul. Sehingga, mereka nantinya bisa menjadi tumpuhan masa depan bulu tangkis Indonesia,” papar Susi.
17 Agustus 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar