Rambutnya sudah memutih. Kerutan juga sudah banyak menghiasi wajahnya. Sedikit tanda bahwa lelaki itu sudah tua. Risdianto lelaki tersebut. Risdianto adalah striker tim nasional pada era 70-an. Ris-begitu dia akrab disapa-memang sudah tidak muda lagi. 3 Januari lalu, Risdianto genap 59 tahun.
Kendati sudah tua, tapi semangat dan energinya masih nampak seperti masa mudanya dulu. Apalagi, jika bersinggungan dengan sepak bola. Risdianto tidak pernah kehilangan antusiamenya. Bahkan, Risdianto juga tetap mampu berlari kencang untuk sepak bola Indonesia. ”Sepak bola sudah menjadi hidup saya. Tidak mungkin saya meninggalkannya,” katanya.
Semasa bermain, selain cerdik, Risdianto memang dikenal sebagai striker yang memiliki kecepatan. Hanya saja, Gayeng-begitu para sahabatnya memanggilnya-kini sudah tidak lagi berlari kencang di atas lapangan. Sebab, sejak 1983 silam, striker terbaik yang pernah dimiliki Indonesia itu telah gantung sepatu. Warna Agung menjadi klub terakhir yang dibelanya.
Risdianto kini hanya bisa berlari kencang di pinggir lapangan. Yang dikejarnya pun bukan lagi bola. Namun, para pemain muda. Untuk itu, dia bukan sekedar menjejak lapangan seluas 110x65 centimeter. Risdianto kini harus menjejak ke satu daerah, lantas pindah ke daerah lain. Pergi menyambangi Pulau Sumatra, lalu berkeliling tanah Jawa. Singgah ke Sulawesi, lalu ”berlari” ke Papua. ”Kalau mau sepak bola kita kembali berjaya, kita memang harus ngopeni pembinaan pemain usia muda,” sebutnya.
Bergumul dengan pemain belia. Itulah yang kini dilakoni legenda sepak bola Indonesia asal Pasuruan tersebut. Risdianto benar-benar mencurahkan konsentrasinya ke pembinaan pemain muda. Apalagi, dia juga dipercaya mengisi posisi tim monitoring di Badan Tim Nasional (BTN).
Karenanya, Risdianto pun semakin getol berlari ke beberapa daerah. Tak sekedar lari tentunya. Tapi, berlari dengan kencang. Larinya itupun bukan sekedar memantau bibit-bibit muda untuk dimasukkan ke tim nasional. Namun, Risdianto juga ikut ”menggerakkan” roda kompetisi antarpemain muda.
Nah, untuk dua hal itu, Risdianto seperti memiliki energi berlebih. ”Untuk hal ini saya benar-benar terdorong dan banyak belajar dari alamarhum (Ronny Pattinasarany),” aku pria yang pernah bermain untuk klub Hongkong Mackinnons FC (1974-1975) tersebut.
Selain itu, tentu saja energinya juga terbangun karena kecintaannya kepada sepak bola. Seperti yang dibilang Risdianto, karena sepak bola sudah menjadi bagian hidupnya, maka dia tidak mungkin meninggalkannya. Kecintaannya itupula yang kini membuat tetap tegar menjalankan tugasnya. Meski, Risdianto kini harus bekerja sendirian.
Dua patner kerjanya-Iswadi Idris dan Ronny Pattinasarany-telah berpulang tahun lalu. ”Saya seorang striker. Jadi, saya tidak harus menjadi cenggeng dengan situasi ini. Saya harus tetap bekerja untuk mencetak gol,” tegasnya.
Risdianto memang tetap harus berlari kencang. Sebab, sepak bola Indonesia masih tetap pacaklik prestasi selepas 1991. ”Saya sudah terbiasa dengan keadaan penuh tekanan. Saya memang tidak boleh berhenti,” ujarnya.
Tetap berlari kencang Pak Ris. Jika dulu dengan lari kencang itu Anda mampu mengukir gol. Semoga lari Anda kali ini mampu menghasilkan tunas-tunas baru yang akan mengentas sepak bola Indonesia dari paceklik prestasi.
03 Februari 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar