Ini pertandingan yang benar-benar menguras emosi saya sebagai Arek Lamongan. Apalagi, saya berada di Tribun Stadion Surajaya, Lamongan, Senin malam (29/7) itu. Saya sangat kesal dengan tindakan kiper Persela Lamongan Dwi Kuswanto. Bagaimana bisa Dwi Kus melakukan tindakan konyol. Menanduk kepala gelandang Borneo FC Wahyudi Hamisi ketika bola sudah aman dalam pelukannya. Di saat kemenangan sudah di depan mata Persela pula.
Dwi Kus sejatinya punya kesempatan mengulur waktu dalam situasi tersebut. Selain pertandingan sudah memasuki menit akhir, Persela juga dalam posisi unggul 2-1. Dua gol tim asal Kota Soto tersebut dicetak Alex Dos Santos Goncalves. Gol pertama striker asal Brasil itu lahir titik penalti pada menit 63. Sedang gol kedua dilesatkan enam menit kemudian. Dua gol Alex itu membalas gol Borneo yang diceploskan Renan Silva pada menit 19.
Tapi, lagu kemenangan yang sudah berkumandang di Surajaya berubah menjadi amarah. Gara-gara tandukannya, Dwi Kus diganjar kartu merah oleh wasit Wawan Rapiko. Hamisi juga mendapat hukuman kartu serupa dari wasit. Pemain, offisial, dan suporter Persela pun sangat kesal dengan kartu merah tersebut. Apalagi, wasit asal Riau itu juga menghukum Persela dengan penalti. Dan dari hadiah penalti itulah Borneo menyamakan kedudukan menjadi 2-2 lewat eksekusi Lerby Eliandri.
Nah, pada titik itulah, saya juga sangat kesal dengan sikap wasit yang tidak tegas. Bukan, bukan kesal terhadap keputusannya memberikan kartu merah kepada Dwi Kus. Soal ganjaran kartu merah yang dijatuhkan kepada kiper Persela itu, saya sangat sepakat dengan keputusan wasit. Dalam peraturan permainan sepak bola jelas tertulis seperti itu. Dwi Kus jelas salah karena dia menanduk kepala gelandang Borneo. Tindakannya tersebut sangat tidak terpuji.
Hanya saja, ada yang ganjil. Sebab, wasit juga memberikan kartu merah kepada Hamisi. Padahal dia yang ditanduk. Kartu merah itu menimbulkan tanda tanya. Apalagi, Hamisi di kartu merah lebih dulu dibanding Dwi Kus. Dan Hamisi juga tidak melakukan aksi balasan setelah ditanduk Dwi Kus.
Apakah kartu merah itu diberikan wasit karena pemain asal Sulawesi Utara tersebut melakukan pelanggaran atau provokasi terlebih dahulu kepada Dwi Kus? Sebab, ketika itu Hamisi tidak melakukan aksi balasan setelah ditanduk Dwi Kus. Dengan situasi seperti itu, lalu pelanggaran apa yang dilakukan Hamisi. Dimana, kepada, dan kepada siapa. Sebab, dengan fakta di lapangan bahwa Hamisi tidak melakukan aksi balasan setelah ditanduk berarti wasit menilai dia telah melakukan pelanggaran terlebih dahulu.
Kalau betul Hamisi di kartu merah karena melakukan pelanggaran, maka seharusnya Persela tidak dihukum penalti. Sebaliknya wasit harusnya memberikan tendangan bebas kepada Persela. Pelanggaran kiper Persela gugur dalam hal hukuman tendangan bebas langsungnya atau penalti. Tapi, aksi menanduk yang dilakukan Dwi Kus tidak gugur dalam hal dihukum kartu merah. Sebab, jika benar Hamisi dinyatakan melakukan pelanggaran, maka tindakan Dwi Kus tidak lagi masuk dalam kategori pelanggaran. Sebab, pelanggaran itu terjadi saat bola dalam permainan. Aksi Dwi Kus tersebut masuk kategori tindakan tidak terpuji dalam pertandingan. Hukuman kartu merah pun sudah selayaknya dialamatkan kepadanya atas tindakan tidak terpujinya.
Argumentasi saya ini bisa jadi masih Anda anggap terlalu lemah. Tapi, bagaimana dengan fakta berikut ini?
Sehari setelah pertandingan, saya ngobrol dengan Dwi Kus. Cukup panjang obrolan kami. Dan dalam obrolan itu, kiper asal Sidoarjo tersebut memberitahu saya satu hal yang luput dari kacamata banyak orang. Dwi Kus menyebut bahwa sebelum terjadi insiden dirinya menanduk Hamisi, wasit sebenarnya sudah meniup peluit. Peluit itu ditiup Wawan Rapiko tepat saat Dwi Kus memetik bola ketika duel udara dengan Hamisi memperebutkan si kulit bulat hasil tendangan penjuru Asri Akbar. Peluit itu besar kemungkinan ditiup Wawan karena dia menilai ada pelanggaran dari Hamisi karena mengganggu kiper.
Saya sempat menulis keterangan Dwi Kus tersebut untuk saya terbitkan dalam berita wawancara dengan Dwi Kus di halaman olahraga Jawa Pos edisi Rabu (31/7). Tapi, Dwi Kus kemudian meminta agar keterangan itu tidak dimuat. Sebab, dia tidak memiliki bukti.
Saya pun tergelitik mencari rekaman video pertandingan Persela versus Borneo. Terutama rekaman saat detik-detik menjelang dan sesudah insiden tandukan Dwi Kus kepada Hamisi. Dan ketika saya menemukan rekaman video cuplikan insiden Dwi Kus dengan Hamisi, saya mendapati fakta seperti yang disebutkan Dwi Kus. Saya putar berulang-ulang ternyata memang ada bunyi peluit wasit tepat saat Dwi Kus memetik bola ketika melakukan duel udara dengan Hamisi. Saya meminta beberapa rekan mengamati video itu. Dan semua menyatakan mendengar bunyi peluit wasit.
Dengan adanya bunyi peluit tersebut artinya ketika Dwi Kus menanduk Hamisi, bola dalam posisi ”mati”. Bukan bola ”hidup” atau ”jalan” seperti argumentasi yang dibangun banyak orang dalam beberapa hari ini. Jika posisinya bola itu ”mati”, maka ulah konyol Dwi Kus menanduk Hamisi bukan masuk kategori pelanggaran. Tapi, masuk kategori tindakan tidak terpuji dalam pertandingan.
Mantan kiper Deltras Sidoarjo itu pun sangat pantas diganjar kartu merah atas ulah tidak terpujinya tersebut. Namun, hukuman penalti bagi Persela jelas tidak seharusnya dijatuhkan. Yang seharusnya adalah tendangan bebas untuk Persela atas pelanggaran yang dilakukan Hamisi yang dinilai wasit mengganggu kiper ketika perebutan bola sebelum beberapa detik sebelum insiden tandukan Dwi Kus.
Besar harapan saya Mas Wawan Rapiko mau berbesar hati meminta maaf atas kesalahannya. Tapi, jika ternyata tulisan saya ini yang salah, maka saya meminta maaf yang sebesar-sebesarnya kepada Mas Wawan Rapiko. Juga kepada Anda yang membaca tulisan ini.
Omah Balbalan, 1 Agustus 2019
Miftakhul F.S
Diumpan Sakhi
01 Agustus 2019
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
mari gabung bersama kami di Aj0QQ*co
BONUS CASHBACK 0.3% setiap senin
BONUS REFERAL 20% seumur hidup.
Posting Komentar