PENGUMUMAN yang terpampang di depan stadion itu begitu menggembirakan hati Dewa Putu. Dia tidak hanya akan melihat pengelolaan kesebelasan kesayangannya, Bali United, semakin transparan. Tapi, sekaligus berkesempatan bisa lebih memiliki tim berjuluk Serdadu Tridatu tersebut.
Pengumuman di Stadion Kapten I Wayan Dipta, Gianyar, Bali, itu menegaskan bahwa PT Bali Bintang Sejahtera Tbk, perusahaan pengelola Bali United, bakal melakukan penawaran saham perdana ke publik. Penawaran tersebut dijadwalkan mulai 10 sampai 12 Juni 2019.
Dan, begitu tanggal 10 Juni itu datang, Dewa Putu pun bergegas ke Denpasar. Persisnya ke Hotel Inna Bali Heritage, tempat penawaran saham perdana Bali United dilakukan. Laki-laki 35 tahun itu tidak berangkat sendiri. Tapi, bersama rekan-rekannya sesama suporter. ”Saya beli 100 lot atau 10 ribu lembar saham,” katanya. Untuk membeli 10 ribu lembar saham itu, Dewa Putu harus mengeluarkan uang Rp 1.750.000. Per lembar saham dihargai Rp 175.
Bali United melepas total 2 miliar lembar saham atau 33,33 persen dari jumlah modal ditempatkan dan disetor. Dengan begitu, jika terjual semua, perseroan bisa mendapat dana Rp 350 miliar. Dan, setelah 1 persen di antaranya dilepas pada penawaran perdana 10–12 Juni di Bali, saham Bali United mulai diperdagangkan di Bursa Efek Indonesia pada 17 Juni 2019.
”Saya memutuskan membeli saham karena ingin memiliki Bali United bukan sekadar secara emosional semata,” ujar laki-laki asal Gianyar tersebut.
Selain itu, dia merasa langkah Bali United baik untuk sepak bola Indonesia. Pengelolaan sepak bola di tanah air yang demikian kusut selama ini bisa digerakkan ke arah transparansi. ”Karena itu, langkah Bali United harus didukung. Kitalah suporter yang harus mendukung,” lanjutnya.
Ketut Subudi mengamini. ”Ini hal yang bagus bukan saja untuk Bali United, tapi juga untuk Indonesia,” ujar ketua Semeton Dewata Buldog, salah satu organ suporter Bali United, tersebut.
Yang ditempuh Bali United itu memang hal baru di sepak bola Indonesia. Hal yang sangat menarik tentunya. Apalagi, selama ini segala hal yang menyangkut pengelolaan sepak bola, lebih-lebih perihal keuangan, serba tertutup. Serbagelap. Seperti tabu untuk diperbincangkan.
Yang juga perlu digarisbawahi, keputusan melepas saham ke publik itu justru dilakukan kesebelasan yang terbilang anak baru. Terhitung sejak hijrah ke Pulau Dewata dan menyandang nama Bali United, klub yang dulu bernama Persisam Putra Samarinda tersebut baru berusia sekitar 5 tahun. ”Ada tiga hal yang mendorong kami melepas saham ke publik,” ujar CEO Bali United Yabes Tanuri.
Di antaranya, berkaitan dengan visi Bali United dan industri yang berkelanjutan. ”Dan sekarang kami butuh lebih cepat mengembangkan bisnis sepak bola ini,” paparnya. Dengan langkah menjual saham ke publik, Bali United optimistis bukan hanya bisnis yang dijalankan yang bisa berkembang lebih cepat. Melainkan juga bisa menjawab pertanyaan dan tuntutan suporter selama ini tentang transparansi legal dan keuangan. ”Kini bukan hanya BOPI (Badan Olahraga Profesional Indonesia) dan federasi (PSSI), tapi OJK (Otoritas Jasa keuangan) juga memeriksa kami,” imbuhnya.
Hal lain yang mendorong Bali United adalah umur sepak bola. Bali United percaya sepak bola itu berumur panjang. Contohnya pun sudah begitu banyak. Klub-klub luar negeri yang tetap hidup meski terlahir sebelum 1900. Juga, kesebelasan-kesebelasan legendaris di Indonesia seperti Persebaya Surabaya, PSM Makassar, Persib Bandung, atau Persija Jakarta. Klub-klub itu hidup dalam tiga zaman: Belanda, Jepang, dan Indonesia. ”Satu hal lagi, fanatisme sepak bola itu begitu langgeng. Itu susah dilakukan produk lain,” tambahnya.
Karena itu, Bali United percaya diri memutuskan melantai di bursa saham. Apalagi, mereka juga memiliki banyak yang bisa ”dijual” untuk menyakinkan publik. Seperti secuil cerita dari I Wayan Arjana. Setiap kali Bali United melakoni pertandingan kandang, I Nyoman Arjana bersama istri dan tiga anaknya tak pernah absen menyaksikan. Tak terkecuali Jumat malam lalu (14/6), kala kesebelasan berjuluk Serdadu Tridatu itu menjamu Timnas U-23 di Stadion Kapten I Wayan Dipta.
Seperti biasanya pula, Arjana dan keluarganya menonton dari jarak yang dekat sekali. Bukan, bukan di tribun stadion. Laki-laki 35 tahun itu menikmati pertandingan kesebelasan kesayangannya di Bali United Cafe. Letaknya persis di bawah tribun utama sisi selatan Stadion Kapten I Wayan Dipta. ”Menonton dari sini jauh lebih nyaman untuk anak-anak,” ungkap Arjana.
Alasan lainnya, laki-laki asal Gianyar itu mengaku, dengan menonton di Bali United Cafe, dirinya serasa seperti pelatih. ”Posisi di sini begitu dekat dengan lapangan. Kita duduk sejajar dengan pelatih,” katanya, lantas tertawa.
Dengan berada di bawah tribun, mereka yang menonton pertandingan di Bali United Cafe memang begitu dekat dengan lapangan. Jarak dengan lapangan serasa hanya sejengkal. Apalagi, pembatas kafe dengan lapangan adalah kaca. Jadinya, pemandangan ke lapangan begitu jelas. Tak terkecuali gerak-gerik pelatih. Utamanya pelatih kesebelasan lawan.
Dan, seperti kata Arjana, Bali United Cafe memang begitu nyaman. Kafenya cukup lega. Bisa menampung tak kurang dari 200 orang. Desainnya menarik. Khas sepak bola. Mejanya didesain seperti lapangan bola. Tempat duduknya dilabeli nama dan nomor punggung pemain-pemain Bali United. Sembari menonton pertandingan, juga bisa makan dan minum dengan lebih leluasa. Tentunya makanan dan minumannya bukan sekadar mengenyangkan dan bisa menghapus dahaga semata.
”Harga tiket masuk kafe juga terjangkau. Sama dengan tribun VIP. Kalau di tribun VIP tidak dapat makan dan minum, di sini dapat voucher makan dan minum,” katanya.
Kala hari pertandingan, menikmati laga Bali United dari kafe memang dikenai tarif masuk. Harganya Rp 200 ribu. Sama persis dengan harga tiket tribun VIP. Tapi, di luar hari pertandingan, kalau sekadar masuk Bali United Cafe, tentu saja tak dipungut biaya.
Kenyamanan seperti itulah yang dijual Bali United untuk meyakinkan publik bahwa industri sepak bola tersebut menjanjikan. ”Bagi Bali United, sepak bola itu bukan sekadar football. Tapi, lebih dari itu. Sepak bola itu bukan hanya 90 menit,” tegas Yabes.
Selain sepak bola itu sendiri, sepak bola dari sudut pandang Yabes terdiri atas komunitas yang di dalamnya ada suporter dan corporate yang menyangkut partner kerja kesebelasan. Karena itu, Bali United tidak hanya membangun kafe. Tapi, juga ada playland, store, televisi, dan radio.
Mereka juga mengembangkan tur stadion. Untuk tur, mereka membanderol harga Rp 500 ribu bagi dua orang. ”Kami gabungkan jadi satu antara sepak bola, fashion, hiburan, media untuk brand Bali United,” sebut Yabes.
Dengan itu semua, Bali United percaya sepak bola Indonesia bisa lebih dijual. Dengan itu semua, cerita sepak bola nasional bukan lagi tentang tawuran, kericuhan, dan keruwetan.
Lalu, dana segar dari hasil penjualan saham tersebut kelak hendak dikemanakan? Yang terdekat adalah pengembangan atau perbaikan infrastruktur stadion. Dengan dana di tangan, Bali United bisa lebih leluasa mengembangkan Stadion Kapten I Wayan Dipta. Sebab, mereka memiliki hak pengelolaan hingga beberapa tahun ke depan.
Pengembangan itu, salah satunya, berupa penambahan kapasitas tribun. Dana segar tersebut juga akan dimanfaatkan untuk modal kerja. Jangka panjangnya untuk membangun training center (pusat latihan). ”Kami akan mengikuti klub-klub top dunia yang memiliki dana kapital besar sehingga bisa membeli pemain yang harganya mahal. Sebab, target kami di sepak bola adalah selalu berada di peringkat atas,” jelas Yabes.
Diumpan Sakhi
17 Juni 2019
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
2 komentar:
andai dapat ditiru oleh PT. Persela Jaya
mari gabung bersama kami di Aj0QQ*co
BONUS CASHBACK 0.3% setiap senin
BONUS REFERAL 20% seumur hidup.
Posting Komentar