Sepak bola tak lagi ditempatkan sebagai sepak bola di negeri ini. Kalaupun dipandang sebagai sepak bola, itu berada pada urutan kesekian. Bukan yang pertama. Bukan yang utama.
Selama bertahun-tahun, politik selalu menempati urutan pertama dalam sepak bola Indonesia. Disusul urusan bisnis di luar sepak bola, lalu perkara ”uang receh”, dan baru kemudian sepak bola itu sendiri.
Bertahun-tahun sepak bola Indonesia dimanfaatkan untuk kepentingan politik praktis. Dijadikan alat untuk meraih kursi. Dijadikan kendaraan meraih kekuasaan. Entah itu kursi eksekutif ataupun legislatif. Dan itu dilakukan secara telanjang. Contohnya pun sangat banyak.
Yang terjadi di Sriwijaya FC Palembang musim kompetisi 2018, misalnya. Sulit dibantah jika keputusan manajemen Sriwijaya FC membeli pemain dan pelatih kenamaan di awal musim lalu bukan sekadar untuk memuluskan jalan meraih juara. Tapi, sekaligus dijadikan kendaraan bagi pimpinan kesebelasan berjuluk Laskar Wong Kito itu untuk meraih kursi eksekutif.
Pandangan tersebut semakin mendapatkan legitimasi setelah sang pimpinan Sriwijaya FC gagal merealisasikan ambisinya. Kesebelasan tersebut ”ditinggalkan” dan dibiarkan merana hingga akhirnya terdegradasi.
Tak hanya ditunggangi untuk kepentingan politik, sepak bola negeri ini juga dimanfaatkan untuk kepentingan bisnis. Bukan, ini bukan bisnis yang bertalian dengan industri sepak bola. Tapi, bisnis di luar sepak bola. Mereka sengaja menceburkan diri ke sepak bola untuk mencari kongsi bisnis di luar sepak bola. Atau mereka sengaja mau mengurus sepak bola agar mendapat kemudahan untuk menjalankan bisnisnya.
Jika ingat kisah sebuah kesebelasan yang berulang-ulang pindah home base, Anda bisa menemukan contoh bahwa sepak bola dimanfaatkan untuk kepentingan bisnis di luar sepak bola itu. Atau, ketika ingat cerita tentang pimpinan organisasi sepak bola nasional yang dipenjara karena terjerat kasus korupsi, Anda akan menemukan benang merahnya di situ.
Nah, karena menunggangi sepak bola untuk kepentingan politik dan bisnis, mereka berusaha mencitrakan kesebelasannya sebagai kesebelasan yang menangan. Atau bahkan merebut gelar juara sekalian. Di situlah ”uang receh” dipertautkan. ”Uang receh” tersebut sengaja saya beri tanda kutip. Sebab, ini bukan soal uang seratus atau dua ratus perak. Tapi, puluhan juta, ratusan juta, bahkan miliaran rupiah.
Perihal ”uang receh” itulah yang melahirkan pengaturan pertandingan. Dan itu sudah terjadi bertahun-tahun dan kini begitu riuh isunya. Dan yang bermain pun tidak sedikit. Tak terkecuali para pengurus di induk organisasi sepak bola.
Karena tiga hal itulah, sepak bola Indonesia selalu riuh. Bukan tentang prestasinya, melainkan kontroversinya. Karena tiga hal tersebut pula, kursi ketua umum PSSI selalu terlihat empuk untuk diduduki dan banyak yang tergiur menempatinya. Lantaran tiga hal itu juga, sepak bola-nya sendiri ditepikan. Tidak menjadi prioritas. Hanya ditempatkan pada urutan kesekian. Maka, jangan heran kalau sepak bola Indonesia lebih akrab dengan paceklik prestasi. Tim nasional-nya tak kunjung juara. Sebab, kompetisinya memang tak mendukung ke arah sana.
Lalu, mau sampai kapan kondisi itu dibiarkan terus? Mau sampai kapan kita lelah mencari uang untuk membeli tiket, capek-capek bernyanyi sepanjang laga, dan capek-capek tret tet tet jauh, tapi ternyata pertandingannya dipermainkan? Tentu itu semua harus segera diakhiri.
Dan sekarang momentum itu datang (lagi). Saat kepercayaan publik kepada PSSI dan pengurusnya berada di titik terendah. Saat banyak pihak berani buka-bukaan tentang pengaturan pertandingan dan direspons kepolisian dengan membentuk Satgas Antimafia Bola.
Sekarang merupakan saat yang tepat untuk merevolusi PSSI. Suporterlah yang bisa menggerakkan perubahan tersebut. Dan sekarang bola itu ada di kaki suporter. Sebab, mengharapkan voter atau anggota PSSI langsung rasanya menjadi percuma. Kongres tahunan PSSI di Bali beberapa waktu lalu bisa menjadi cermin. Yakni, hanya satu voter yang berani menyuarakan kongres luar biasa (KLB). Selebihnya memilih jalan aman.
Dan apa yang tersaji di Bali lalu merupakan pengulangan dari kongres-kongres sebelumnya. Setiap kongres, ya selalu seperti itu. Mayoritas yang datang tak terlalu memikirkan sepak bola. Bahkan, tidak sedikit yang datang ke kongres sekadar mencari uang saku.
Kalau sudah seperti itu, masak kita mau menyerahkan sepenuhnya perubahan kepada mereka. Kita (suporter)-lah yang harus bergerak. Memang suporter tidak memiliki hak untuk memilih ketua umum dan pengurus PSSI. Sebab, hak itu milik para anggota PSSI: klub dan asosiasi provinsi (asprov). Namun, suporter punya kekuatan untuk menentukan siapa-siapa yang memimpin dan mengurus PSSI ke depan.
Lantas, apa yang harus dilakukan suporter? Bukan, bukan mendemo PSSI. Melainkan, mari mengawal kesebelasan kebanggaan kita masing-masing. Mari kita dorong kesebelasan kesayangan kita untuk menggelar kongres luar biasa (KLB) untuk mengganti semua pengurus PSSI. Tidak sekadar mengganti ketua umum. Sebab, sepuluh tahun terakhir ketua umum PSSI sudah empat kali berganti, tetapi pengurusnya masih itu-itu saja.
Kita diskusikan dengan manajemen kesebelasan kita nama-nama yang kredibel untuk memimpin dan mengurus PSSI. Saya rasa, di negeri ini masih banyak nama yang mumpuni untuk memimpin dan mengurus sepak bola Indonesia. Dua nama anak muda dari Kabupaten Semarang ini, Bambang Pamungkas dan Sirajudin Hasbi, contohnya.
Bambang mungkin tak istimewa di mata suporter Persib Bandung. Namun, penyerang Persija Jakarta itu merupakan sosok pemain yang tidak hanya mengerti bola, tetapi juga memiliki dan berani bersikap. Sementara itu, Hasbi merupakan pemuda yang begitu mencintai sepak bola dengan jalan menghidupkan literasi olahraga di kulit bulat tersebut. Dia juga sosok yang mampu berdiri di atas kaki sendiri di saat usianya masih sangat muda.
Dan saya yakin, di luar dua nama itu, teman-teman suporter pasti memiliki referensi sosok-sosok yang kredibel untuk mengurus sepak bola nasional. Nama-nama yang sudah didiskusikan antara suporter dan manajemen kesebelasan kesayangan kita itu harus direkomendasikan sekaligus dipilih wakil klub kita di kongres. Dan kita (suporter) harus mengawal agar nama itu benar-benar direkomendasi dan dipilih.
Jika ternyata rekomendasi dan pilihan mereka meleset dari hasil diskusi kita, wakil klub yang berangkat ke kongres wajib kita sanksi. Sanksi bisa dikeluarkan dari manajemen kesebelasan kesayangan kita. Atau yang lebih ekstrem, teror kehidupannya. Sebab, dia sudah rela membiarkan sepak bola tetap melaju di jalur tak nyaman bagi kita semua.
Satu hal lagi, tak hanya mendesak klub menggelar KLB, kita juga harus desak kesebelasan kebanggaan kita masing-masing untuk berkomitmen tidak lagi main ”cubit-cubitan”. Tidak lagi mempermainkan pertandingan. Tidak lagi mencari jalan kemenangan lewat jalan yang jauh dari sportifitas. Konsekuensinya, kita bantu menyehatkan keuangan kesebelasan kita dengan
membeli tiket dan tidak melakukan hal-hal negatif yang merugikan klub.
Dan untuk itu semua, suporter tak sepantasnya lagi terjebak pada perseteruan antarkelompok suporter. Semua harus bergerak agar suporter tak lagi menjadi objek. Melainkan, sebagai subjek.
Sekarang bola itu ada di kaki suporter. Mainkan bola itu. Jangan biarkan bola itu menggelinding begitu saja dan diserobot penumpang gelap agar sepak bola kembali ditempatkan sebagai sepak bola di negeri ini.
Diumpan Sakhi
25 Januari 2019
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar