Anak-anak itu lahir di Surabaya. Juga tumbuh di Surabaya. Orang tua mereka adalah penggemar sekaligus pendukung Persebaya Surabaya. Kota dan kesebelasan yang selalu berada di seberang mata serta hati arek-arek Malang.
Sebagian dari mereka lahir dan tumbuh di Sidoarjo. Seperti anak-anak Surabaya itu, orang tua mereka juga penggemar Persebaya. Dan semua pun tahu kalau pendukung Persebaya tidak pernah dan tidak akan pernah menyukai Arema Malang.
Di luar itu, juga ada anak-anak dari Mojokerto dan Kediri. Secara kultur, dua kota terakhir itupun menjadikan Surabaya sebagai kiblat sepak bola-nya. Total ada 12 anak. Usia mereka 10 sampai 12 tahun.
Tapi, cinta, mimpi, dan kepolosaan anak-anak itu berhasil menepikan semua kebencian yang tertanam di generasi sebelum mereka. Karena cinta mereka yang begitu meluap kepada sepak bola. Lantaran letupan mimpi menjadi pesepak bola, anak-anak itu melangkah ke Malang awal 2015 lalu. Berkostum Malang. Atau lebih tepatnya berseragam Sekolah Sepak Bola (SBB) Banteng Muda.
Karena cinta dan mimpi itupula serta kepolosan anak-anak tersebut para orang tua pun melepas mereka ke Malang. Berkostum Malang. Bahkan, dengan penuh kegembiraan para orang tua tersebut mendamping anak-anak itu di pinggir lapangan. Entah itu saat berlatih atau ketika bertanding.
”Di mana pun dan siapa pun yang bisa membuat anak-anak berprestasi, maka di situlah hati saya, saya letakkan,” ungkap Achmad Yari, pendiri Bromo FC Surabaya - SBB tempat anak-anak itu berlatih selama ini. ”Bukan untuk saya, Surabaya, dan Malang. Tapi, ini untuk masa depan anak-anak,” imbuhnya.
Anak-anak itu antara lain Marchel Andre Kusuma, Onla Kahfi Pranata, Muhammad Alvyn Puetera Prakasa, Faishal Zaidan Tiftazani, dan Pramuditya Bintang Pamungkas. Mereka ini tumbuh di Surabaya.
Nama anak-anak lainnya adalah Iqbal Khoirul Rafli, Ricky Pratama, Anas Ridhlo Amansyah, Mochammad Restu Agung Prasetya, dan Dendy Agung Wicaksono. Lima anak ini setiap harinya mencecap udara Sidoarjo. Kota yang bertetangga dengan Surabaya.
Juga Jabo Ferianto yang lahir dan tumbuh di Kediri. Dan Saifi Azka Hidayat, bocah Mojokerto yang bersekolah di Sidoarjo.
Di Malang anak-anak itu disambut hangat. Diperlakukan layaknya ”anak kandung”. Dianggap seperti anak-anak Malang yang sudah berlatih berbulan-bulan di SBB Banteng Muda. ”Sepak bola itu tak bersekat. Sepak bola itu tentang kegembiraan. Juga mimpi,” kata pendiri SBB Banteng Muda Haris Thofly. ”Siapapun yang datang ke kami, kami pasti akan menyambutnya dengan tangan terbuka,” tambahnya.
Dengan berseragam Malang, kaki-kaki lincah anak-anak Surabaya itu menapak tangga juara. Mereka memenangi penyisihan Piala Danone regional Jawa Timur. Menahbiskan diri sebagai yang terbaik di level nasional. Menyisihkan ribuan SBB dari 110 kabupaten.
Di partai puncak 7 Juni 2015 di Stadion Soemantri Brodjonegoro, Jakarta, Marchel dan kawan-kawannya mengungguli wakil Kalimantan Selatan, SBB Batu Agung. SSB Banteng Muda menang 1-0 lewat kaki Marchel. Kemenangan yang tentu saja me mbanggakan Malang.
Kemenangan itu juga mengantarkan anak-anak tersebut terbang ke Maroko. Mewakili Indonesia. Bertanding dengan 31 tim dari negara di belahan dunia lainnya. Bertemu dengan anak-anak dari negara-negara raksasa sepak bola dunia. Seperti Brazil, Italia, Jerman, Spanyol, Argentina, dan Prancis.
Oktober 2015 lalu mereka pun menjejakkan kakinya di rumput lapangan Kota Merah : Marrakesh, Maroko. Tak ada emblem Surabaya. Juga Malang yang melekat pada mereka. Identitas anak-anak itu hanya satu : Indonesia. Lagu yang mereka nyanyikan adalah Indonesia Raya. Dan di penghujung turnamen mereka menempati rangking 14 dari 32 peserta. Pencapaian yang terbilang apik tentunya.
Dan jauh sebelum cerita manis anak-anak itu tercipta, putra Turen, Malang Syamsul Arifin pernah memberi kebanggaan yang sama untuk Arek-Arek Surabaya. Syamsul beradil besar atas kemenangan Persebaya di kompetisi perserikatan 1987/1988. Juga kemenangan di beberapa turnamen sepak bola. Semisal Piala Tugu Muda dan Piala Hamengkubuwono.
Duetnya bersama Mustaqim -yang asli Arek Surabaya- begitu sehati. Sekaligus juga menakutkan bagi bek dan kiper lawan. Sundulannya seringkali menerbitkan kegembiran bagi pendukung Persebaya. Arek-Arek Surabaya pun menyanjungnya dan memberikannya julukan Kepala Emas.
Selain Si Kepala Emas, juga ada nama Aji Santoso. Arek Malang itu bahkan memimpin Persebaya menahbiskan diri sebagai juara Liga Indonesia 1996/1997. Ya, ban kapten melingkar di lengan Aji dalam skuad Persebaya saat itu.
Dan, dari mereka kita menjadi tahu. Bahwa di lapangan hijau Malang dan juga Surabaya senantiasi memberi dan berbagi kebanggaan.
05 Oktober 2018
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar