22 Oktober 2011

Anyir Politik di Lapangan Hijau

Sepak bola memang bukan lagi sekedar permainan. Tidak melulu urusan menendang dan menyundul bola. Ada gairah lain di dalamnya. Tentang identitas juga ekonomi. Tak terkecuali politik. Sepak bola Indonesia pun demikian. Selalu lekat dengan politik.

Sejarah telah mencatatnya. Bahwa organisasi sepak bola negeri ini-PSSI-didirikan karena faktor politik. Dengan muatan politis.

Soeratin Sosroseogondo dengan tujuh perwakilan dari Yogyakarta, Solo, Surabaya, Madiun, Magelang, Bandung, dan Jakarta yang memproklamirkannya di Yogyakarta, 19 April 1930 silam, menegaskan kalau PSSI lahir sebagai media melawan penjajah. Sarana menggugah nasionalisme sekaligus alat pemarsatu.

Semangat yang sama menyebar ke seluruh negeri. Seperti ditulis Andrea Hirata secara apik di novel Sebelas Patriot. Andrea menulis: di dan dari lapangan hijau, orang-orang Belitung ingin melepaskan ketertindasan mereka dari penjajah.

Dewasa ini, sejarah lekatnya sepak bola Indonesia dengan politik itu seperti ingin dilanggengkan Hanya saja paradigma berbeda. Jika dulu sepak bola sebagai alat pemersatu, sekarang menjadi alat berebut kursi.

Gambaran tentang itu saat ini terlihat jelas. Ada dua kutub yang begitu sengit bertarung di ranah politik, tapi memakai kostum sepak bola. Dua kutub itu, satu berasal dari Jenggala dan satunya datang dari Kuningan. Jenggala mengusai PSSI, sedang Kuningan merangkul lebih banyak klub.

Keduanya berusaha melaju cepat di jalur berbeda, tapi dengan tujuan sama. Jelas bukan prestasi. Namun kursi. Sepak bola pun menjadi korban. Tengok saja langkah (pengurus) PSSI. Bangunan-bangunan yang seharusnya tinggal diperbaiki malah dirobohkan. Kompetisi dan PT Liga Indonesia misalnya. Berbagai regulasi juga ditabrak. Butuh bukti, tengok saja daftar susunan pengurusnya dan cocoknya dengan regulasi.

Langkah Kuningan tak jauh berbeda. Mengatasnamakan regulasi, bukannya mendukung dan membantu perubahan di PSSI, mereka malah bergerak melawan. Dengan halus tentunya. Celakanya, di tengah bau anyir politik itu, (pengurus) klub justru tidak rasional. Mereka berpikir praktis dan mengabaikan asal dana. Meski mereka sebenarnya diperalat. Yang terpenting, klub tetap eksis. Bahkan, tidak sedikit yang tetap memilih jor-joran membeli mahal pemain. Sikap ini justru ditunjukkan ketika mereka tidak lagi menyusu pada APBD yang sejatinya menuntut klub berpikir kreatif.

Tapi inilah yang terjadi. Hasilpun bukan iklim sepak bola yang sejuk. Sebaliknya yang terbit adalah keruwetan, kekacauan, dan kekonyolan. Jika di tahun-tahun sebelumnya, pada bulan ini kita bisa datang ke stadion menyaksikan pertandingan, sekarang tidak. Kalau di sore-sore sebelumnya pada bulan ini kita bisa duduk manis menonton siaran pertandingan sepak bola, saat ini tidak.

Kenapa begitu? Sebab, agenda kompetisi tidak jelas. Dan tidak jelasnya agenda kompetisi ini jelas bakal berbuntut panjang. Ya mengganggu kegiatan tim nasional, ya mengancam partisipasi tim-tim Indonesia di kejuaraan leval Asia. Tragis!
****

Seruwet itukah sepak bola Indonesia? Mungkin tidak. Sebab, sebenarnya mereka yang saat ini berada di lingkungan sepak bola Indonesia, baik di kantor PSSI maupun di klub, merupakan orang-orang yang baik. Orang-orang yang memahami sepak bola. Dan tentu saja mencintai sepak bola.

Hanya saja, mereka melupakan cintanya. Juga panik. Semoga saja mereka segara berpaling. Berharap mereka memiliki hati untuk sepak bola. Sehingga, sepak bola kembali ke esensinya : seni memainkan bola di lapangan hijau. Tidak lebih!

dimuat di Jawa Pos, Minggu 23 Oktober 2011

Tidak ada komentar: