Setiap melihat anak-anak berlatih sepak bola, hati selalu miris. Masa depan mereka seakan dipermainkan seperti bola yang mereka tendang. Betapa tidak, di tengah pertarungan ego dan kepentingan yang kini mengoyak persepekabolaan nasional, jalan di depan bagi mereka untuk bisa menjadi seperti Bambang Pamungkas, Firman Utina, atau Boaz Solossa terlihat begitu kelam.
Tentu bukan anak-anak itu yang mempermainkan. Mereka masih suci dan polos. Semangatnya adalah bermain sekaligus belajar mengolah si kulit bulat. Harapannya : kelak menjadi pesepak bola.
Orang-orang yang mengurus sepak bola negeri ini-baik yang di Senayan maupun di klub-yang mengebiri harapan anak-anak tersebut. Dengan penuh semangat orang-orang itu mengumbar egonya. Masing-masing saling melempar dendam. Juga menyelipkan agenda politik di lapangan hijau.
Sepak bola yang sebenarnya sederhana menjadi rumit dan ruwet. Sepak bola yang sejatinya melahirkan keindahan, malah menerbitkan kekacauan. Ada dualisme kompetisi dengan dua pengelola: Indonesia Super League (ISL) yang dikendalikan PT Liga Indonesia dan Indonesian Premier League (IPL) dibawa pengelolaan PT Liga Prima Sportindo Indonesia.
Memang dualisme itu bukan tanpa potensi tersembunyi. Semakin banyak kompetisi, maka semakin banyak pertandingannya. Itu berarti pemain yang terserap ke kompetisi semakin banyak. Pemain pun semakin matang penampilannya. Baik dari sisi teknis maupun mental.
Tetapi, potensi itu berubah menjadi absurd karena dualisme juga merembet ke klub. Arema Malang terbelah. Begitupula Persija Jakarta dan PSMS Medan. Persebaya Surabaya pun serupa. Juga Gresik United. Dengan nama sama, mereka bertanding di kompetisi berbeda. Ada yang satu level, adapula yang beda kasta.
Apalagi, ISL berjalan tidak semata sebagai wujud penolakan keputusan PSSI. Penolakan tentang dinaikkannya enam tim-beberapa diantaranya sempat membelot dari ”rumah” PSSI-sekaligus ke level teratas. ISL bergulir juga kerena dendam. Diwarnai pula unsur politis.
Mayoritas klub yang berlaga di ISL bertautan dengan ”beringin”. Atau kalau tidak, mereka bisa dipastikan dekat dengan keluarga Kuningan. Tengok saja seragam beberapa petinggi klub. Arema, Sriwijaya FC, Persegres (Gresik United), Mitra Kutai Kartanegara, dan Persidafon Dafonsoro misalnya. Mereka berlatar belakang beringin.
Lihat pula pengelola dibalik Persija Jakarta, Deltras Sidoarjo, serta Persela Lamongan. Begitupula Persipura Jayapura dan PSMS Medan. Sulit dipungkiri kalau mereka tidak dekat dengan keluarga Kuningan yang notabene menakhodai ”beringin”. Berat pula kalau tidak menyebut ada dana dari Kuningan untuk mereka.
Satu lagi adalah Pelita Jaya. Mereka bahkan merupakan anak keluarga Kuningan. Karena itu, dirayu seperti apapun, bahkan dijatuh sanksi seberat apapun, mereka tidak bakal berpaling.
IPL pun tidak bersih. Juga ada dendam dibalik lahirnya IPL. Memberi label ISL ”haram” merupakan perwujudannya. Selain itu, langkah (pengurus) PSSI yang tidak ingin melupakan keringat dan darah mereka yang dulu berjuang melawan kekuatan lama juga sebuat cacat besar.
Klub-klub yang dulu ”berkeringat” diakomodir. Sebut saja seperti PSM Makassar, Persibo Bojonegoro, Persema Malang, dan Persebaya. Bukannya memulai kompetisi dari level bawah, tapi mereka dipromosikan ke kasta teratas. Apapun dalihnya, klub-klub tersebut harus didegradasi. Sebab, mereka pernah keluar dari kompetisi.
Langkah PSSI juga terkesan tergesa. Semangat menggulirkan IPL untuk menjauhkan kompetisi dari tangan mafia, menimbulkan kelucuan tersendiri. Mayoritas klub IPL dananya berasal satu sumber, keluarga Jenggala. Banyak klub pengelolanya dari Jakarta. Kalau seperti itu, sulit membayangkan adanya persaingan sehat. Konflik kepentingan pasti mengikuti.
Asumsi adanya muatan politis pun sulit dilepaskan dengan konfigurasi seperti itu. Selama ini keluarga Jenggala tak terlalu gila bola. Jadi, buat apa menginvestasikan miliaran rupiah di sepak bola Indonesia yang selama ini belum bisa dikatakan sebagai industri mapan? Adakah kepentingan politik di dalamnya?.
Sungguh rumit sepak bola negeri ini. Tapi, akankan terus seperti ini? Untuk orang-orang yang mengurus sepak bola negeri ini : sembelih ego kalian, hidupkan hati kalian. Hentikan polemik dan pikirkan sepak bola, bukan kuasa.
Sebab, sungguh tak pantas masa depan anak-anak yang mengisi mimpinya menjadi pesepak bola dikorupsi. Tak layak pula mimpi pecinta sepak bola tanah air yang ingin melihat Garuda terbang tinggi semakin dikaburkan.
dimuat di Jawa Pos, 18 Desember 2011.
Read More..
19 Desember 2011
Langganan:
Postingan (Atom)