Dunia sepak bola Indonesia memang belum memberi ruang lebih bagi perempuan untuk memainkannya. Kendati begitu, tidak sedikit yang menggelutinya dan berhasil meraih banyak hal karenanya. Marem Trisnani diantara yang sedikit itu.
Sapuan bedak tipis di wajahnya dan rambut panjangnya yang dibiarkan terurai membuat Marem Trisnani terlihat kalem. Seragam batik biru pegawai pemerintah kabupaten (pemkab) Sidoarjo menambah kesan anggun pada diri perempuan 41 tahun itu.
Dia juga sering mengumbar senyum kepada tamu yang datang ke kantornya di sisi timur GOR Serbaguna, Sidoarjo. Tamu-tamu yang umumnya hendak menyewa GOR tersebut dilayani dengan ramah dan sabar.
Sikap tersebut jelas bertolak belakang dengan keseharian Marem di lapangan hijau. Selama ini, Marem memang lebih dikenal sebagai pesepak bola perempuan. Ketika di lapangan, perempuan asal Balongbendo, Sidoarjo tersebut begitu garang. Marem tidak pernah mengenal kata kompromi terhadap lawan. Setiap lawan yang mengancam gawang timnya, pasti tidak dibiarkan leluasa memainkan bola.
Tidak hanya penampilan, suaranya juga lantang. Meski berposisi sebagai libero, teriakannya tetap terdengar jelas oleh rekannya yang bermain di lini depan. Saking lantangnya, beberapa rekannya terkadang takut dengannya. ”Tidak hanya sekali dua kali ada orang tua yang protes. Bahkan, ada orang tua pemain yang bilang kalau anaknya baru mau bermain kalau tidak ada saya. Sebab, saya dianggap galak,” ungkap Marem seraya tertawa lepas.
Aktifitas Marem di lapangan bola saat ini sudah agak berkurang. Kini waktu ibu dua anak tersebut lebih banyak di kantor. ”Sejak pertengahan 2004 saya menjadi pegawai honorer Pemkab Sidoarjo,” katanya. Marem ditempatkan di Dinas Pemuda, Olahraga, Kebudayaan, dan Pariwisata. Lebih spesifik lagi bertugas di GOR Serbaguna. ”Awalnya saya di GOR Delta atau stadion. Sekitar dua tahun terakhir saya pindah ke GOR Serbaguna. Tapi, tugasnya tetap sama ngurusi sarana olahraga,” ucapnya.
Marem tergolong perempuan istimewa. Selain menjadi ibu rumah tangga, dia menggeluti tiga profesi sekaligus yang bertolak belakang. Marem merupakan sedikit dari perempuan yang menggeluti sepak bola. Istri Arifin itu juga seorang pegawai Pemkab serta pelawak. Dua profesi terakhir digeluti Marem karena ketekunannya bermain sepak bola.
Marem memang sangat mencintai sepak bola. Kecintaannya itu tumbuh lantaran Marem kecil sering melihat bapaknya Djali bermain si kulit bundar di lapangan kampung halamannya. Dia pun kepincut dan ingin bisa memainkannya. Tapi sayang, dunia sepak bola Indonesia belum memberi ruang lebih kepada perempuan untuk memainkannya. Alhasil, Marem kecil pun hanya bisa menjadi penonton.
Kendati begitu, sesekali dirinya ikut bermain dengan teman-teman laki-lakinya. Hasratnya baru terpenuhi setelah Marem tamat SMA. Saking inginnya bermain sepak bola dan menjadi pesepak bola, awal tahun 1990 Marem nekat bergabung dengan klub sepak bola Putri Gelora Tambaksari 97.
Sembari berlatih, Marem juga terus menyakinkan kedua orang tuannya. Akhirnya izin itu datang. Pilihannya pun tepat. Dari lapangan hijau Marem mendapat banyak hal. Dari lapangan hijau pula, Marem membuka jalan menuju profesi lain. ”Apa yang saya dapatkan dari sepak bola? Yang pertama adalah kebahagiannya. Yang lainnya adalah prestasi,” tegasnya.
Prestasi Marem di lapangan hijau pun cukup menterang. Saat berseragam Delta Putri Sidoarjo (Deltris), tim asal Kota Udang itu dibawanya menempati posisi ketiga turnamen sepak bola perempuan se-Jawa Timur tahun 2003 dan runner up tahun berikutnya. Bersama Persida Putri Sidoarjo, Marem meraih tempat keempat nasional. ”Pada tahun tersebut saya juga terpilih sebagai anggota tim nasional,” tuturnya dengan bangga.
Prestasi teranyarnya direngkuh Desember tahun lalu. Hingga usianya yang telah dia atas 40 tahun, Marem memang masih aktif bermain sepak bola. Nah, Desember tahun lalu, sebagai kapten tim, Marem berjasa membawa Persida Putri menjadi runner up Piala Budhe Karwo. ”Tapi, intensitasnya saat ini tidak sesering dulu. Saya dan rekan-rekan baru berlatih dua bulan sebelum turnamen. Latihannya pun hanya Sabtu dan Minggu,” ujarnya.
Tak hanya berprestasi di lapangan, dari sepak bola Marem juga mendapatkan hal yang tidak kalah istimewa. Karena sepak bola, Marem direkrut masuk sebagai pegawai Pemkab Sidoarjo tanpa tes. ”Saat itu, setelah berlatih sepak bola di stadion saya didatangi para pejabat dan besoknya disuruh masuk kerja di dinas pemuda dan olahraga. Sekitar seminggu kemudian, saya diberi seragam,” kenangnya.
Meski hingga kini masih berstatus honorer, Marem tetap bangga. Apalagi, dia datang dari keluarga petani di desa. Selain itu, tidak ada anggota keluarganya yang bermimpi menjadi pegawai. ”Dengan status ini, saya juga lebih tenang menjalankan hidup karena memiliki pegangan kerja yang pasti,” sebutnya.
Yang didapatkan pun tidak sekedar itu. Dari sepak bola, Marem berkenalan dengan panggung lawak. Cerita itu bermula pada awal 1994. Ketika itu, Marem bergabung dengan tim Galanita yang bertanding dengan grup lawak Galatawa. Para pelawak Jawa Timur, terutama Bambang Gentolet kesemsem dengan cara bermain Marem.
Marem kemudian diajak memperkuat Galatawa. Dalam setiap kesempatan berlatih maupun bertanding ternyata celetukan-celutukan Marem mampu mengundang tawa rekan-rekannya yang berprofesi pelawak. Melihat bakat mbanyol Marem, Bambang Gentolet pun mengajaknya pentas pertengahan 1994.
”Saya pentas pertama kali di alun-alun Lamongan. Saat itu saya gemeteran dan nyaris ngompol. Bukannya disuport, rasa grogi saya itu justru dibuat bahan bercandaan Bambang dan rekan-rekan,” cerita Marem sembari tersenyum.
Setelah turun panggung, teman-temannya menyebut permainannya cukup bagus. ”Saya tahu itu penilaian ngawur. Tapi, saya tetap senang. Apalagi, saya pentas dengan pelawak-pelawak yang sudah matang di panggung. Saya pun akhirnya ketagihan untuk ikut manggung,” katanya.
Saat kecil, selain bermain sepak bola, Marem juga berlatih ludruk. Di Balongbendo kesenian khas Jawa Timur tersebut memang hidup gemerlap. Karena pernah berlatih ludruk, Marem pun akhirnya tak canggung lagi manggung di pentas lawak. Dia pun sudah pentas ratusan kali di berbagai tempat. Bukan saja di daerah Jawa Timur, tapi juga ke luar Jawa, seperti Gorontalo dan Lampung.
Marem menyebut sejak pertama bergabung dengan Bambang Gentolet cs dirinya tidak pernah berlatih bersama. Kendati begitu, mereka selalu nyambung di atas panggung dan mampu membuat para penonton terpingkal-pingkal. ”Kami main begitu saja. Bahannya mengalir di panggung sesuai dengan siapa yang nanggap dan juga disesuaikan dengan berita terbaru. Yang jelas dipanggung saya selalu jadi bahan kalah-kalah,” paparnya.
Lalu bagaimana Marem mengatur waktu untuk keluarga dan menjalankan ketiga profesinya? Dengan enteng, Marem menyebut tidak terlalu kesulitan. Soal profesi, dia selalu mengedepankan sepak bola. Kalau ada turnamen, maka Marem konsentrasi ke sepak bola. Untuk itu, dia tidak kesulitan. Sebab, kantornya selalu memberi dispensasi.
Rekan-rekannya dilawak pun cukup mengerti. Kalau pentasnya jauh, Marem tidak keberatan ditinggal. Tapi, kami masih di Sidoarjo atau Surabaya dan dekat dengan lokasi turnamen, Marem bakal siap naik panggung. ”Kan saya juga kalau tidak ikut ngelawak. Selain berpahala menghibur orang, bayarannya juga gede,” ucapnya lantas terkekeh.
Bagaimana dengan keluarga? Sesekali memang sempat ada komplain dari anak-anaknya, Swastyratu Indra Nili Wijaya dan Hanggareksa Indra Nili Wijaya. Tapi, secara umum, merekalah yang memberi suport terbesar bagi Marem. ”Yang penting kan saya konsekuen selalu bangun paling pagi dan menyiapkan sarapan. Itu harus tetap saya lakukan kendati saat baru sampai rumah dinihari setelah pentas,” sebutnya.
Read More..
12 Februari 2012
Langganan:
Postingan (Atom)