Musryid Effendi tak akan pernah melupakan malam 31 Agustus 1998 di Ho Chi Minh, Vietnam. Malam itu Mursyid terpaksa menikam hatinya. Terpaksa melukai hati keluarganya. Juga hati masyarakat Indonesia.
Malam itu di Stadion Thong Nhat, Mursyid terpaksa menceploskan bola ke gawang negerinya sendiri. Indonesia pun kalah 2-3 dari Thailand. Caci maki, sumpah serapah, juga sanksi pun bertubi-tubi menghujam ke Mursyid.
”Saya adalah korban,” kata Mursyid saat kami berbincang beberapa tahun silam tentang malam kelam di Ho Chi Minh itu. Kalimat yang sama kembali diulangnya ketika kami bertemu akhir Oktober lalu.
Mursyid tak hendak membela diri. Arek Surabaya itu memang salah. Sebab, Mursyid dengan ”sengaja” mencetak gol ke gawangnya sendiri. Tapi, Mursyid hanya korban. Ada tangan-tangan yang memaksanya melakukan kesalahan itu. Ada pengurus teras PSSI di balik gol Mursyid. Adapula kuasa manajer tim yang kala itu dijabat Andri Amin.
Merekalah yang menikam hati masyarakat. Berdalih strategi menggapai juara, mereka merobek-robek bendera fairplay. Menginjak-injak sportifitas. Indonesia tak diperbolehkan menang di laga pamungkas grup A Piala Tiger-kini Piala AFF-kontra Thailand. Alasannya untuk menghindari Vietnam di semifinal.
Orang-orang itu berdalih Vietnam lebih kuat dibanding Singapura. Bukan saja dari segi materi, tapi juga sisi mental, karena Vietnam tuan rumah. Mereka berpikir jalan menuju tangga juara akan lebih mulus jika bersua Singapura di semifinal. Maka cara apapun mereka lakukan untuk itu, meski kotor. Celakanya, Thailand berpikir sama. Sempat bermain imbang 2-2, skor pun berubah menjadi kekalahan setelah Mursyid mencetak gol dipenghujung pertandingan.
Vietnam memang bisa dihindari. Tapi, malu tak bisa ditolak. Sebab, bangsa ini tercatat pernah memainkan sepak bola gajah. Yang lebih menyayat hati lagi, di akhir turnamen itu malah Singapura-tim yang disepelekan itu-yang menjadi juara. Hati masyarakat pun hancur. Begitupula dengan Mursyid. ”Sebab, orang-orang itu yang berjanji membela saya malah menuduh saya menerima suap,” ungkap Mursyid. Dan beban sejarah kelam itupun akan terus melekat dihidupnya.
Kesalahan itu tak selayaknya diulangi. Dan tak sepantasnya masyarakat kembali dilukai hatinya. Masyarakat sudah sangat rindu. Dahaga mereka sudah tak tertahankan. Sudah 21 tahun masyarakat menanti. Sejak terakhir kali Merah Putih berkibar tinggi di arena SEA Games 1991. Waktu penantian yang jelas tak pendek.
Apalagi, dalam penantian itu, celakanya seringkali kita terlalu sombong dengan mengganggap besar dan penting. Bahkan, acapkali kita sudah merasa seperti juara ketika kita baru sebatas meraih tiket final. Padahal, kita sudah semakin tertinggal.
Kini gelaran Piala AFF sudah di depan mata lagi. Jangan ada lagi kesalahan. Juga kesombongan. Selamat berjuang Pasukan Garuda. Seperti kata Nil Maizar bermainlah dengan hati. Hiraukan hiruk-pikuk orang-orang yang mengaku memahami sepak bola. Sebab, penantian panjang ini harus segera diakhiri.
Read More..
12 November 2012
Langganan:
Postingan (Atom)