Ketika mimpi menjadi kontestan Piala Dunia belum terwujud, PSSI mengejar mimpi yang lain. Begitulah yang tersurat dari berita yang dilansir kantor berita Reuters pada 28 Januari. Dalam beritanya, Indonesia disebut mencalonkan diri sebagai tuan rumah Piala Dunia 2018 dan 2022. Indonesia mencalonkan diri bersama lima calon lainnya seperti Inggris, Jepang, Qatar, Rusia, dan duet Spanyol-Portugal.
Mimpi yang kelewat batas tentunya. Betapa tidak, untuk menjadi tuan rumah Piala Dunia tentu bukan perkara gampang. Ada banyak hal yang harus disiapkan. Bukan hanya tim. Tapi, juga sarana dan prasarana seperti stadion, transportasi, atau hotel. Bahkan, untuk stadion saja, Piala Dunia membutuhkan 12 biji.
”Orang pasti memanggap ini sebagai mimpi belaka. Tapi, hidup kan dibangun dari mimpi. Lagipula, waktu persiapan kita cukup panjang,” kata Nugraha Besoes, sekretaris jenderal PSSI, kepada saya beberapa saat setelah Reuters melansir berita pencalonan diri Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia 2018-2022.
Memang PSSI berhak bermimpi. Memang waktu persiapan yang dimiliki PSSI juga panjang, 9 dan 13 tahun. Tapi, setidaknya PSSI realistis dengan mimpinya. Untuk memenuhi segala prasyarat menjadi tuan rumah Piala Dunia tidak sekedar butuh tekad. Tapi butuh pemikiran matang. Dan tentunya saja uang yang tidak sedikit. Jumlahnya triliunan. Sanggupkan PSSI menyediakan itu?
Saya jelas pesimis. Publik pun pasti pesimis. Bayangkan, menggelar even Piala Kemerdekaan 2008 dan Piala AFF U-16 (juga tahun 2008) saja PSSI menyisakan banyak masalah. Hutang kepada pihak hotel, penyewaan bus dan mobil, bahkan juga berhutang ke tukang cuci pakaian. Jadi, bagaimana mungkin mereka menggelar Piala Dunia. Padahal, perbedaan level Piala Kemerdekaan dengan Piala Dunia ibarat langit dengan bumi.
Yang lebih membuat kita tidak percaya adalah masih carut-marutnya kondisi sepak bola Indonesia sendiri. Contoh carut-marut itu seperti yang baru saja terjadi pada pertengahan Januari ini. Nurdin Halid dengan seenaknya sendiri melakukan pemutihan hukuman pemain maupun offisial tim. Tak kurang dari lima orang yang mendapat pemutihan. Dan pemberian remisi itu dilakukan diam-diam.
Publik baru mengetahui setelah kembali aktifnya Yoyok Sukawi. Yoyok terlihat mendampingi timnya, PSIS Semarang saat pertandingan pertama babak 24 besar Copa Indonesia melawan Persitara Jakarta Utara di Stadion Jatidiri, Semarang pada 15 Januari. Kehadiran general manajer PSIS itu jelas membuat publik bertanya-tanya. Sebab, pemilik nama lengkap Alamsyah Satyanegara Sukawijaya baru dua bulan menjalani hukuman.
Pada pertengahan Oktober 2008, Yoyok divonis komisi disiplin (Komdis) PSSI enam bulan. Yoyok diskor karena dinilai mengintimidasi wasit. Yoyok lantas banding. Namun, oleh komisi banding, bukan keringanan yang didapat. Tapi, Yoyok justru diskorsing satu tahun. ”Dia masih berstatus terhukum. Namun, dia bisa beraktivitas kembali,” kata Nurdin ketika saya menkonfirmasinya Jumat 30 Januari lalu.
Belum hilang keterkejutan akan kembalinya Yoyok, publik kembali mendapat kejutan lain pada 25 Januari. Tepatnya saat pertandingan Divisi Utama antara Gresik United melawan PSIR Rembang. Dalam laga tersebut, PSIR memainkan Geri Mandagi yang oleh Komdis diskorsing dua tahun.
PSIR berdalih bahwa Geri sudah bebas. Mereka juga menyebut mengantongi surat pembebasan dari PSSI. Bahkan, dalam surat yang diterima PSIR, disebut pula nama Stanly Katuuk yang dibebaskan. Baik Geri maupun Stanly sama sama-sama diskorsing dua tahun akibat melakukan pengeroyokan wasit saat PSIR bertandang ke Persibom Boloang Mongondow (12/11/2008). Karena adanya surat pembebasan itu, PSIR berani memainkan Geri.
Nah, pada waktu yang hampir bersamaan, berita pembebasan pemain hukuman juga dilansir Arema Malang. Manajemen Singo Edan-julukan Arema-menyebut bahwa kiper mereka Kurnia Meiga yang diskorsing enam bulan oleh komisi banding, sudah bisa dimainkan kembali. Meiga sendiri sudah merumput di kompetisi resmi pada 2 Februari kemarin. Saat Arema menjamu Persik Kediri.
Kejutan lain datang dari Christian Gonzalez. Striker asal Uruguay membubuhkan tanda tangan kontrak dengan Persib Bandung pada Jumat 30 Januaru. Kerjasama itu terjalin, lantaran Gonzalez sudah bebas dari hukuman. ”Alhamdulillah, keajaiban datang. Tadi malam (29/1) saya dapat surat dari Pak Haruna (Soemitro) dan Pak Iwan (Boedianto),” aku Eva Siregar, istri Gonzalez.
Isi surat itu menyebutkan kalau Gonzalez bisa bermain. ”Dia (Gonzalez, red) memang sudah bisa bermain,” ujar Nurdin. Lho kok? Bukannya Gonzalez diskorsing satu tahun. Hukuman itu dijatuhkan Komdis pada November tahun lalu. Skorsing itu diberikan lantaran Gonzalez dinilai melakukan pemukulan terhadap pemain PSMS Erwinsyah Hasibuan ketika Persik menjamu PSMS.
”Mereka mendapat peninjau kembali. Tapi, bentuk hukumannya seperti apa saya tidak hafal. Lihat saja di kode disiplin PSSI,” dalih Nurdin. Ini jelas janggal. Masak dengan keputusannya sendiri tidak ingat.
Yang lebih membuat janggal, ternyata putusan Nurdin melanggar kode disiplin PSSI. Sesuai pasal 149 ayat 3 kode disiplin disebutkan bahwa jika peninjauan kembali oleh ketua umum PSSI hanya berlaku untuk pihak yang sanksinya lim tahun ke atas. Nah, dari lima orang yang mendapat pemutihan, hukuman mereka semua kurang dari lima tahun. Apa namanya kalau bukan keputusan kontroversi?
Pun demikian halnya dengan keputusan mengajukan diri sebagai tuan rumah Piala Dunia 2018 dan 2022. Semua ini hanya sebuah kontroversi. Keputusan itu sengaja dibuat tidak lebih hanya untuk kepentingan sendiri. Keputusan itu dibuat untuk menarik simpati pengelola sepak bola Indonesia agar tetap mendukung Nurdin memimpin PSSI.
Ingat tahun ini PSSI harus melakukan pemilihan ulang kepengurusan. Hal itu seperti ditegaskan FIFA. Bahwa PSSI harus melakukan pemilihan ulang lantaran FIFA tidak mengakui keabsahaan hasil musyawarah nasional (Munas) PSSI di Makassar pada April 2007.
Benar-benar sikap yang kelewat batas. Sudah tuan-tuan lebih baik tinggalkan saja Senayan dan tidur nyenyak di rumah. Biarlah orang lain yang lebih sehat yang mengendalikan roda organisasi sepak bola Indonesia. Toh, di tangan kalian, prestasi sepak bola Indonesia tetap kering. Yang ada justru kontroversi, kontroversi, dan kontroversi. Di tangan kalian yang terjadi malah inkonsistensi, inkosistensi, dan inkonsistensi lagi.
Read More..
03 Februari 2009
Dia Tetap Berlari Kencang
Rambutnya sudah memutih. Kerutan juga sudah banyak menghiasi wajahnya. Sedikit tanda bahwa lelaki itu sudah tua. Risdianto lelaki tersebut. Risdianto adalah striker tim nasional pada era 70-an. Ris-begitu dia akrab disapa-memang sudah tidak muda lagi. 3 Januari lalu, Risdianto genap 59 tahun.
Kendati sudah tua, tapi semangat dan energinya masih nampak seperti masa mudanya dulu. Apalagi, jika bersinggungan dengan sepak bola. Risdianto tidak pernah kehilangan antusiamenya. Bahkan, Risdianto juga tetap mampu berlari kencang untuk sepak bola Indonesia. ”Sepak bola sudah menjadi hidup saya. Tidak mungkin saya meninggalkannya,” katanya.
Semasa bermain, selain cerdik, Risdianto memang dikenal sebagai striker yang memiliki kecepatan. Hanya saja, Gayeng-begitu para sahabatnya memanggilnya-kini sudah tidak lagi berlari kencang di atas lapangan. Sebab, sejak 1983 silam, striker terbaik yang pernah dimiliki Indonesia itu telah gantung sepatu. Warna Agung menjadi klub terakhir yang dibelanya.
Risdianto kini hanya bisa berlari kencang di pinggir lapangan. Yang dikejarnya pun bukan lagi bola. Namun, para pemain muda. Untuk itu, dia bukan sekedar menjejak lapangan seluas 110x65 centimeter. Risdianto kini harus menjejak ke satu daerah, lantas pindah ke daerah lain. Pergi menyambangi Pulau Sumatra, lalu berkeliling tanah Jawa. Singgah ke Sulawesi, lalu ”berlari” ke Papua. ”Kalau mau sepak bola kita kembali berjaya, kita memang harus ngopeni pembinaan pemain usia muda,” sebutnya.
Bergumul dengan pemain belia. Itulah yang kini dilakoni legenda sepak bola Indonesia asal Pasuruan tersebut. Risdianto benar-benar mencurahkan konsentrasinya ke pembinaan pemain muda. Apalagi, dia juga dipercaya mengisi posisi tim monitoring di Badan Tim Nasional (BTN).
Karenanya, Risdianto pun semakin getol berlari ke beberapa daerah. Tak sekedar lari tentunya. Tapi, berlari dengan kencang. Larinya itupun bukan sekedar memantau bibit-bibit muda untuk dimasukkan ke tim nasional. Namun, Risdianto juga ikut ”menggerakkan” roda kompetisi antarpemain muda.
Nah, untuk dua hal itu, Risdianto seperti memiliki energi berlebih. ”Untuk hal ini saya benar-benar terdorong dan banyak belajar dari alamarhum (Ronny Pattinasarany),” aku pria yang pernah bermain untuk klub Hongkong Mackinnons FC (1974-1975) tersebut.
Selain itu, tentu saja energinya juga terbangun karena kecintaannya kepada sepak bola. Seperti yang dibilang Risdianto, karena sepak bola sudah menjadi bagian hidupnya, maka dia tidak mungkin meninggalkannya. Kecintaannya itupula yang kini membuat tetap tegar menjalankan tugasnya. Meski, Risdianto kini harus bekerja sendirian.
Dua patner kerjanya-Iswadi Idris dan Ronny Pattinasarany-telah berpulang tahun lalu. ”Saya seorang striker. Jadi, saya tidak harus menjadi cenggeng dengan situasi ini. Saya harus tetap bekerja untuk mencetak gol,” tegasnya.
Risdianto memang tetap harus berlari kencang. Sebab, sepak bola Indonesia masih tetap pacaklik prestasi selepas 1991. ”Saya sudah terbiasa dengan keadaan penuh tekanan. Saya memang tidak boleh berhenti,” ujarnya.
Tetap berlari kencang Pak Ris. Jika dulu dengan lari kencang itu Anda mampu mengukir gol. Semoga lari Anda kali ini mampu menghasilkan tunas-tunas baru yang akan mengentas sepak bola Indonesia dari paceklik prestasi. Read More..
Kendati sudah tua, tapi semangat dan energinya masih nampak seperti masa mudanya dulu. Apalagi, jika bersinggungan dengan sepak bola. Risdianto tidak pernah kehilangan antusiamenya. Bahkan, Risdianto juga tetap mampu berlari kencang untuk sepak bola Indonesia. ”Sepak bola sudah menjadi hidup saya. Tidak mungkin saya meninggalkannya,” katanya.
Semasa bermain, selain cerdik, Risdianto memang dikenal sebagai striker yang memiliki kecepatan. Hanya saja, Gayeng-begitu para sahabatnya memanggilnya-kini sudah tidak lagi berlari kencang di atas lapangan. Sebab, sejak 1983 silam, striker terbaik yang pernah dimiliki Indonesia itu telah gantung sepatu. Warna Agung menjadi klub terakhir yang dibelanya.
Risdianto kini hanya bisa berlari kencang di pinggir lapangan. Yang dikejarnya pun bukan lagi bola. Namun, para pemain muda. Untuk itu, dia bukan sekedar menjejak lapangan seluas 110x65 centimeter. Risdianto kini harus menjejak ke satu daerah, lantas pindah ke daerah lain. Pergi menyambangi Pulau Sumatra, lalu berkeliling tanah Jawa. Singgah ke Sulawesi, lalu ”berlari” ke Papua. ”Kalau mau sepak bola kita kembali berjaya, kita memang harus ngopeni pembinaan pemain usia muda,” sebutnya.
Bergumul dengan pemain belia. Itulah yang kini dilakoni legenda sepak bola Indonesia asal Pasuruan tersebut. Risdianto benar-benar mencurahkan konsentrasinya ke pembinaan pemain muda. Apalagi, dia juga dipercaya mengisi posisi tim monitoring di Badan Tim Nasional (BTN).
Karenanya, Risdianto pun semakin getol berlari ke beberapa daerah. Tak sekedar lari tentunya. Tapi, berlari dengan kencang. Larinya itupun bukan sekedar memantau bibit-bibit muda untuk dimasukkan ke tim nasional. Namun, Risdianto juga ikut ”menggerakkan” roda kompetisi antarpemain muda.
Nah, untuk dua hal itu, Risdianto seperti memiliki energi berlebih. ”Untuk hal ini saya benar-benar terdorong dan banyak belajar dari alamarhum (Ronny Pattinasarany),” aku pria yang pernah bermain untuk klub Hongkong Mackinnons FC (1974-1975) tersebut.
Selain itu, tentu saja energinya juga terbangun karena kecintaannya kepada sepak bola. Seperti yang dibilang Risdianto, karena sepak bola sudah menjadi bagian hidupnya, maka dia tidak mungkin meninggalkannya. Kecintaannya itupula yang kini membuat tetap tegar menjalankan tugasnya. Meski, Risdianto kini harus bekerja sendirian.
Dua patner kerjanya-Iswadi Idris dan Ronny Pattinasarany-telah berpulang tahun lalu. ”Saya seorang striker. Jadi, saya tidak harus menjadi cenggeng dengan situasi ini. Saya harus tetap bekerja untuk mencetak gol,” tegasnya.
Risdianto memang tetap harus berlari kencang. Sebab, sepak bola Indonesia masih tetap pacaklik prestasi selepas 1991. ”Saya sudah terbiasa dengan keadaan penuh tekanan. Saya memang tidak boleh berhenti,” ujarnya.
Tetap berlari kencang Pak Ris. Jika dulu dengan lari kencang itu Anda mampu mengukir gol. Semoga lari Anda kali ini mampu menghasilkan tunas-tunas baru yang akan mengentas sepak bola Indonesia dari paceklik prestasi. Read More..
Langganan:
Postingan (Atom)