Kisah pilu seringkali terdengar dari para mantan atlet di masa senjanya. Bahkan, cerita itu begitu dominan. Namun, itu bukan berarti cerita sukses dari atlet yang telah purnatugas nihil. Liem Siau Bok menjadi salah satu bagian kisah sukses tersebut.
Aroma bola voli sama sekali tidak terasa dalam ruang tamu pria itu. Kesan elegan yang lebih terasa. Nuansa itu timbul dari barang-barang yang menghiasi ruang tamu tersebut. Mulai dari sofa, karpet, hingga lukisan besar karya seorang pelukis Vietnam.
”Dunia saya sekarang memang berbeda dengan dahulu. Tapi, saya tetap tidak melupakan voli. Hanya saja sekarang saya sekedar menjadi penikmat voli,” tutur pria itu.
Pria itu adalah Liem Siau Bok. Namanya tercatat indah dalam sejarah panjang bola voli Indonesia. Pria kelahiran Jakarta 26 Desember 1956 itu pernah menjadi tulang punggung tim nasional (Timnas) bola voli Indonesia. Siau Bok berada di Timnas dari rentang waktu 1975 hingga 1987.
Di atas lapangan dia beroperasi sebagai spiker sekaligus quiker. Smash-smash tajamnya turut mengantarkan Indonesia merebut dua medali emas di arena SEA Games. Tepatnya pada SEA Games 1981 di Manila, Filipina dan SEA Games 1987 di Jakarta.
Siau Bok juga berperan positif dalam mendulang tiga medali perak di tiga edisi SEA Games lainnya. Masing-masing pada SEA Games 1979, 1983, dan 1985. Siau Bok pun pernah membawa Indonesia menempati posisi keenam Asian Games 1982 di New Delhi, India. Namanya pun masuk Hall Of Fame di Britama Arena Sports Mall, Kelapa Gading, Jakarta Utara.
”Tidak bisa dipungkiri kalau saya dibesarkan oleh voli. Namun, sejak memutuskan pensiun pada 1987 saya memutuskan memilih hidup di dunia yang berbeda,” kata Siau Bok.
Siau Bok memang tidak sepenuhnya langsung meninggalkan bola voli. Sebab, dia sempat belajar menjadi pelatih voli. Siau Bok juga pernah menjadi ketua liga profesional voli Indonesia atau yang akrab disebut Proliga.
Namun, selepas purnatugas sebagai atlet, hidup Siau Bok memang lebih banyak dihabiskan untuk berkecimpung di luar voli. Siau Bok lebih menekuni dunia bisnis dalam menyambung hidup. Pada tahun 1998, bersama dua sahabatnya, Helmi Yahya dan Jedi Suherman, dia mendirikan Triwarsana. Sebuah production house yang bergerak dalam industri kreatif.
Melalui Triwarsana, Siau Bok menelurkan beragam tayangan reality show di telivisi yang sebagian besar bermuatan amal. Seperti Bedah Rumah, Bedah Kampung, Nikah Gratis, Tolong, Uang Kaget, atau Lunas yang tayang di televisi nasional.
”Saya menekuni bisnis ini seperti air mengalir. Ini semua berawal dari keinginan Jedi (Suherman) untuk menjadikan saya manajer Joshua. Lalu saya menyarankan untuk memakai Helmi (Yahya). Dari situ lalu berkembang seperti sekarang,” ungkap Siau Bok.
Siau Bok menceritakan awalnya dia dan dua patnernya itu membuat acara Joshua di Indosiar. Kemudian membuat acara Asal yang dibawakan (alm) Taufik Savalas. Kemudian menelurkan Mimpi Kali Yee yang dipandu Dewi Hughes.
”Mulai program Mimpi Kali Yee kami memakai nama Triwarsana. Sebelumnya Joshua Enterprise, lalu berganti Helmi Yahya Production,” papar Siau Bok.
Nah, setelah Mimpi Kali Yee mulainya menggelinding program-program lainnya. Tak kurang dari sepuluh acara telah ditelurkan Siau Bok bersama bendera Triwarsana. Selain itu, kerja di Triwarsana juga hanya dikendalikan berdua dengan Helmi saja. Jedi ”terpaksa” ditinggal karena sesuatu hal.
Dalam memproduksi program-programnya, Siau Bok akhirnya lebih memilih untuk yang bermuatan amal. ”Dalam reality show itu hanya ada dua. Pertama, menolong orang dan kedua mengerjai orang. Kami akhirnya memutuskan memperbanyak pilihan pertama,” ujar Siau Bok.
Pilihan itu lebih dikedepankan karena Siau Bok menyadari bahwa masyarakat Indonesia masih banyak yang membutuhkan. Dia tahu bahwa tidak sedikit masyarakat Indonesia yang masih perlu ditolong.
Siau Bok sadar kalau program yang dibuatkan tidak bisa membantu seluruh masyarakat. Namun, lewat programnya, Siau Bok ingin memberi umpan yang lain agar tergerak atau terpicu untuk turut membantu masyarakat yang masih perlu ditolong.
”Posisi saya hanyalah pengumpan. Ini hanyalah satu titik. Hal besar yang kami inginkan adalah agar orang lain tergerak, tergugah, dan bersemangat untuk menolong,” sebut Siau Bok.
Read More..
27 Agustus 2009
17 Agustus 2009
Susi Susanti, Membina Bulu Tangkis dari Balik Layar
Susi Susanti begitu lekat dengan bulu tangkis. Bagi wanita asal tasikmalaya, Jawa Barat itu, bulu tangkis telah menjadi hidup dan kehidupannya. Karena itu, perjalanan hidup Susi pun tidak bisa dilepaskan dari olahraga tepok bulu tersebut.
”Saya sudah berkenalan dengan bulu tangkis sejak usia tujuh tahun,” ujar Susi membuka pembicaraan.
Sebuah perkenalan yang tentu sangat dini. Jadi, sangat wajar, jika Susi akhirnya memandang bulu tangkis sebagai hidup dan kehidupannya. Atau istilah Susi, bulu tangkis sudah menjadi darah dan dagingnya. Apalagi, dari pertautannya dengan bulu tangkis Susi tidak sekedar mendapatkan materi.
Dari bulu tangkis, Susi dikenal publik. Dari bulu tangkis pula Susi mendapatkan pendamping hidup-Alan Budikusuma-yang menikahinya pada 9 Februari 1997. Lebih dari itu, dari bulu tangkis Susi juga mampu menghiasi perjalanan hidupnya dengan sederet prestasi hebat sekaligus mengharumkan nama Indonesia di dunia internasional.
Wanita yang lahir 11 Februari 1971 itu pernah menyabet gelar juara dunia pada 1993. Empat kali dia menjadi juara di kejuaraan bergengsi All England. Susi juga menjadi ujung tombak keberhasilan Indonesia meraih Piala Uber pada 1994 dan 1996.
Dan yang paling fenomenal tentu saja apa yang ditorehkan Susi pada Olimpiade 1992 yang berlangsung di Barcelona, Spanyol. Di arena multieven olahraga antar bangsa-bangsa itu Susi berhasil membuat lagu Indonesia Raya berkumandang. Ayunan raket Susi membuat bendera Merah Putih berkibar lebih tinggi dari bendera negara-negara lainnya.
Di Olimpiade 1992 itu Susi berhasil menyabet medali emas. Dan medali emas yang direbut Susi tersebut merupakan medali emas pertama yang diraih Indonesia di Olimpiade. ”Momen itu merupakan momen paling bersejarah bagi saya. Saya benar-benar bangga bisa mengharumkan nama bangsa melalui bulu tangkis,” sebut Susi.
Atas pencapaiannya tersebut pemerintah lantas memberikan tanda kehormataan berupa bintang jasa utama kepada Susi. ”Tapi apa yang saya raih ini tidaklah mudah. Butuh pengorbanan dan kerja ekstra,” kata wanita yang kini telah dikarunia tiga anak itu.
Untuk menjadi juara Susi memang mengorbankan banyak hal. Baik tenaga, waktu, dan masa remajanya. Demi menjadi juara, Susi sudah harus hidup terpisah dari kedua orang tuanya saat masih duduk di kelas 2 SMP. Dia hijrah dari kota kelahirannya ke Jakarta seorang diri. Sejak kepindahannya itu hari-hari Susi lebih banyak dihabiskan untuk berlatih.
Dua kali dalam sehari dari Senin hingga Sabtu Susi melahap menu latihan. Porsi latihan lebih berat dijalani ketika mempersiapkan diri ke Olimpiade 1992. Dia harus berlatih tiga kali sehari. Waktu latihan juga lebih panjang dari biasanya. ”Mengingat itu semuanya membuat saya tidak bisa meninggalkan bulu tangkis,” aku Susi.
Ya, meski sudah gantung raket sejak 1997, Susi tidak melupakan bulu tangkis. Susi tetap bersinggungan dengan bulu tangkis. Namun pertautannya kali ini dalam bentuk berbeda. Pasalnya, Susi sudah menegaskan diri tidak bakal menjadi pelatih. Baginya jalan menjadi pelatih belum bisa dijadikan sandaran hidup.
Bersama Alan, Susi menggeluti bisnis yang bersentuhan dengan bulu tangkis. Pada pertengahan 2002 silam, Susi dan Alan mendirikan Astec (Alan Susi Technology). Astec merupakan produsen peralatan bulu tangkis. ”Saya dan Alan memulai dari nol dalam membangun Astec. Dari Asteclah kini kami menyandarkan hidup,” ujar Susi.
”Meski sibuk berbisnis, tapi saya tetap tidak lupa untuk membantu pembinaan bulu tangkis Indonesia. Untuk hal ini saya memilih berada di balik layar saja,” imbuhnya.
Bersama sang suami, Susi mendirikan Olympic Badminton Hall di Kelapa Gading, Jakarta Utara. Tempat tersebut merupakan arena pemusatan latihan bagi para pebulu tangkis muda.
Usaha pembinaan yang dilakoni Susi dari balik layar juga dijalaninya dengan melakukan safari ke sekolah-sekolah. Lewat jalan tersebut Susi ingin memperkenalkan bulu tangkis kepada anak-anak.
Di samping itu, Susi juga menggelar turnamen bulu tangkis berlabel Astec Open yang sudah berlangsung lima tahun terakhir. Turnamen tersebut dikhusukan pada pebulu tangkis muda. Karenanya, dalam turnamen itu tidak dipertandingan kelas dewasa. Sebaliknya dalam Astec Open justru dimainkan kelas anak-anak usia 11 tahun ke bawah.
”Saya berharap dari usaha kami ini, semakin banyak bibit unggul. Sehingga, mereka nantinya bisa menjadi tumpuhan masa depan bulu tangkis Indonesia,” papar Susi. Read More..
”Saya sudah berkenalan dengan bulu tangkis sejak usia tujuh tahun,” ujar Susi membuka pembicaraan.
Sebuah perkenalan yang tentu sangat dini. Jadi, sangat wajar, jika Susi akhirnya memandang bulu tangkis sebagai hidup dan kehidupannya. Atau istilah Susi, bulu tangkis sudah menjadi darah dan dagingnya. Apalagi, dari pertautannya dengan bulu tangkis Susi tidak sekedar mendapatkan materi.
Dari bulu tangkis, Susi dikenal publik. Dari bulu tangkis pula Susi mendapatkan pendamping hidup-Alan Budikusuma-yang menikahinya pada 9 Februari 1997. Lebih dari itu, dari bulu tangkis Susi juga mampu menghiasi perjalanan hidupnya dengan sederet prestasi hebat sekaligus mengharumkan nama Indonesia di dunia internasional.
Wanita yang lahir 11 Februari 1971 itu pernah menyabet gelar juara dunia pada 1993. Empat kali dia menjadi juara di kejuaraan bergengsi All England. Susi juga menjadi ujung tombak keberhasilan Indonesia meraih Piala Uber pada 1994 dan 1996.
Dan yang paling fenomenal tentu saja apa yang ditorehkan Susi pada Olimpiade 1992 yang berlangsung di Barcelona, Spanyol. Di arena multieven olahraga antar bangsa-bangsa itu Susi berhasil membuat lagu Indonesia Raya berkumandang. Ayunan raket Susi membuat bendera Merah Putih berkibar lebih tinggi dari bendera negara-negara lainnya.
Di Olimpiade 1992 itu Susi berhasil menyabet medali emas. Dan medali emas yang direbut Susi tersebut merupakan medali emas pertama yang diraih Indonesia di Olimpiade. ”Momen itu merupakan momen paling bersejarah bagi saya. Saya benar-benar bangga bisa mengharumkan nama bangsa melalui bulu tangkis,” sebut Susi.
Atas pencapaiannya tersebut pemerintah lantas memberikan tanda kehormataan berupa bintang jasa utama kepada Susi. ”Tapi apa yang saya raih ini tidaklah mudah. Butuh pengorbanan dan kerja ekstra,” kata wanita yang kini telah dikarunia tiga anak itu.
Untuk menjadi juara Susi memang mengorbankan banyak hal. Baik tenaga, waktu, dan masa remajanya. Demi menjadi juara, Susi sudah harus hidup terpisah dari kedua orang tuanya saat masih duduk di kelas 2 SMP. Dia hijrah dari kota kelahirannya ke Jakarta seorang diri. Sejak kepindahannya itu hari-hari Susi lebih banyak dihabiskan untuk berlatih.
Dua kali dalam sehari dari Senin hingga Sabtu Susi melahap menu latihan. Porsi latihan lebih berat dijalani ketika mempersiapkan diri ke Olimpiade 1992. Dia harus berlatih tiga kali sehari. Waktu latihan juga lebih panjang dari biasanya. ”Mengingat itu semuanya membuat saya tidak bisa meninggalkan bulu tangkis,” aku Susi.
Ya, meski sudah gantung raket sejak 1997, Susi tidak melupakan bulu tangkis. Susi tetap bersinggungan dengan bulu tangkis. Namun pertautannya kali ini dalam bentuk berbeda. Pasalnya, Susi sudah menegaskan diri tidak bakal menjadi pelatih. Baginya jalan menjadi pelatih belum bisa dijadikan sandaran hidup.
Bersama Alan, Susi menggeluti bisnis yang bersentuhan dengan bulu tangkis. Pada pertengahan 2002 silam, Susi dan Alan mendirikan Astec (Alan Susi Technology). Astec merupakan produsen peralatan bulu tangkis. ”Saya dan Alan memulai dari nol dalam membangun Astec. Dari Asteclah kini kami menyandarkan hidup,” ujar Susi.
”Meski sibuk berbisnis, tapi saya tetap tidak lupa untuk membantu pembinaan bulu tangkis Indonesia. Untuk hal ini saya memilih berada di balik layar saja,” imbuhnya.
Bersama sang suami, Susi mendirikan Olympic Badminton Hall di Kelapa Gading, Jakarta Utara. Tempat tersebut merupakan arena pemusatan latihan bagi para pebulu tangkis muda.
Usaha pembinaan yang dilakoni Susi dari balik layar juga dijalaninya dengan melakukan safari ke sekolah-sekolah. Lewat jalan tersebut Susi ingin memperkenalkan bulu tangkis kepada anak-anak.
Di samping itu, Susi juga menggelar turnamen bulu tangkis berlabel Astec Open yang sudah berlangsung lima tahun terakhir. Turnamen tersebut dikhusukan pada pebulu tangkis muda. Karenanya, dalam turnamen itu tidak dipertandingan kelas dewasa. Sebaliknya dalam Astec Open justru dimainkan kelas anak-anak usia 11 tahun ke bawah.
”Saya berharap dari usaha kami ini, semakin banyak bibit unggul. Sehingga, mereka nantinya bisa menjadi tumpuhan masa depan bulu tangkis Indonesia,” papar Susi. Read More..
Langganan:
Postingan (Atom)