Tak ada yang berbeda dengan menu makanan di Rumah Makan Pojok II Perak, Jombang, siang itu. Menunya sama seperti biasanya: sayur asem, sayur lodeh, soto, rawon, pecel, sop buntut, kare, dan gule kambing. Juga pecel lele, ayam goreng, dan gurami.
Siang itu, Kamis, 5 Agustus 2010. Dan para pemain Persebaya Surabaya pun memesan makanan seperti biasanya. Sebab, Rumah Makan Pojok II Perak, Jombang memang sering menjadi jujukan pemain-pemain Persebaya. Tapi, saat hidangan sudah di meja, mereka tak terlalu lahap menyantapnya. Selera mereka tak seperti biasanya.
Telepon dari Kediri yang membuat mereka menjadi tak lagi antusias menyantap makanan. Machrus Afif yang berada di seberang telepon mengabarkan kalau pertandingan melawan Persik Kediri di Stadion Brawijaya, Kediri, tidak jadi digelar.
”Semangat kami langsung turun dan ada rasa cemas yang berkecamuk di dalam diri kami,” kata Mat Halil, bek kiri Persebaya yang ada dalam rombongan makan siang itu.
Read More..
27 Februari 2020
18 Februari 2020
Nasi Bungkus dan Air Mineral Jadi Jalan Pembuka
"Namanya luka tentu tidak boleh dibiarkan. Harus diobati,” kata Verdi Aprista. Keyakinan itu dipegang Verdi dan kawan-kawannya di Curva Boys 1967. Keyakinan itu pula yang menggerakkan ratusan anggota salah satu kelompok suporter Persela Lamongan tersebut ke Stasiun Babat yang berada di ujung barat Lamongan pada suatu petang 1 Agustus 2016.
Kebetulan petang itu kereta yang ditumpangi ratusan Bonek bakal melintas. Dan sebelum melanjutkan perjalanan ke Jakarta, kereta akan berhenti sejenak di Stasiun Babat. Curva Boys melihat ada kesempatan di sana. Kesempatan untuk mengobati luka yang sudah bertahun-tahun bersemayam di hati pendukung Persela dan Persebaya Surabaya.
Maka disiapkanlah nasi bungkus dan air mineral. Nasi dan air mineral itu lantas dibawa ke stasiun. Nasi dan air tersebut oleh perwakilan Curva Boys kemudian dibagikan kepada ratusan Bonek yang ada di gerbong kereta. Di depan pintu masuk stasiun, ratusan anggota Curva Boys melantunkan nyanyian penyemangat untuk Bonek. Read More..
Kebetulan petang itu kereta yang ditumpangi ratusan Bonek bakal melintas. Dan sebelum melanjutkan perjalanan ke Jakarta, kereta akan berhenti sejenak di Stasiun Babat. Curva Boys melihat ada kesempatan di sana. Kesempatan untuk mengobati luka yang sudah bertahun-tahun bersemayam di hati pendukung Persela dan Persebaya Surabaya.
Maka disiapkanlah nasi bungkus dan air mineral. Nasi dan air mineral itu lantas dibawa ke stasiun. Nasi dan air tersebut oleh perwakilan Curva Boys kemudian dibagikan kepada ratusan Bonek yang ada di gerbong kereta. Di depan pintu masuk stasiun, ratusan anggota Curva Boys melantunkan nyanyian penyemangat untuk Bonek. Read More..
17 Februari 2020
Anak-anak Surabaya Berkostum Malang
Anak-anak itu lahir di Surabaya. Juga tumbuh di Surabaya. Orang tua mereka adalah penggemar sekaligus pendukung Persebaya Surabaya. Kota dan kesebelasan yang selalu berada di seberang mata serta hati arek-arek Malang.
Sebagian dari mereka lahir dan tumbuh di Sidoarjo. Seperti anak-anak Surabaya itu, orang tua mereka juga penggemar Persebaya. Dan semua pun tahu kalau pendukung Persebaya tidak pernah dan tidak akan pernah menyukai Arema Malang.
Di luar itu, juga ada anak-anak dari Mojokerto dan Kediri. Secara kultur, dua kota terakhir itupun menjadikan Surabaya sebagai kiblat sepak bola-nya. Total ada 12 anak. Usia mereka 10 sampai 12 tahun.
Tapi, cinta, mimpi, dan kepolosaan anak-anak itu berhasil menepikan semua kebencian yang tertanam di generasi sebelum mereka. Karena cinta mereka yang begitu meluap kepada sepak bola. Lantaran letupan mimpi menjadi pesepak bola, anak-anak itu melangkah ke Malang awal 2015 lalu. Berkostum Malang. Atau lebih tepatnya berseragam Sekolah Sepak Bola (SBB) Banteng Muda. Read More..
Sebagian dari mereka lahir dan tumbuh di Sidoarjo. Seperti anak-anak Surabaya itu, orang tua mereka juga penggemar Persebaya. Dan semua pun tahu kalau pendukung Persebaya tidak pernah dan tidak akan pernah menyukai Arema Malang.
Di luar itu, juga ada anak-anak dari Mojokerto dan Kediri. Secara kultur, dua kota terakhir itupun menjadikan Surabaya sebagai kiblat sepak bola-nya. Total ada 12 anak. Usia mereka 10 sampai 12 tahun.
Tapi, cinta, mimpi, dan kepolosaan anak-anak itu berhasil menepikan semua kebencian yang tertanam di generasi sebelum mereka. Karena cinta mereka yang begitu meluap kepada sepak bola. Lantaran letupan mimpi menjadi pesepak bola, anak-anak itu melangkah ke Malang awal 2015 lalu. Berkostum Malang. Atau lebih tepatnya berseragam Sekolah Sepak Bola (SBB) Banteng Muda. Read More..
Langganan:
Postingan (Atom)