"SAYA tidak pernah ragu mengatakan jika saya adalah generasi yang gagal kalau sampai saya pensiun dan tetap tidak mampu mempersembahkan satu gelar pun buat Indonesia,” kata Bambang Pamungkas ketika kami bertemu di Solo pertengahan Agustus 2011.
Dan ketika Bambang mengumumkan pensiun dari tim nasional pada 1 April 2013, tak ada gelar juara yang bisa dia persembahkan untuk Indonesia. Bahkan, sampai Bepe -begitu dia akrab disapa- memutuskan gantung sepatu pada 17 Desember 2019, Indonesia tetap belum mampu meraih gelar di lapangan hijau lagi setelah merengkuh medali emas SEA Games 1991.
Sejatinya ada satu gelar yang berhasil diraih Bambang saat berseragam tim nasional. Indonesia pernah juara Piala Kemerdekaan 2008. Bambang menjadi bagian tim nasional saat itu. Hanya saja gelar juara itu direngkuh Indonesia dengan cara yang tak lazim. Libya yang menjadi lawan Indonesia di partai final saat itu memutuskan mundur pada babak kedua. Libya mundur karena merasa terancam setelah pelatihnya mengaku dipukul official tim nasional Indonesia di lorong menuju ruang ganti Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta, saat jeda pertandingan.
Gelar Piala Kemerdekaan tersebut pun sepertinya tak pernah dianggap ada oleh publik bola tanah air. Bambang sendiri sepertinya juga ”melupakan” gelar itu. Kala mengumumkan pensiun dari tim nasional, pria asal Getas, Semarang tersebut menulis jika dirinya adalah generasi yang gagal. Sebab, Bambang harus meninggalkan tim nasional tanpa mampu mempersembahkan gelar bergengsi.
Sejak berkostum tim nasional pada 1999 silam, prestasi tertingginya ”hanya” membawa Indonesia duduk di posisi kedua Piala Tiger (kini bernama Piala AFF) edisi 2002. Juga runner up Piala AFF 2010.
Memang tak ada gelar bergengsi yang mampu dipersembahkan Bambang untuk Indonesia. Tapi, bagi saya, sekali lagi bagi saya, Bambang bukanlah generasi yang gagal. Dia memang tak memberikan gelar juara, namun pria kelahiran 10 Juni 1980 itu telah memberikan begitu banyak pelajaran berharga untuk sepak bola Indonesia.
Read More..
22 Mei 2020
15 Mei 2020
Tak Ada Pengalungan Medali untuk Petro
Petrokimia Putra Gresik terlahir sepertinya tak pernah dikehendaki menjadi juara. Tentu bukan oleh pengurusnya. Sebab, mereka melahirkan Petro bukan sekadar untuk ikut berkompetisi. Tapi, juga menginginkan prestasi.
Bukan pula oleh masyarakat Gresik. Masyarakat kota Pudak justru ingin melihat Petro mampu mengangkat nama kota Gresik di pentas sepak bola nasional. Karena itu pula, terlahir Ultrasmania. Kelompok suporter yang menjadi penyokong Petro. Kelompok suporter yang selalu memadati Stadion Tri Dharma, Gresik, kala Kebo Giras -julukan Petro- memainkan laga di stadion tersebut. Karena keinginan melihat Petro mengharumkan nama Gresik itu pula, mereka berbondong-bondong ke Senayan, Jakarta, ketika Widodo C. Putro dan kawan-kawan tampil di partai final Liga Indonesia pada musim 1994/1995 dan 2002.
Orang-orang di induk organisasi sepak bola nasional-lah yang tak menginginkannya. Tuduhan yang berlebihan. Boleh saja dipandang seperti itu. Tapi, perjalanan Petro dalam dua pertandingan puncak Liga Indonesia bisa menjadi gambarannya. Read More..
Bukan pula oleh masyarakat Gresik. Masyarakat kota Pudak justru ingin melihat Petro mampu mengangkat nama kota Gresik di pentas sepak bola nasional. Karena itu pula, terlahir Ultrasmania. Kelompok suporter yang menjadi penyokong Petro. Kelompok suporter yang selalu memadati Stadion Tri Dharma, Gresik, kala Kebo Giras -julukan Petro- memainkan laga di stadion tersebut. Karena keinginan melihat Petro mengharumkan nama Gresik itu pula, mereka berbondong-bondong ke Senayan, Jakarta, ketika Widodo C. Putro dan kawan-kawan tampil di partai final Liga Indonesia pada musim 1994/1995 dan 2002.
Orang-orang di induk organisasi sepak bola nasional-lah yang tak menginginkannya. Tuduhan yang berlebihan. Boleh saja dipandang seperti itu. Tapi, perjalanan Petro dalam dua pertandingan puncak Liga Indonesia bisa menjadi gambarannya. Read More..
Langganan:
Postingan (Atom)