Ajine rogo soko busono. Wibawa sesorang datang penampilannya. Falsafah Jawa itu begitu agung dan diagungkan. Masih banyak diantara kita yang sering memandang sesama dari cara berpakaiannya. Mereka yang rapi begitu dihormati. Senantiasa didahulukan. Bahkan, diagungkan.
Hal sebaliknya berlaku bagi yang tak rapi-lebih-lebih mereka yang berambut gondorong. Pandangan penuh curiga acapkali dialamatkan kepada mereka. Label urakan disematkan. Bahkan, seringkali mereka yang berambut gondrong tak diberi tempat.
Di lapangan hijau, cerita tentang itu pernah terjadi. Daniel Passarella menjadi lakonnya. Kala memimpin Argentina berlaga di Piala Dunia 1998, dia membuat keputusan yang mencemaskan publik negeri paling selatan di Amerika Latin tersebut. Passarella memutuskan tidak akan membawa pemain-pemain berambut gondrong ke Prancis.
Sontak, suara sumbang berdatangan dari seantero Argentina. Mereka cemas tim Tango tak bakal berbuat banyak di Prancis. Kecemasan yang wajar. Pasalnya, kala itu talenta-talenta terbaik justru banyak yang berambut gondrong.
Sebut saja striker sarat pengalaman Claudio Caniggia. Adapula salah satu gelandang bertahan terbaik dunia Fernando Redondo yang baru saja mengantarkan Real Madrid bertahta di Liga Champions. Atau striker yang sedang bersinar, bukan saja di Serie A, tapi juga di Eropa-Gabriel Omar Batistuta. Nama yang sudah dianggap Dewa oleh suporter Fiorentina.
Kendati begitu, Passarella bertahan. Dia bersikukuh tidak memberi tempat pada pemain-pemain gondrong di tim asuhannya. Batistuta akhirnya mengalah. Batigol memotong rambutnya. Passarella pun membalas dengan manis. Garansi tempat utama diberikan kepada Batigol. Tak hanya itu ban kapten pun disematkan di bahunya.
Hal berbeda ditunjukkan Redondo. Gelandang kidal itu membiarkan rambutnya panjang. Meski Redondo tahu konsekuensinya-tidak akan berlaga di Piala Dunia 1998. ”Bukannya saya tidak cinta Argentina. Tapi, apakah yang berhak membela Argentina hanya pemain-pemain yang berambut rapi,” tanya pemain sempat berkostum AC Milan itu.
Kata-kata yang meluncur dari mulut Redondo, bukan hanya sekedar pertanyaan. Itu juga sikap. Bukan saja ditujukan kepada Passarella dan Argentina semata. Tapi juga kepada dunia. Dengan pertanyaan itu, Redondo ingin menegaskan bahwa semua manusia punya hak yang sama membela negaranya. Apalagi dalam hal sepak bola. Kualitaslah yang menjadi ukuran. Bukan soal penampilan rambut.
Dan pertanyaan Redondo itu sepertinya menjadi benar. Tatkala, dengan pemain-pemain berambut rapi, Argentina justru tidak banyak bicara di Prancis. Anak-anak negeri Pegunungan Andes itu sudah harus pulang sebelum final. Langkah Argentina hanya sampai perempatfinal. Belanda mengirim mereka pulang setelah membuat Argentina takluk 1-2.
Pertanyaan Redondo itu dan fakta di Prancis sontak menonjok muka Passarella. Bahwa mereka yang berambut gondrong tak seharusnya dipandang curiga. Toh, sejarah Argentina memberi gambaran indah akan sumbangsih mereka yang berambut gondrong. Kala Argentina kali pertama bersuka cita menjadi juara dunia pada 1978, tidak bisa dipungkiri kalau kunci sukses mereka adalah Mario Kempes. Seorang pemain yang berambut gondrong.
Selain Kempes, tentu masih ada banyak cerita apik lain dari pemain berambut gondrong. Piala Dunia 2006 misalnya. Pemain yang lahir dan besar di Argentina-Mauro Camoranessi-yang berambut gondrong menjadi bagian penting sukses Italia menahbiskan diri sebagai juara dunia untuk keempat kalinya.
Italia juga punya maestro sepak bola bernama Roberto Baggio. Pria asal Caldogno itupun masuk golongan mereka yang berambut gondrong. Sejak usia 21 tahun, Baggio membiarkan rambutnya berkucir bak ekor kuda. Meski berkucir, hati Baggio jauh lebih lembut dibanding Goerge Walter Bush yang senang mengirim tentaranya untuk berperang. Baggio juga jauh lebih bijak dari Benito Musollini yang selalu menindas.
Baggio yang lahir dari keluarga katolik taat, bahkan berani membuat keputusan penting di usia 21. Di usia yang terbilang sangat muda itu, Baggio memutuskan memeluk Budha. Pemain terbaik dunia 1993 tersebut bergabung dengan Soka Gokkai dan memegang teguh prinsip ajaran pendirinya Tsunesabaro Makiguchi.
Bahwasanya Baggio lebih menekankan ketajaman rasio daripda sekedar hafalan ”dan menekankan panggilan hati daripada ketaatan buta,”. Dengan prinsip itu, Baggio berlaku bijak di luar dan dalam lapangan. Dia pun begitu dihormati pendukung Fiorentina. Namanya juga tak akan pernah terhapus di salah sudut Delle Alpin-kandang Juventus. Baggio juga begitu dicintai pendukung Bologna, Brescia, dan tentu saja masyarakat Italia.
Cerita hebat tentang mereka yang berambut gondrong juga datang dari Kolombia. Hingga detik ini, belum ada pemain Kolombia yang mampu menyamai nama Carlos Valderama dan juga Rene Higuita. Dua nama itu telah banyak menginspirasi anak-anak muda Kolombia untuk bermain bola dan menjauhi narkotika. Mereka juga selalu mampu membuat publik Kolombia meninggalkan narkotika-entah sejenak atau selamanya-dan memilih datang ke stadion-tempat dimana Valderama dan Higuita bermain.
Afrika juga punya cerita dari Didier Drogba yang rambutnya juga tidak pendek. Ketika para politisi yang berpenampilan rapi tak kunjung mampu mendamaikan Pantai Gading, Drogba justru berhasil mengajak saudara-saudara meletakkan senjata. Pemain Chelsea itu mampu merangkul orang-orang selatan, utara, barat, timur, dan tengah untuk menjadi satu dibawah bendera Pantai Gading.
*******
Afrika Selatan 2010 kali ini pun menunjukkan kepada kita bahwa mereka yang berambut gondrong tak pantas untuk di pandang curiga. Drogba ada disana. Meski berbalut cedera, dia tetap merumput demi kebanggaan negerinya. Camoranesi juga masih ada di skuad Azzurri. Dia pun masih menjadi bagian penting juara dunia empat kali itu.
Di skuad Italia juga ada Riccardo Montolivo yang juga berambut gondrong. Perannya pun begitu penting bagi Italia. Gelandang asal Fiorentina itu begitu cekatan dalam mengalirkan bola pertama serangan Italia. Montolivo juga begitu sigap menjadi benteng pertama dalam meredam serangan-serangan lawan.
Argentina-negeri Passarella itu-juga membawa banyak pemain berambut gondrong. Bahkan, tempat utama tim Tanggo, separonya dipercayakan kepada mereka. Ada Jonas Guiterrez, Martin Demichelis, dan Sergio Romero. Di sana juga ada Gabriel Heinze yang melambung Argentina lewat sebiji golnya di partai perdana penyisihan grup B saat bertemu Nigeria. Argentina juga memberi kepercayaan kepada Carlos Tevez.
Negara-negara lain pun berangkat dengan membawa mereka yang berambut gondrong. Spanyol mengusung Carlos Puyol dan Sergio Ramos. Diego Forlan dan juga Edinson Cavani menjadi senjata utama Uruguay melewati fase penyisihan grup.
Meksiko mempercayai Giovanni Dos Santos dan Andres Guardado untuk membuat Prancis sebagai juara dunia yang angkat koper paling awal. Portugal memberi ruang kepada Pedro Mendez untuk menjadi jangkar lini tengah. Inggris memasang Glen Johnson serta David James di line up utama.
Dan mereka-jika dikonversikan ke dalam agama-tentu lebih pantas menghuni surga daripada orang-orang berpenampilan rapi, tapi senang memusuhi sesama dengan senjata. Mereka-pemain-pemain berambut gondrong-jauh lebih layak bersanding dengan bidadari daripada orang-orang berdasi yang suka memakan uang milik sesamanya. Sebab, mereka-pemain-pemain berambut gondrong itu-telah berbuat maksimal untuk kehormataan bangsanya.
Pemain-pemain berambut gondrong itu juga telah memberikan kebahagian bukan saja kepada orang-orang yang satu bendera. Mereka juga telah memberikan kebahagian kepada jutaan orang lainnya. Yang sangat mungkin di dalamnya adalah orang-orang yang tertindas, terlupakan, dan dikalahkan.
29 Juni 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
gondrong itu ada suka dukanya mas :D
namun bagi saya, gondrong itu tetap pilihan
jaman boleh berubah, namun pilihan saya tetap gondrong
Posting Komentar