03 Maret 2013

Bintang Sepak Bola itu Pemain dan Pelatih

Secara personal saya tidak mengenal Djohar Arifin Husin. Begitupula La Nyalla Mahmud Mattalitti. Saya hanya tahu sedikit tentang mereka dari media massa. Kendati begitu, saya percaya mereka orang-orang yang baik. Orang-orang yang mencintai sepak bola.

Kalau tidak baik, mana mungkin Djohar mau memimpin organisasi sepak bola nasional yang karut-marut. Sudah begitu, kering prestasi pula. Bukankah akan jauh lebih baik baginya untuk mengajar di kampus. Atau melakukan penelitian yang bisa memberi manfaat untuk masyarakat luas.

Jika tidak mencintainya, buat apa La Nyalla rela membangun komite penyelamat sepak bola Indonesia. Lalu kembali duduk di kursi eksekutif komite PSSI. Padahal, sepak bola negeri ini sulit menerbitkan keuntungan. Bukankah jauh lebih menyenangkan baginya untuk memperluas jaringan bisnisnya yang bisa menambah pundi-pundi uangnya.

Tapi sayangnya, cinta mereka terlalu meluap-luap. Sehingga logikanya ditanggalkan. Juga hatinya. Saking cintanya, mereka melupakan esensi sejati sepak bola : permainan di lapangan hijau. Saking baiknya, keduanya alpa bahwa bintang sepak bola itu adalah pemain dan pelatih. Bukan lainnya.

Mereka terlalu larut berebut panggung. Terlalu bising membanggakan diri sebagai yang terbaik. Juga yang paling benar. Dan terlalu bersemangat menggulirkan roda kompetisi tanpa mengindahkan orientasinya. Sehingga keduanya lupa pangkal dan ujungnya : pembinaan serta tim nasional.

Kompetisi yang bergulir-baik Indonesia Super League (ISL) maupun Indonesian Premier League (IPL)-tak ubahanya hiruk-pikuk belaka. Tanpa bobot. Sekedar sebagai arena suporter merayakan kegembiraannya terhadap klub yang dibelanya. Hanya menjadi tempat orang-orang politik melepaskan syahwat politiknya. Cuma menjadi alat merebut jalur menuju kursi kekuasaan.

Para pemain dan pelatih yang berkompetisi, yang berpeluh di lapangan, dianggap bak boneka. Dinilai tak memiliki hati, tak mempunyai rasa. Dipandang tak membutuhkan makan. Para pemain dan pelatih pun diperlakukan sekenanya. Pemain-pemain itu, juga para pelatih dibiarkan berkeringat tanpa dipenuhi haknya. Tidak hanya satu atau dua bulan. Tapi berbulan-bulan. Kalaupun ada yang dipenuhi haknya, itupun dengan cara saweran. Dibayar perpertandingan layaknya di turnamen antarkampung (tarkam).

”Mereka sejatinya mengajarkan kebaikan. Sebab, mereka membayar kami dengan pahala,” sindir seorang rekan pemain. Tragis. Apalagi, tragedi yang menyedihkan (yang juga memalukan) terjadi di lembaran sejarah sepak bola negeri ini : dua tenaga asing meninggal dalam kondisi gajinya diutang klub Indonesia. Setelah Diego Mendieta menyusul Miroslav Janu. Diego menutup mata dengan meninggalkan piutang dengan Persis Solo. Sedang Janu pergi diiringi masalahnya di Persela Lamongan.

Dalam situasi seperti itu, orang-orang yang baik dan mencintai sepak bola tersebut justru tak menerbitkan izin pemain untuk memenuhi panggilan negara. Konyolnya, rasa cinta mereka membutakan hatinya dengan menjatuhkan sanksi bagi anak bangsa yang berani melangkah membela negara dan berkostum tim nasional. Juga memperlakukannya secara tak manusiawi.

Tengok Nil Maizar. Lelaki Minang itu memang tak membawa prestasi bagi Pasukan Garuda. Tapi, Nil mengajarkan arti tanggungjawab kepada kita semua. Nil tak surut ketika diberi amanat melatih tim nasional. Meski sejatinya mantan pelatih Semen Padang itu sadar dengan resikonya : dia akan sulit berprestasi karena tak semua pemain mendapat izin membela Pasukan Garuda.

Namun, Nil bergeming. Dia tetap pergi memanggul amanah yang diterimanya ketika banyak koleganya memilih jalan aman. Keberanian, pengorbanan, dan juga teladan Nil tersebut ternyata seperti tidak terlalu berharga di mata Djohar. Begitupula di kacamata La Nyalla. Secara kasar, mereka melenggserkan Nil dari kursinya.

Akankah cinta mereka terus meluap-luap seperti ini? Entahlah. Tapi, saya masih percaya kalau mereka orang-orang yang baik. Orang-orang yang memiliki hati untuk kebaikan sepak bola. Juga orang-orang yang memahami bahwa bintang sepak bola itu pemain dan pelatih, bukan yang lain.

Dimuat Jawa Pos, 3 Maret 2013

Tidak ada komentar: