24 April 2013

Persebaya dan Hati Masyarakat Surabaya

Untuk edisi ulang tahun PSSI ke 83

Ingat PSSI, ingat Persebaya Surabaya. Dan sejarah panjang itu tak pantas dihapus. Tak selayaknya hanya tinggal dijadikan kenangan.

Persebaya harus terus hidup dan dihidupkan. Sebab, Persebaya bukan lagi sekedar klub sepak bola. Persebaya adalah simbol perlawanan. Simbol kebanggaan. Juga salah satu ikon Surabaya. Persebaya juga menjadi tempat orang-orang Surabaya melepaskan diri dari himpitan kerasnya kehidupan.

Bicara Persebaya tentu saja Persebaya yang didirikan Paijo dan Pamoedji. Persebaya yang dilahirkan pada 18 Juni 1927 di Surabaya. Persebaya yang turut membidani lahirnya PSSI pada 19 April 1930 silam bersama perwakilan dari Madiun, Solo, Jogjakarta, Magelang, Bandung, serta Jakarta di Jogjakarta. Dan tentu saja Persebaya yang ada di hati masyarakat dan pencinta bola Surabaya.

Lalu Persebaya yang manakah itu-seperti yang dipresentasikan di atas? Sebab, saat ini muncul dua nama Persebaya di ranah sepak bola Indonesia. Saya tak hendak menjustifikasi. Saya hanya ingin mengingat perjalanan tim yang awal berdirinya bernama Soerabhaiasche Indonesische Voetbal Bond (SIVB) ini.

Setahu saya, setelah lahir pada 18 Juni 1927, Persebaya telah mengalami beberapa kali metamorfosis. Berubah nama dari SIVB menjadi Persibaja pada tahun 1943 dan kemudian bernama Persebaya di tahun 1960. Dari tahun ke tahun Persebaya selalu eksis di kompetisi elit negeri ini. Meski Persebaya juga pernah merasakan pahitnya menghuni kasta kedua setelah terdegradasi di musim 2002.

Degradasi itu sebagai salah satu gambaran perjalanan Persebaya yang tak selalu linier. Tim dengan seragam kebesaran warna hijau tersebut pernah tersangkut sepak bola gajah. Tepatnya saat mereka mengalah 0-12 dari Persipura Jayapura di Gelora 10 November, Surabaya, pada 1988 silam. Persebaya pernah pula menggemparkan sepak bola tanah air ketika pada 2005 mundur dari babak delapan besar Liga Indonesia.

Percikan warna dalam perjalanan Persebaya tak berhenti di situ. 2010 lalu Persebaya melakukan langkah berani. Terus dikorbankan oleh PSSI, Persebaya melakukan perlawanan. Persebaya membelot dari PSSI. Bersama Persema Malang, PSM Makassar, dan Persibo Bojonegoro mereka membangun kompetisi Liga Primer Indonesia (LPI).

Perlawanan yang akhirnya membuat Nurdin Halid turun dari kursi ketua umum PSSI. Keringat Persebaya kemudian dibalas rezim baru di PSSI. Persebaya diizinkan bermain di Indonesian Premier League (IPL)-kompetisi kasta tertinggi yang digulirkan rezim baru PSSI.

Lalu bagaimana dengan Persebaya yang bermain di Divisi Utama Liga Indonesia? Selepas membelotnya Persebaya, PSSI era Nurdin Halid tak mau kehilangan klub tersebut. Bagi PSSI kala itu, Persebaya harus terus dihidupkan. Sebab, Persebaya merupakan bagian dari sejarah dan tradisi panjang sepak bola Indonesia. Banyak telenta-talenta Persebaya yang berseragam tim nasional. Mereka paham betul bahwa sejarah PSSI adalah sejarah Persebaya. Begitu sebaliknya.

PSSI lantas membangun tim. Mereka menamainya Persebaya. Nama Wishnu Wardhana dikerek sebagai manajer. Pemain-pemain Persikubar Kutai Barat dilabuhkan di Persebaya. Dengan segala keterbatasan Persebaya mengarungi kompetisi Liga Indonesia. Berbagai cerita pedih turut mengiringi. Seperti kisah para pemain berangkat ke laga tandang naik kendaraan umum sendiri-sendiri hingga cerita pemain menyatroni rumah Wishnu untuk menagih gaji.

Persebaya juga harus terusir dari mes di Karanggayam dan tinggal berpindah-pindah. Kendati begitu, Persebaya berhak menyandang nama dan logo lama Persebaya berkat peran PSSI. Juga andil polisi. Lantaran ada dua Persebaya, polisi meminta salah satunya mengubah nama. Karena berkompetisi di Liga Indonesia yang dinaungi PSSI era Nurdin, Persebaya ”dimenangkan” untuk memakai nama Persebaya dan logo lama.

Sedang, Persebaya yang membelot, memilih nama Persebaya 1927 dengan sedikit memodifikasi loga lama Persebaya.

Kisah dualisme Persebaya dengan campur tangan PSSI ini sejatinya bukan cerita baru. Di awal perjalanan PSSI, kisah serupa sudah pernah terjadi. PSIM Jogjakarta menjadi lakonnya kala itu. Tak sepaham dengan PSSI, PSIM melawan. Pada 1934 mereka keluar dan mendirikan Persatuan Olah Raga Seluruh Indonesia (PORSI). Perlawanan yang berkobar hingga tiga tahun. PSSI pun merespon perlawanan itu dengan membangun PERSIM Jogjakarta.

Terakhir kali dan sekali lagi, saya tak hendak menjustifikasi. Tapi, saya percaya masyarakat dan pecinta bola Surabaya pasti tahu Persebaya yang mana yang pantas berada di hati mereka. Dan PSSI pun sepantasnya juga tahu. Sebab, menghapus Persebaya, sama halnya menghapus sejarah PSSI.

Dimuat Jawa Pos, 19 April 2013

Tidak ada komentar: