Tak ada yang salah dengan selebrasi Evan Dimas Darmono. Tidakpula ada yang keliru dari selebrasi Ilham Udin Armaiyn. Begitupula perayaan yang dilakukan Indra Sjafri dan para asistennya serta offsial di pinggir lapangan saat gol tercipta.
Gol-gol yang dilesatkan para pemain Indonesia di ajang Piala AFF U-19 memang pantas dirayakan. Sebab, gol-gol tersebut merupakan buah kerja keras yang mereka bangun. Apalagi, datangnya gol juga tak pernah bisa ditebak. Kadang selama 90 menit pemain berpeluh di lapangan, gol yang dinanti tak kunjung diraih. Bisa juga dalam kurung waktu 2x45 menit, hanya lahir sebiji gol.
Karena itu, menjadi wajar kalau Evan Dimas dan kawan-kawannya-baik yang berada di lapangan maupun di bench-merayakan dengan beraneka ragam selebrasi. Semisal sujud syukur di sudut lapangan, bergoyang itik ala biduan Zaskia Gotik, atau membuat lingkaran lantas bergoyang bersama.
Seperti halnya pemain dan pelatih, juga tak ada yang salah dengan lompatan kegembiraan para suporter Indonesia di tribun. Tidakpula menjadi hal yang berlebihan dari pekik sorak-sorai suporter yang membuat stadion bergetar. Sebab, suporter merah putih sudah teramat sangat rindu gelar juara.
Sudah lebih dari 20 tahun suporter Indonesia menunggu prestasi sepak bola negerinya. Selepas juara SEA Games 1991 di Manila, Filipina, tak pernah ada lagi gelar yang direbut Indonesia. Itu sebabnya sebiji gol pun akan menjadi tetes menyegarkan bagi suporter merah putih. Apalagi, sebuah kemenangan.
Tapi, uforia ini harus dijaga dan dirawat. Tentu saja juga harus dikontrol. Tak perlu kelewat ambang. Sebab, ini sebenarnya bukan watunya berpesta. Piala AFF U-19 yang kali ini berlangsung di Gelora Delta, Sidoarjo dan Stadion Tri Dharma, Gresik adalah pertandingan level junior.
Seyogyanya pertandingan tingkat junior, Piala AFF U-19 ini merupakan jenjang pembinaan. Prestasi jelas bukan yang terdepan. Tapi, pembangunan dan pembentukan fondasi yang kuat untuk tim senior di masa yang akan datang yang lebih utama. Dan di level senior itulah pesta yang sesungguhnya.
Itu sebabnya tak perlu berlebihan. Apalagi, seringkali kita sudah merasa juara, padahal kita baru sebatas meraih tiket final. Ditambah lagi, sejarah seringkali ”menghiraukan” kemenangan di tingkat junior. Kita sendiri juga acapkali abai dan melupakannya. Bahwa Indonesia pernah menjuarai Piala Pelajar Asia pada tahun 1984 dan setahun berikutnya, jelas tak banyak lagi yang mengingatnya. Begitupula capaian terbaru Indonesia tahun ini yang menempati rangking delapan dunia Piala Danone U-12 di London.
Kemenangan-kemenangan yang digapai Indonesia di Piala AFF U-19 kali ini pun bakal serupa. Orang mungkin hanya mengingatnya satu-dua hari. Atau paling lama sepekan. Setelah itu tak ada lagi yang membicarakannya.
Kendati begitu, bukan berarti suporter Indonesia boleh berhenti bernyanyi. Suporter tetap ”wajib” menggelorakan dukungannya kepada Evan Dimas dan kawan-kawannya.
Meski begitu, bukan lantas induk organisasi sepak bola pantas mengalihkan perhatiannya. Justru anak-anak itu harus terus dirawat. Terus disokong. Agar kelak mereka semakin matang permainannya. Sebab, dua hingga sepuluh tahun ke depan harapan prestasi sepak bola negeri ini ada di pundak mereka.
Terus berjuang Garuda Jaya. Kemenangan kalian akan tetap sangat membanggakan. Tapi, ini bukanlah pesta sebenarnya. Pesta itu adalah ketika medali emas SEA Games berhasil kita rengkuh. Pesta itu adalah saat Indonesia bertengger di podium pertama Piala AFF. Sebab, Piala Asia masih terlalu tinggi. Apalagi, Piala Dunia.
20 September 2013
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar