22 Mei 2020

Bukan Generasi yang Gagal

"SAYA tidak pernah ragu mengatakan jika saya adalah generasi yang gagal kalau sampai saya pensiun dan tetap tidak mampu mempersembahkan satu gelar pun buat Indonesia,” kata Bambang Pamungkas ketika kami bertemu di Solo pertengahan Agustus 2011.

Dan ketika Bambang mengumumkan pensiun dari tim nasional pada 1 April 2013, tak ada gelar juara yang bisa dia persembahkan untuk Indonesia. Bahkan, sampai Bepe -begitu dia akrab disapa- memutuskan gantung sepatu pada 17 Desember 2019, Indonesia tetap belum mampu meraih gelar di lapangan hijau lagi setelah merengkuh medali emas SEA Games 1991.

Sejatinya ada satu gelar yang berhasil diraih Bambang saat berseragam tim nasional. Indonesia pernah juara Piala Kemerdekaan 2008. Bambang menjadi bagian tim nasional saat itu. Hanya saja gelar juara itu direngkuh Indonesia dengan cara yang tak lazim. Libya yang menjadi lawan Indonesia di partai final saat itu memutuskan mundur pada babak kedua. Libya mundur karena merasa terancam setelah pelatihnya mengaku dipukul official tim nasional Indonesia di lorong menuju ruang ganti Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta, saat jeda pertandingan.

Gelar Piala Kemerdekaan tersebut pun sepertinya tak pernah dianggap ada oleh publik bola tanah air. Bambang sendiri sepertinya juga ”melupakan” gelar itu. Kala mengumumkan pensiun dari tim nasional, pria asal Getas, Semarang tersebut menulis jika dirinya adalah generasi yang gagal. Sebab, Bambang harus meninggalkan tim nasional tanpa mampu mempersembahkan gelar bergengsi.

Sejak berkostum tim nasional pada 1999 silam, prestasi tertingginya ”hanya” membawa Indonesia duduk di posisi kedua Piala Tiger (kini bernama Piala AFF) edisi 2002. Juga runner up Piala AFF 2010.

Memang tak ada gelar bergengsi yang mampu dipersembahkan Bambang untuk Indonesia. Tapi, bagi saya, sekali lagi bagi saya, Bambang bukanlah generasi yang gagal. Dia memang tak memberikan gelar juara, namun pria kelahiran 10 Juni 1980 itu telah memberikan begitu banyak pelajaran berharga untuk sepak bola Indonesia. Read More..

15 Mei 2020

Tak Ada Pengalungan Medali untuk Petro

Petrokimia Putra Gresik terlahir sepertinya tak pernah dikehendaki menjadi juara. Tentu bukan oleh pengurusnya. Sebab, mereka melahirkan Petro bukan sekadar untuk ikut berkompetisi. Tapi, juga menginginkan prestasi.

Bukan pula oleh masyarakat Gresik. Masyarakat kota Pudak justru ingin melihat Petro mampu mengangkat nama kota Gresik di pentas sepak bola nasional. Karena itu pula, terlahir Ultrasmania. Kelompok suporter yang menjadi penyokong Petro. Kelompok suporter yang selalu memadati Stadion Tri Dharma, Gresik, kala Kebo Giras -julukan Petro- memainkan laga di stadion tersebut. Karena keinginan melihat Petro mengharumkan nama Gresik itu pula, mereka berbondong-bondong ke Senayan, Jakarta, ketika Widodo C. Putro dan kawan-kawan tampil di partai final Liga Indonesia pada musim 1994/1995 dan 2002.

Orang-orang di induk organisasi sepak bola nasional-lah yang tak menginginkannya. Tuduhan yang berlebihan. Boleh saja dipandang seperti itu. Tapi, perjalanan Petro dalam dua pertandingan puncak Liga Indonesia bisa menjadi gambarannya. Read More..

23 April 2020

Ramadan Mendekatkan (Anak-Anak) Pada Sepak Bola

Malam adalah waktu bermain. Sebab, siang terlalu terik dan sore terlalu letih. Begitulah Ramadan. Sungguh berbeda dengan bulan-bulan lainnya. Dan, anak-anak benar-benar mendapatkan kemerdekaannya.

Bukannya di luar Ramadan tidak ada yang bermain di malam hari. Memang ada. Tapi, waktunya terbatas. Berhimpitan dengan waktu belajar. Berdesakan dengan waktu mengerjakan pekerjaan rumah (PR) yang diberikan para guru.

Bukannya pula saat Ramadan tidak ada yang bermain siang dan sore hari. Tetap ada. Namun, yang dimainkan bukan permainan yang berkeringat. Paling umum adalah membunyikan petasan. Entah itu petasan hasil membeli atau membuat sendiri.

Sedang permainan yang berkeringat akan dimainkan pada malam hari. Sepak bola salah satunya. Dan itu merupakan permainan favorit anak laki-laki. Read More..

27 Februari 2020

Pertandingan itu Akhirnya Terlaksana

Tak ada yang berbeda dengan menu makanan di Rumah Makan Pojok II Perak, Jombang, siang itu. Menunya sama seperti biasanya: sayur asem, sayur lodeh, soto, rawon, pecel, sop buntut, kare, dan gule kambing. Juga pecel lele, ayam goreng, dan gurami.

Siang itu, Kamis, 5 Agustus 2010. Dan para pemain Persebaya Surabaya pun memesan makanan seperti biasanya. Sebab, Rumah Makan Pojok II Perak, Jombang memang sering menjadi jujukan pemain-pemain Persebaya. Tapi, saat hidangan sudah di meja, mereka tak terlalu lahap menyantapnya. Selera mereka tak seperti biasanya.

Telepon dari Kediri yang membuat mereka menjadi tak lagi antusias menyantap makanan. Machrus Afif yang berada di seberang telepon mengabarkan kalau pertandingan melawan Persik Kediri di Stadion Brawijaya, Kediri, tidak jadi digelar.

”Semangat kami langsung turun dan ada rasa cemas yang berkecamuk di dalam diri kami,” kata Mat Halil, bek kiri Persebaya yang ada dalam rombongan makan siang itu. Read More..

18 Februari 2020

Nasi Bungkus dan Air Mineral Jadi Jalan Pembuka

"Namanya luka tentu tidak boleh dibiarkan. Harus diobati,” kata Verdi Aprista. Keyakinan itu dipegang Verdi dan kawan-kawannya di Curva Boys 1967. Keyakinan itu pula yang menggerakkan ratusan anggota salah satu kelompok suporter Persela Lamongan tersebut ke Stasiun Babat yang berada di ujung barat Lamongan pada suatu petang 1 Agustus 2016.

Kebetulan petang itu kereta yang ditumpangi ratusan Bonek bakal melintas. Dan sebelum melanjutkan perjalanan ke Jakarta, kereta akan berhenti sejenak di Stasiun Babat. Curva Boys melihat ada kesempatan di sana. Kesempatan untuk mengobati luka yang sudah bertahun-tahun bersemayam di hati pendukung Persela dan Persebaya Surabaya.

Maka disiapkanlah nasi bungkus dan air mineral. Nasi dan air mineral itu lantas dibawa ke stasiun. Nasi dan air tersebut oleh perwakilan Curva Boys kemudian dibagikan kepada ratusan Bonek yang ada di gerbong kereta. Di depan pintu masuk stasiun, ratusan anggota Curva Boys melantunkan nyanyian penyemangat untuk Bonek. Read More..

17 Februari 2020

Anak-anak Surabaya Berkostum Malang

Anak-anak itu lahir di Surabaya. Juga tumbuh di Surabaya. Orang tua mereka adalah penggemar sekaligus pendukung Persebaya Surabaya. Kota dan kesebelasan yang selalu berada di seberang mata serta hati arek-arek Malang.

Sebagian dari mereka lahir dan tumbuh di Sidoarjo. Seperti anak-anak Surabaya itu, orang tua mereka juga penggemar Persebaya. Dan semua pun tahu kalau pendukung Persebaya tidak pernah dan tidak akan pernah menyukai Arema Malang.

Di luar itu, juga ada anak-anak dari Mojokerto dan Kediri. Secara kultur, dua kota terakhir itupun menjadikan Surabaya sebagai kiblat sepak bola-nya. Total ada 12 anak. Usia mereka 10 sampai 12 tahun.

Tapi, cinta, mimpi, dan kepolosaan anak-anak itu berhasil menepikan semua kebencian yang tertanam di generasi sebelum mereka. Karena cinta mereka yang begitu meluap kepada sepak bola. Lantaran letupan mimpi menjadi pesepak bola, anak-anak itu melangkah ke Malang awal 2015 lalu. Berkostum Malang. Atau lebih tepatnya berseragam Sekolah Sepak Bola (SBB) Banteng Muda. Read More..

01 Agustus 2019

Belum Ada Judul

Ini pertandingan yang benar-benar menguras emosi saya sebagai Arek Lamongan. Apalagi, saya berada di Tribun Stadion Surajaya, Lamongan, Senin malam (29/7) itu. Saya sangat kesal dengan tindakan kiper Persela Lamongan Dwi Kuswanto. Bagaimana bisa Dwi Kus melakukan tindakan konyol. Menanduk kepala gelandang Borneo FC Wahyudi Hamisi ketika bola sudah aman dalam pelukannya. Di saat kemenangan sudah di depan mata Persela pula.

Dwi Kus sejatinya punya kesempatan mengulur waktu dalam situasi tersebut. Selain pertandingan sudah memasuki menit akhir, Persela juga dalam posisi unggul 2-1. Dua gol tim asal Kota Soto tersebut dicetak Alex Dos Santos Goncalves. Gol pertama striker asal Brasil itu lahir titik penalti pada menit 63. Sedang gol kedua dilesatkan enam menit kemudian. Dua gol Alex itu membalas gol Borneo yang diceploskan Renan Silva pada menit 19.

Tapi, lagu kemenangan yang sudah berkumandang di Surajaya berubah menjadi amarah. Gara-gara tandukannya, Dwi Kus diganjar kartu merah oleh wasit Wawan Rapiko. Hamisi juga mendapat hukuman kartu serupa dari wasit. Pemain, offisial, dan suporter Persela pun sangat kesal dengan kartu merah tersebut. Apalagi, wasit asal Riau itu juga menghukum Persela dengan penalti. Dan dari hadiah penalti itulah Borneo menyamakan kedudukan menjadi 2-2 lewat eksekusi Lerby Eliandri.

Nah, pada titik itulah, saya juga sangat kesal dengan sikap wasit yang tidak tegas. Bukan, bukan kesal terhadap keputusannya memberikan kartu merah kepada Dwi Kus. Soal ganjaran kartu merah yang dijatuhkan kepada kiper Persela itu, saya sangat sepakat dengan keputusan wasit. Dalam peraturan permainan sepak bola jelas tertulis seperti itu. Dwi Kus jelas salah karena dia menanduk kepala gelandang Borneo. Tindakannya tersebut sangat tidak terpuji. Read More..