Juara : Persipura Jayapura
Runner Up : Persiwa Wamena
Peringkat III : Persib Bandung
Pemain Terbaik : Boaz Solossa (Perspiura)
Top Skor : Boaz Solossa (Persipura/ 28 gol)
Christian Gonzalez (Persib/28 gol)
Tim Fairplay : Belum Diumumkan
Pertandingan : 306
Gol : 814
Rata-rata gol perpertandingan : 2,66
Kartu Kuning : 967
Kartu Merah : 41
Jumlah Pemain : 549 (436 lokal, 113 asing)
Kartu Kuning Pertama : Jufri Samad/Persiba Balikpapan
Kartu Merah Terakhir : Aris Indarto/Persija Jakarta
Kartu Merah Pertama : Hamka Hamzah/Persik Kediri
Kartu Merah Terakhir : Maully Lessy/Sriwijaya FC
Kartu Terbanyak : Marcio Souza/ Persela (11 kartu kuning), I Gede Sukadana/Persela (9 Kartu Kuning dan 2 Kartu Merah)
Skor Kemenangan Terbesar : 6-0 (Persipura v Persija, Sriwijaya FC v Persita, Persiwa v PSIS
Kekalahan Terbesar Kandang : 0-5 (Arema v Persipura)
Pemain Asing Termahal : Abanda Herman/Persija (Rp 1.315.000.000)
Pemain Lokal Termahal : Bambang Pamungkas/Persija (Rp 1.370.000.000)
Pemain Tertua : Keith Kayamba/Sriwijaya FC, James Debbah/PKT (36)
Pemain Termuda : Ramdani Lestaluhu/Persija (17)
Pencetak Gol Pertama : Ernest Jeremiah/Persipura
Pencetak Gol Terakhir : Christian Gonzalez
Rabu, 10 Juni 2009
Persiwa v PSMS 5 – 0 (2-0)
Persipura v Sriwijaya FC 4 – 1 (2-0)
PKT v Pelita Jaya 5 – 0 (1-0)
Persiba v PSIS 5 – 0 (3-0)
Persik v Persita 3 – 1 (1-0)
Arema v Persijap 3 – 1 (2-1)
Persela v Persitara 2 – 1 (1-1)
Persija v Persib 1 – 2 (0-0)
Deltras v PSM 5 – 3 (2-1)
Klasemen Akhir
Papan Atas
1. Persipura* 34 25 5 4 81-25 80
2.(3) Persiwa 34 21 3 10 57-32 66
3.(2) Persib 34 20 6 8 63-40 66
4.(6) Persik 34 16 7 11 53-46 55
5.(4) Sriwijaya FC 34 15 9 10 60-45 54
Papan Tengah
6.(7) Persela 34 16 6 12 41-35 54
7.(5) Persija 34 15 8 11 61-48 53
8. PSM 34 13 12 9 42-44 51
9. Pelita Jaya 34 14 7 13 35-35 49
10.(11) Arema 34 13 8 13 40-42 47
Papan Bawah
11.(10) Persijap 34 12 10 12 42-40 46
12. Persiba 34 13 7 14 40-42 46
13.(14) Bontang PKT 34 9 11 15 43-53 37
14.(13) Persitara 34 9 9 16 41-50 36
Zona Playoff Degradasi
15. PSMS 34 6 13 15 41-54 31
Zona Degradasi
16. Deltras** 34 7 8 19 30-55 29
17. Persita** 34 6 7 21 26-65 25
18. PSIS** 34 4 9 21 17-62 21
* Juara
** Degradasi
Daftar Pencetak Gol:
28 gol: Boaz Solossa 1-pen (Persipura), Christian Gonzalez 14 gol di Persik 2-pen (Persib)
23 gol: Alberto ”Beto” Goncalves (Persipura)
22 gol: Ngon A Djam 2-pen (Sriwijaya),
18 gol: Bambang Pamungkas 3-pen (Persija)
17 gol: Talauhu Abdul Musafri 5-pen (Persiba),
16 gol: Ernest Jeremiah 1-pen (Persipura) Greg Nwokolo (Persija),Cristiano Lopez 1-pen (Pelita Jaya), Marcio Souza-1 pen (Persela)
15 gol: Hilton Moreira (Persib), Julio Lopez-2 pen (PSM),
14 gol: Saktiawan Sinaga 1-pen (Persik)
13 gol: Rahmat Rivai 2-pen (Persitara)
12 gol: Pieter Rumaropen 2-pen, Boakay Edy Foday (Persiwa), Leonardo Martins Zada 3-pen (PSMS),
11 gol: James Debbah 1-pen (PKT), Rafael Bastos 4-pen (Persib), Keith Kayamba (Sriwijaya)
10 gol: Josiah Seton 1-pen (PKT), Redouane Barkoui (Persiwa), Gaston Gastano 4-pen tiga gol di PSIS (Persiba).
9 gol: Dicky Firasat (Persela), Zan Rahan (Sriwijaya)
8 gol: Edisio Sergio Junior (Deltras) , Evaldo Silva 4-pen (Persijap) Prince Kabir Bello (Persitara), Claudio Proneto 4-pen (PSM), Aldo Barreto (PSM)
7 gol: Aliyudin (Persija) Lorenzo Cabanas (Persib)
6 gol: I Made Wirahadi (Persita) Ilham Hasan, Arnaldo Villalba (Persijap) Anoure Obiora 1-pen (Sriwijaya FC),
5 gol: Firdaus Yong (Deltras), Budi Sudarsono 4 gol di Persik (Sriwijaya), Ronald Fagundes (Persik), Adrian Trinidad (Persiba), Mario Costas, Rahmad Afandi (PSMS), Pablo Alejandro Frances(Persijap), Imral Usman (PKT), Micheal Adolfo Souza 1-pen (Persita), Souleymane Traore, Emaleu Serge (Arema), Lumineau Benoit (Persiwa)
4 gol: Danilo Fernando 1 gol di Persik (Deltras), , Syamsul Chaerudin 1-pen (PSM), Fabiano Lopes (Persija), Patricio Morales, Emile Mbamba (Arema) Amarildo Souza (Persijap) Jimmy Suparno (Persela), Wilfredo–2 pen (PKT), Eduard Ivakdalam (Persipura), Robertino Pugliara (Persija)
3 gol: Hamka Hamzah, Khusnul Yuli (Persik), Airlangga Sucipto (Persib), Titus Bonai, Miftahul Huda (PKT), Erich Week, Tarik Chaqui, OK John -1 pen (Persiwa), Esteban Javier Guillen 1-pen, Aun Carbini (PSMS), Ahmad Amirudin (PSM), Carlos Raul Scucati (Persela), Aji Nurpijal, Enjang Rohiman (Persijap), Fandi Mochtar, Arif Suyono (Arema), Abanda Herman (Persija), Ireneo Roberto Acosta 2-pen (Deltras), Eduardo, M. Ridwan (Pelita Jaya), M. Nasuha (Sriwijaya), Eliusangelo (Persiba), Onambele Jules Basile, Salomon Bengondo (PSIS), Victor Igbonefo (Persipura), Ebenje Rudolf (Persitara)
2 gol: Tarik Aljanaby, Satria Fery (PKT), Fortune udo, Ahmad Sembiring Usman, ChMelo Roman (Arema), Noorhadi (Persijap), Dede Hugo Gustavo Chena 1-pen, M. Khusen, Carlos Bergontini (Deltras), Atep, Nyeck Nyobe, Eka Ramdani, Nova Arianto, Zaenal Arif -1 pen (Persib), Ismed Sofyan, Agus Indra Kurniawan 1-pen (Persija), Feri Ariawan, Nenggue Binevenue(PSIS), Micheal Adolfo Souza, Supriyadi, Cucu Hidayat, Lubis Syukur (Persita), Yongky Aribowo, Mahyadi Panggabean (Persik), Fabiano (Persela) Ambrizal (Sriwijaya), Vendry Mofu, Immanuel Padwa, Yesaya Desanu (Persiwa), Diva Tarkas (PSM), Andika Yudistira (PSMS), Ian Luis Kabes, Ortizan Solossa, Ricardo Salampessy (Persipura)
1 gol:Fadil Sausu (Persik), Cornelis Kaimu, Alberto Mambrasasr, Habel Satya, Tutug Widodo (Persiwa), Leonard Tumahu, Ponaryo Astaman, Ade Suhendra (Persija), Nicolas Djone, Ade Mustari (Persita) Mustopa Aji, Pello Benson, Alfredo Figuera, Yahya Sosomar, Dedy Mulyadi (Persitara), Legimin Raharjo 1-pen, M. Roby,Jefri Dwi Hadi, Agus Susanto (Persik), Boston Browne, Ronny Firmansyah, Suroso, Hendra Ridwan (Arema),Alex Robonsaon, Zaenal Arifin (Persela), Sulthan Samma, Bruno Zandonadi, Muhammadan (Persiba), Benben Berlian, Alamsyah Nasution, Tsimi Jacques Joel, Wijay, Toni Sucipto, Korinus Fingkrew (Sriwijaya), Gilang Angga, Fabio Lopez, Salim Alaydrus (Persib), Basri B.S, Eduardo Pizzaro (Pelita Jaya), Dwi Joko (Deltras), David da Rocha (Persipura), Oktavianus Maniani, Pinto, Juan Valabery, Affan Lubis, Patricio Jimenez, Makinwa, Asri Akbar (PSMS), Rahmat LatiefIrsyad Aras (PSM), Trias Budi, Domerto Thesia, Donny Siregar (PKT), Donny F. Siregar, Nurul Huda, Sofyan Morhan (Persijap),
Gol Bunuh Diri:
1 gol: Erik Setiawan (Arema) Fabiano (Persela), Evaldo da Silva (Persijap) Heri Susilo (PSIS), Sofyan Morhan (Persijap)
Read More..
21 Juni 2009
Sopir Bus itu Telah Sampai Terminal
Malam semakin larut. Jarum di dinding telah menunjukkan bahwa waktu telah memasuki pukul 22.30 WIB. Hampir sebagian besar orang pun telah larut dalam tidur. Tapi, malam itu-Rabu 10 Juni 2009-Purwanto masih terjaga.
Saya tahu kalau pria asal Kediri itu masih terjaga, karena beliau menyapa saya lewat telepon. ”Bagaimana kepemimpinan saya tadi Mas? Bagaimana dengan keputusan saya memberi penalti?,” pertanyaan itu membuka percakapan kami malam itu.
Beberapa jam sebelumnya, Purwanto memang memimpin pertandingan sarat gengsi antara Persija Jakarta kontra Persib Bandung di Stadion Gajayana, Malang. Duel tersebut dimenangi Persib dengan skor 2-1. Gol penentu kemenangan Persib lahir dari kaki Christian Gonzalez lewat eksekusi penalti pada menit 89.
Sebelum gol Gonzalez, kedudukan berimbang 1-1. Persib unggul dulu lewat gol tandukan Airlangga Sucipto lima menit setelah turun minum. Striker asing Persija asal Brazil yang pada putaran pertama berkostum Persib Fabio Lopez membalas pada menit 56.
Persib memperoleh penalti itu, setelah Purwanto menyatakan pemain Persija Aris Indarto melakukan pelanggaran terhadap Airlangga di kotak penalti. ”Menurut sampeyan pas tidak keputusan saya memberikan penalti tadi?,” tanya Purwanto lagi.
Dari nada suaranya, lelaki yang di masa kecilnya bercita-cita sebagai sopir bus tersebut tidak dalam posisi risau akan keputusannya di penghujung partai Persija lawan Persib itu. Purwanto hanya ingin memastikan bahwa keputusannya tersebut tidak salah.
Purwanto sadar bahwa sebagai manusia dirinya tidak akan pernah bisa luput dari salah. Namun, dirinya selalu berusaha untuk meminimalkan kesalahan. Termasuk dalam hal memimpin pertandingan. Purwanto ingin selalu memimpin dengan baik dan setipa keputusan yang diambilnya tepat.
Karena itu, Purwanto pun merasa perlu mendengar penilaian orang lain setiap kali usai memimpin pertandingan. ”Saya tidak ingin mengecewakan siapapun. Saya ingin selalu menjalankan tugas sesuai dengan atura,” ujar Purwanto.
Sama seperti sebelum-sebelumnya, malam itu, suami Indarsih tersebut pun ingin mendengar penilain objektif orang lain akan kepemimpinannya. Lebih-lebih kepemimpinan Purwanto malam itu bisa jadi menjadi tugas terakhirnya sebagai wasit.
Memang musim kompetisi sepak bola Indonesia musim ini belum sepenuhnya berakhir. Sebab, Copa Indonesia IV masih berjalan. Juga masih terdapat partai playoff ISL yang mempertemukan Persebaya Surabaya kontra PSMS Medan 30 Juni nanti. Namun, secara umum, kompetisi musim ini telah berakhir 10 Juni kemarin.
Sesuai regulasi, musim depan Purwanto harus purnatugas sebagai wasit. Sebab, pada 24 September mendatang, bapak dua anak itu genap 46 tahun. Itu artinya usia Purwanto sudah mencapai batas akhir sebagai wasit. Usia wasit memang dibatasi hanya sampai 46 tahun.
”Bagi saya mau itu awal atau akhir tidak ada bedanya. Sebab, keinginan saya hanya ingin bertugas sebaik mungkin. Tapi, bagaimanapun juga, saya tetap ingin mengakhiri perjalanan wasit dengan baik,” akunya.
Dan bagi saya, penampilan Purwanto malam itu tidak bisa saya katakan buruk. Tentu pula tidaklah sempurna. Pasalnya, ada beberapa momen yang luput dari pengawasannya. Salah satunya ketika Ismed Sofyan mendorong kepala bagian belakang Siswanto saat injury time.
Secara umum, Purwanto telah bertugas cukup baik. Bagi saya, keputusannya menghukum Persija dengan penalti cukup tepat. Sebab, dua pemain Persija melakukan gangguan yang sangat cukup berbahaya kepada Airlangga di kotak penalti. Ada Agus Indra Kurniawan yang mendorong Airlangga dari belakang. Terdapat juga Aris Idarto yang menangkat kaki kanannya terlalu tinggi. Bahkan kaki pemain asal Sragen itu sejajar dengan perut Airlangga.
Jadi, bagi saya Purwanto telah mengakhiri tugasnya dengan sangat indah. Secara pribadi saya kagum dengan perjalanannya sebagai wasit nasional yang dilakoni sejak 1993 hingga 10 Juni 2009. Saya bertambah kagum bukan saja karena penampilannya pada 10 Juni 2009 itu. Tapi, karena pertemuan saya dengan ”seseorang” di Peecock CafĂ© Hotel Sultan, Jakarta, 25 Mei 2009.
Malam itu-25 Mei 2009-”seseorang” itu bicara blak-blakan dengan saya. Salah satu omongannya tentang wasit Indonesia. Dia menyebut bahwa hanya ada satu wasit yang tidak pernah memakan uangnya. Dan orang yang disebut itu adalah Purwanto.
Sampai titik ini saya sangat kagum dengan Purwanto. Tapi, pada titik ini pula saya merasa kehilangan beliau. Kehilangan sosok sopir bus yang telah menjadi oase di tengah coreng-morengnya sepak bola Indonesia. Musim depan, saya tidak bisa melihat lagi ketegasannya memimpin pertandingan. Sebab, sopir bus itu telah sampai terminal.
Nama : Purwanto
Lahir : Kediri, 24 September 1963
TB/BB : 180 cm/72 kg
Orang Tua : (alm.) Sumowinoto-Mastain
Istri : Indarsih
Anak : – Rizki Eka Saputra
- Ardi Kharismaulana
Karir
– Sukarelawan Puskesmas Bogo Kidul, Plemahan, Kediri (1989)
– Honerer Dispenda, Kab. Kediri (1996)
– PNS di seksi pertamanan Dinas Kebersihan dan Lingkungan Hidup Kota Kediri (2002)
– Wasit C3 (1989)
– Wasit C2 (1991)
– Wasit C1 (1993)
– Asisten wasit FIFA (1995)
– Ketua komisi wasit Pengda PSSI Jatim (2006-2010)
Prestasi
– Wasit Terbaik Indonesia (2002)
– Wasit Terbaik versi antv Award (2003)
– Memimpin Final Liga Indonesia antara Persita Tengerang v Petrokimia Gresik (2002)
– Memimpin Final Liga Indonesia antara Persija Jakarta v Persipura Jayapura (2006)
- Wasit terfair play versi Jawa Pos (2007) Read More..
Saya tahu kalau pria asal Kediri itu masih terjaga, karena beliau menyapa saya lewat telepon. ”Bagaimana kepemimpinan saya tadi Mas? Bagaimana dengan keputusan saya memberi penalti?,” pertanyaan itu membuka percakapan kami malam itu.
Beberapa jam sebelumnya, Purwanto memang memimpin pertandingan sarat gengsi antara Persija Jakarta kontra Persib Bandung di Stadion Gajayana, Malang. Duel tersebut dimenangi Persib dengan skor 2-1. Gol penentu kemenangan Persib lahir dari kaki Christian Gonzalez lewat eksekusi penalti pada menit 89.
Sebelum gol Gonzalez, kedudukan berimbang 1-1. Persib unggul dulu lewat gol tandukan Airlangga Sucipto lima menit setelah turun minum. Striker asing Persija asal Brazil yang pada putaran pertama berkostum Persib Fabio Lopez membalas pada menit 56.
Persib memperoleh penalti itu, setelah Purwanto menyatakan pemain Persija Aris Indarto melakukan pelanggaran terhadap Airlangga di kotak penalti. ”Menurut sampeyan pas tidak keputusan saya memberikan penalti tadi?,” tanya Purwanto lagi.
Dari nada suaranya, lelaki yang di masa kecilnya bercita-cita sebagai sopir bus tersebut tidak dalam posisi risau akan keputusannya di penghujung partai Persija lawan Persib itu. Purwanto hanya ingin memastikan bahwa keputusannya tersebut tidak salah.
Purwanto sadar bahwa sebagai manusia dirinya tidak akan pernah bisa luput dari salah. Namun, dirinya selalu berusaha untuk meminimalkan kesalahan. Termasuk dalam hal memimpin pertandingan. Purwanto ingin selalu memimpin dengan baik dan setipa keputusan yang diambilnya tepat.
Karena itu, Purwanto pun merasa perlu mendengar penilaian orang lain setiap kali usai memimpin pertandingan. ”Saya tidak ingin mengecewakan siapapun. Saya ingin selalu menjalankan tugas sesuai dengan atura,” ujar Purwanto.
Sama seperti sebelum-sebelumnya, malam itu, suami Indarsih tersebut pun ingin mendengar penilain objektif orang lain akan kepemimpinannya. Lebih-lebih kepemimpinan Purwanto malam itu bisa jadi menjadi tugas terakhirnya sebagai wasit.
Memang musim kompetisi sepak bola Indonesia musim ini belum sepenuhnya berakhir. Sebab, Copa Indonesia IV masih berjalan. Juga masih terdapat partai playoff ISL yang mempertemukan Persebaya Surabaya kontra PSMS Medan 30 Juni nanti. Namun, secara umum, kompetisi musim ini telah berakhir 10 Juni kemarin.
Sesuai regulasi, musim depan Purwanto harus purnatugas sebagai wasit. Sebab, pada 24 September mendatang, bapak dua anak itu genap 46 tahun. Itu artinya usia Purwanto sudah mencapai batas akhir sebagai wasit. Usia wasit memang dibatasi hanya sampai 46 tahun.
”Bagi saya mau itu awal atau akhir tidak ada bedanya. Sebab, keinginan saya hanya ingin bertugas sebaik mungkin. Tapi, bagaimanapun juga, saya tetap ingin mengakhiri perjalanan wasit dengan baik,” akunya.
Dan bagi saya, penampilan Purwanto malam itu tidak bisa saya katakan buruk. Tentu pula tidaklah sempurna. Pasalnya, ada beberapa momen yang luput dari pengawasannya. Salah satunya ketika Ismed Sofyan mendorong kepala bagian belakang Siswanto saat injury time.
Secara umum, Purwanto telah bertugas cukup baik. Bagi saya, keputusannya menghukum Persija dengan penalti cukup tepat. Sebab, dua pemain Persija melakukan gangguan yang sangat cukup berbahaya kepada Airlangga di kotak penalti. Ada Agus Indra Kurniawan yang mendorong Airlangga dari belakang. Terdapat juga Aris Idarto yang menangkat kaki kanannya terlalu tinggi. Bahkan kaki pemain asal Sragen itu sejajar dengan perut Airlangga.
Jadi, bagi saya Purwanto telah mengakhiri tugasnya dengan sangat indah. Secara pribadi saya kagum dengan perjalanannya sebagai wasit nasional yang dilakoni sejak 1993 hingga 10 Juni 2009. Saya bertambah kagum bukan saja karena penampilannya pada 10 Juni 2009 itu. Tapi, karena pertemuan saya dengan ”seseorang” di Peecock CafĂ© Hotel Sultan, Jakarta, 25 Mei 2009.
Malam itu-25 Mei 2009-”seseorang” itu bicara blak-blakan dengan saya. Salah satu omongannya tentang wasit Indonesia. Dia menyebut bahwa hanya ada satu wasit yang tidak pernah memakan uangnya. Dan orang yang disebut itu adalah Purwanto.
Sampai titik ini saya sangat kagum dengan Purwanto. Tapi, pada titik ini pula saya merasa kehilangan beliau. Kehilangan sosok sopir bus yang telah menjadi oase di tengah coreng-morengnya sepak bola Indonesia. Musim depan, saya tidak bisa melihat lagi ketegasannya memimpin pertandingan. Sebab, sopir bus itu telah sampai terminal.
Nama : Purwanto
Lahir : Kediri, 24 September 1963
TB/BB : 180 cm/72 kg
Orang Tua : (alm.) Sumowinoto-Mastain
Istri : Indarsih
Anak : – Rizki Eka Saputra
- Ardi Kharismaulana
Karir
– Sukarelawan Puskesmas Bogo Kidul, Plemahan, Kediri (1989)
– Honerer Dispenda, Kab. Kediri (1996)
– PNS di seksi pertamanan Dinas Kebersihan dan Lingkungan Hidup Kota Kediri (2002)
– Wasit C3 (1989)
– Wasit C2 (1991)
– Wasit C1 (1993)
– Asisten wasit FIFA (1995)
– Ketua komisi wasit Pengda PSSI Jatim (2006-2010)
Prestasi
– Wasit Terbaik Indonesia (2002)
– Wasit Terbaik versi antv Award (2003)
– Memimpin Final Liga Indonesia antara Persita Tengerang v Petrokimia Gresik (2002)
– Memimpin Final Liga Indonesia antara Persija Jakarta v Persipura Jayapura (2006)
- Wasit terfair play versi Jawa Pos (2007) Read More..
18 Juni 2009
Produktifitas Gol, Ramadhan, dan Suporter
Catatan negatif begitu banyak menghiasi wajah kompetisi Indonesia Super League (ISL) edisi perdana. Saking banyaknya catatan tersebut, label super pun terasa masih sebatas nama. Meski banyak catatan negatif, ISL tahun pertama ini tetap memiliki sisi positif.
Salah satu sisi positif itu adalah tinggi produktifitas gol yang tercipta selama ISL 2008/2009 ini. Sejak dihelat pada 12 Juli 2008 hingga berakhir 10 Juni 2009 telah terlahir 814 gol..Itu artinya setiap pertandingan rata-rata terlahir 2,66 gol. Sebab, ISL 2008/2009 mempertandingkan 306 laga.
”Jika dirata-rata ternyata terdapat lebih dari 2 gol di setiap pertandingan, bagi saya itu berarti produktifitas gol cukup bagus,” sebut Danurwindo, pelatih Persija Jakarta, pada suatu kesempatan.
Ya, jika dibandingkan dengan Liga Indonesia Divisi Utama musim 2004, torehan gol di ISL edisi perdana ini memang jauh lebih baik. Liga Indonesia musim 2004 juga menggunakan sistem satu wilayah seperti ISL. Jumlah kontestannya pun 18, sama dengan peserta ISL.
Pada kompetisi Divisi Utama musim 2004, di akhir laga hanya tercipta 713 gol. Itu artinya ada selisih 101 gol antara yang tertoreh di ISL dengan di Divisi Utama musim 2004.
Dengan jumlah pertandingan 306, maka gol yang dihasilkan di setiap pertandingan hanya 2,3. Hitungan itu tentu menunjukkan kalau produktifitas gol di ISL edisi pertama ini cukup tinggi. ”Rata-rata itu (2,6 gol per pertandingan) menandakan bahwa mayoritas tim-tim ISL memainkan sepak bola menyerang,” kata Suharno, pelatih Persiwa Wamena.
Selain tingginya produktifitas gol, langkah Badan Liga Sepak Bola Indonesia (BLI) menggelar pertandingan pada bulan ramadhan juga menjadi sisi positif lainnya. Hal itu menjadi sejarah tersendiri bagi sepak bola Indonesia. Sebab, selama ini, kompetisi di Indonesia selalu berhenti lebih dari sebulan ketika memasuki ramadhan.
6 September 2008 menjadi sejarah baru sepak bola Indonesia tersebut. Untuk kali pertama kompetisi sepak bola nasional digulirkan pada bulan Ramadhan. Laga Persik Kediri lawan PSM Makassar di Stadion Brawijaya, Kediri menjadi pembuka.
Awalnya, banyak pihak yang tidak yakin dengan gebrakan BLI tersebut. Banyak yang meragukan kualitas pertandingannya. Tidak sedikit pula yang pesimis dengan antusiasme penonton. Tapi, prediksi tersebut langsung terbantahkan di hari pertama pertandingan di bulan Ramadhan.
Duel Persik kontra PSM berjalan menarik. Bahkan, tuan rumah nyaris dibuat malu oleh tim tamu. Penonton yang hadir di Stadion Brawijaya pun tidak bisa dibilang sedikit. Dari data BLI, tercatat ada enam ribu penonton. Di lapangan jumlahnya jelas berbeda. Sebab, waktu itu nyaris semua tribun Stadion Brawijaya terisi. Kapasitan stadion di tepi Kali Brantas itu sendiri berkisar 15.000.
Secara keseluruhan, pertandingan di Ramadhan berlangsung seru. Dari 37 laga selama Ramadhan terlahir 94 gol. Artinya di setiap pertandingan rata-rata tercipta 2,5 gol. Hanya saja, pertandingan di bulan Ramadhan tetap menyisakan secuil catatan. Itu terakit jadwalnya yang terlalu padat.
Bayangkan, dalam tiga pekan Ramadhan, rata-rata pemain harus melakoni lima pertandingan. Itu artinya setiap empat hari sekali para pemain harus menjalani pertandingan. Yang memberatkan, jarak antara satu tempat pertandingan dengan tempat lainnya cukup berjauhan. Kondisi itu tentu harus menjadi bahan evaluasi untuk musim depan.
”Berat memang menjalani kompetisi pada bulan Ramadhan. Tapi, justru pertandingannya sangat menantang. Saya rasa bukan sesuatu yang salah, jika langkah ini dilanjutkan,” ungkap pelatih asal Malaysia Raja Isa yang sempat membesut PSM dan Persipura.
Keberanian BLI itu menggelar pertandingan di bulan ramadhan juga menjadi bukti betapa antuasinya penonton Indonesia. Ya, selama pertandingan di bulan ramadhan, penonton animo masyarakat datang ke stadion tetap tinggi.
BLI mencatat ada 363.816 penonton yang hadir di stadion selama ramadhan. Jika dirata-rata, maka setiap pertandingan dihadiri sekitar 9832 penonton. Jumlah yang tidak kecil. Pasalnya, rata-rata stadion di Indonesia kapasitasnya 15 ribu. Jadi, jumlah tersebut sama artinya separo lebih dari kapasitas stadion.
Angkat Topi Untuk Suporter
Bicara penonton atau suporter, bagi saya merekalah yang paling dewasa di ISL edisi perdana. Memang masih ada kerusuhan yang ditimbulkan suporter. Setidaknya ada tiga kerusuhan besar yang meletup.
Seperti aksi brutal suporter Persib Bandung saat timnya kalah dari Persija di Stadion Siliwangi, Bandung (20/7/08). Akibat ulah bobotoh-sebutan suporter Persib-pertandingan sempat terhenti sekitar 15 menit. Selain itu juga ada ulah pendukung Arema Malang di akhir laga Arema kontra PKT Bontang (13/9/08).
Kerusuhan lebih parah meletus di Makassar. Tak terima timnya kalah dari Persela (15/9/08), ribuan suporter PSM masuk ke lapangan. Mereka merusak beberapa fasilitas stadion. Seperti pagar pembatas, tembok stadion, gawang, maupun aboard.
Kendati begitu, secara umum mereka jauh lebih baik daripada komponen lainnya yang terlibat di ISL. Bandingkan saja dengan perangkat pertandingan. Dari catatan komisi disiplin (Komdis) hanya sedikit saja keputusan yang bersinggungan dengan penonton.
Sebaliknya, terdapat sembilan pengawas pertandingan (PP) yang dikembalikan ke BWSI. Satu diantara sembilan PP itu bahkan diistirahtakan selama satu tahun. Dan terdapat tujuh wasit yang dikembalikan ke BWSI. Kinerja mereka juga masih banyak yang amburadul. Tidak sedikit pula-meminjam istilah Direktur Kompetisi BLI Joko Driyono-wasit yang masuk angin. Bahkan, di ISL ini, ada wasit yang memukul offisial tim. Wasit itu adalah Yandri yang memukul asisten manajer PSM.
Pemain dan offsial tim juga setali tiga uang dengan perangkat pertandingan. Sepanjang ISL edisi perdana, banyak sekali terjadi perkelahian antarpemain dan juga aksi brutal offisial tim. Bahkan, dimusim ini tercatat tiga kali fairplay dikebiri oleh pemain. Yakni oleh James Debbah (PKT) dan Buston Browne (Arema) yang mencetak gol dengan mengindahkan etika fairplay.
Adapula, aksi protes ala pemain Persib kala dijamu Persitara Jakarta Utara di Stadion Surajaya, Lamongan (2/6/09). Karena kecewa terhadap wasit, mereka membiarkan gawangnya dibobol lawan. Pada lima menit akhir pertandingan, pemain Persib malah aksi duduk, tidur, dan berdiam diri di lapangan.
BLI dan PSSI pun tak jauh beda. BLI masih saja terlalu toleran dalam memberlakukan aturan. Tak kurang dari 70 kali mereka mengubah jadwal. PSSI. Otoritas sepak bola Indonesia itu melalui sang ketua umum Nurdin Halid malah menginjak aturan yang mereka buat sendiri. Hal itu seiring diterbitkannya pengampunan kepada beberapa orang bermasalah.
Seperti dibebaskannya Christian Gonzalez dari skorsing satu tahun dan juga kiper muda Kurnia Meiga Hermasyah. Demikian juga dengan dibebaskannya general manajer PSIS Yoyok Sukawi.
Jadi, penontonlah atau suporterlah yang lebih layak diberi apresiasi. Apalagi, di akhir kompetisi mereka juga menutupnya dengan sangat indah. Dimana, dua suporter yang selama ini bermusuhan-Jakmania (suporter Persija) dan Viking (kelompok suporter Persib)-bertemu di Stadion Gajayana, Malang.
Tak ada gesekan. Tak ada tawuran. Yang ada, keduanya beradu kreasi, beradu suara, beradu semangat dalam mendukung tim kesayangannya yang berlaga di atas lapangan. Read More..
Salah satu sisi positif itu adalah tinggi produktifitas gol yang tercipta selama ISL 2008/2009 ini. Sejak dihelat pada 12 Juli 2008 hingga berakhir 10 Juni 2009 telah terlahir 814 gol..Itu artinya setiap pertandingan rata-rata terlahir 2,66 gol. Sebab, ISL 2008/2009 mempertandingkan 306 laga.
”Jika dirata-rata ternyata terdapat lebih dari 2 gol di setiap pertandingan, bagi saya itu berarti produktifitas gol cukup bagus,” sebut Danurwindo, pelatih Persija Jakarta, pada suatu kesempatan.
Ya, jika dibandingkan dengan Liga Indonesia Divisi Utama musim 2004, torehan gol di ISL edisi perdana ini memang jauh lebih baik. Liga Indonesia musim 2004 juga menggunakan sistem satu wilayah seperti ISL. Jumlah kontestannya pun 18, sama dengan peserta ISL.
Pada kompetisi Divisi Utama musim 2004, di akhir laga hanya tercipta 713 gol. Itu artinya ada selisih 101 gol antara yang tertoreh di ISL dengan di Divisi Utama musim 2004.
Dengan jumlah pertandingan 306, maka gol yang dihasilkan di setiap pertandingan hanya 2,3. Hitungan itu tentu menunjukkan kalau produktifitas gol di ISL edisi pertama ini cukup tinggi. ”Rata-rata itu (2,6 gol per pertandingan) menandakan bahwa mayoritas tim-tim ISL memainkan sepak bola menyerang,” kata Suharno, pelatih Persiwa Wamena.
Selain tingginya produktifitas gol, langkah Badan Liga Sepak Bola Indonesia (BLI) menggelar pertandingan pada bulan ramadhan juga menjadi sisi positif lainnya. Hal itu menjadi sejarah tersendiri bagi sepak bola Indonesia. Sebab, selama ini, kompetisi di Indonesia selalu berhenti lebih dari sebulan ketika memasuki ramadhan.
6 September 2008 menjadi sejarah baru sepak bola Indonesia tersebut. Untuk kali pertama kompetisi sepak bola nasional digulirkan pada bulan Ramadhan. Laga Persik Kediri lawan PSM Makassar di Stadion Brawijaya, Kediri menjadi pembuka.
Awalnya, banyak pihak yang tidak yakin dengan gebrakan BLI tersebut. Banyak yang meragukan kualitas pertandingannya. Tidak sedikit pula yang pesimis dengan antusiasme penonton. Tapi, prediksi tersebut langsung terbantahkan di hari pertama pertandingan di bulan Ramadhan.
Duel Persik kontra PSM berjalan menarik. Bahkan, tuan rumah nyaris dibuat malu oleh tim tamu. Penonton yang hadir di Stadion Brawijaya pun tidak bisa dibilang sedikit. Dari data BLI, tercatat ada enam ribu penonton. Di lapangan jumlahnya jelas berbeda. Sebab, waktu itu nyaris semua tribun Stadion Brawijaya terisi. Kapasitan stadion di tepi Kali Brantas itu sendiri berkisar 15.000.
Secara keseluruhan, pertandingan di Ramadhan berlangsung seru. Dari 37 laga selama Ramadhan terlahir 94 gol. Artinya di setiap pertandingan rata-rata tercipta 2,5 gol. Hanya saja, pertandingan di bulan Ramadhan tetap menyisakan secuil catatan. Itu terakit jadwalnya yang terlalu padat.
Bayangkan, dalam tiga pekan Ramadhan, rata-rata pemain harus melakoni lima pertandingan. Itu artinya setiap empat hari sekali para pemain harus menjalani pertandingan. Yang memberatkan, jarak antara satu tempat pertandingan dengan tempat lainnya cukup berjauhan. Kondisi itu tentu harus menjadi bahan evaluasi untuk musim depan.
”Berat memang menjalani kompetisi pada bulan Ramadhan. Tapi, justru pertandingannya sangat menantang. Saya rasa bukan sesuatu yang salah, jika langkah ini dilanjutkan,” ungkap pelatih asal Malaysia Raja Isa yang sempat membesut PSM dan Persipura.
Keberanian BLI itu menggelar pertandingan di bulan ramadhan juga menjadi bukti betapa antuasinya penonton Indonesia. Ya, selama pertandingan di bulan ramadhan, penonton animo masyarakat datang ke stadion tetap tinggi.
BLI mencatat ada 363.816 penonton yang hadir di stadion selama ramadhan. Jika dirata-rata, maka setiap pertandingan dihadiri sekitar 9832 penonton. Jumlah yang tidak kecil. Pasalnya, rata-rata stadion di Indonesia kapasitasnya 15 ribu. Jadi, jumlah tersebut sama artinya separo lebih dari kapasitas stadion.
Angkat Topi Untuk Suporter
Bicara penonton atau suporter, bagi saya merekalah yang paling dewasa di ISL edisi perdana. Memang masih ada kerusuhan yang ditimbulkan suporter. Setidaknya ada tiga kerusuhan besar yang meletup.
Seperti aksi brutal suporter Persib Bandung saat timnya kalah dari Persija di Stadion Siliwangi, Bandung (20/7/08). Akibat ulah bobotoh-sebutan suporter Persib-pertandingan sempat terhenti sekitar 15 menit. Selain itu juga ada ulah pendukung Arema Malang di akhir laga Arema kontra PKT Bontang (13/9/08).
Kerusuhan lebih parah meletus di Makassar. Tak terima timnya kalah dari Persela (15/9/08), ribuan suporter PSM masuk ke lapangan. Mereka merusak beberapa fasilitas stadion. Seperti pagar pembatas, tembok stadion, gawang, maupun aboard.
Kendati begitu, secara umum mereka jauh lebih baik daripada komponen lainnya yang terlibat di ISL. Bandingkan saja dengan perangkat pertandingan. Dari catatan komisi disiplin (Komdis) hanya sedikit saja keputusan yang bersinggungan dengan penonton.
Sebaliknya, terdapat sembilan pengawas pertandingan (PP) yang dikembalikan ke BWSI. Satu diantara sembilan PP itu bahkan diistirahtakan selama satu tahun. Dan terdapat tujuh wasit yang dikembalikan ke BWSI. Kinerja mereka juga masih banyak yang amburadul. Tidak sedikit pula-meminjam istilah Direktur Kompetisi BLI Joko Driyono-wasit yang masuk angin. Bahkan, di ISL ini, ada wasit yang memukul offisial tim. Wasit itu adalah Yandri yang memukul asisten manajer PSM.
Pemain dan offsial tim juga setali tiga uang dengan perangkat pertandingan. Sepanjang ISL edisi perdana, banyak sekali terjadi perkelahian antarpemain dan juga aksi brutal offisial tim. Bahkan, dimusim ini tercatat tiga kali fairplay dikebiri oleh pemain. Yakni oleh James Debbah (PKT) dan Buston Browne (Arema) yang mencetak gol dengan mengindahkan etika fairplay.
Adapula, aksi protes ala pemain Persib kala dijamu Persitara Jakarta Utara di Stadion Surajaya, Lamongan (2/6/09). Karena kecewa terhadap wasit, mereka membiarkan gawangnya dibobol lawan. Pada lima menit akhir pertandingan, pemain Persib malah aksi duduk, tidur, dan berdiam diri di lapangan.
BLI dan PSSI pun tak jauh beda. BLI masih saja terlalu toleran dalam memberlakukan aturan. Tak kurang dari 70 kali mereka mengubah jadwal. PSSI. Otoritas sepak bola Indonesia itu melalui sang ketua umum Nurdin Halid malah menginjak aturan yang mereka buat sendiri. Hal itu seiring diterbitkannya pengampunan kepada beberapa orang bermasalah.
Seperti dibebaskannya Christian Gonzalez dari skorsing satu tahun dan juga kiper muda Kurnia Meiga Hermasyah. Demikian juga dengan dibebaskannya general manajer PSIS Yoyok Sukawi.
Jadi, penontonlah atau suporterlah yang lebih layak diberi apresiasi. Apalagi, di akhir kompetisi mereka juga menutupnya dengan sangat indah. Dimana, dua suporter yang selama ini bermusuhan-Jakmania (suporter Persija) dan Viking (kelompok suporter Persib)-bertemu di Stadion Gajayana, Malang.
Tak ada gesekan. Tak ada tawuran. Yang ada, keduanya beradu kreasi, beradu suara, beradu semangat dalam mendukung tim kesayangannya yang berlaga di atas lapangan. Read More..
16 Juni 2009
Super Baru Sebatas Nama
Indonesia Super League (ISL) edisi perdana telah berakhir Rabu 10 Juni lalu. Strata tertinggi kompetisi sepak bola Indonesia itu ditutup meriah dan diwarnai hujan gol. Selain itu, ISL edisi perdana juga berakhir dengan banyak catatan.
Perhelatan pertama ISL kali ini terasa begitu manis bagi publik Papua. Betapa tidak, beragam gelar berhasil diboyong ke Bumi Cenderawasih. Persipura Jayapura ditahbiskan diri sebagai juara. Saudara mudanya-Persiwa Wamena-sukses merebut posisi runner up.
Putra Papua, Boaz Boaz Theofilius Erwin Solossa dinobatkan sebagai pemain terbaik. Mutiara dari Sorong itu juga berhasil menyabet gelar pencetak gol terbanyak alias top skor. Mengoleksi 28 gol, Boaz bersanding dengan striker Persib Bandung Christian Gonzalez dalam daftar top skor.
Selain ujung ISL edisi perdana yang dihelat dari 12 Juli 2008 hingga 10 Juni 2009 terasa manis bagi tanah Papua, akhir ajang tersebut juga sangat meriah. Saat penutupan di Stadion Mandala, Jayapura, tak kurang dari 30.000 orang hadir. Situasi yang tentu sangat kontras dibanding akhir Liga Indonesia 2007 yang ditutup tanpa kehadiran penonton. Pesta penobatan Sriwijaya FC Palembang sebagai juara pascamenekuk PSMS Medan 3-1 di Stadion Jalak Haraupat, Bandung kala itupun terasa hambar.
Yang tak kalah menarik, akhir ISL edisi perdana juga ditutup dengan hujan gol. 36 gol tercipta dipertandingan terakhir. Persiwa, Deltras Sidoarjo, Persiba Balikpapan, dan juga PKT Bontang bahkan berhasil menyuguhkan lima gol kepada para pendukungnya di laga terakhir.
Namun, akhir yang manis itu, tetap tidak bisa mengimbangi banyaknya catatan negatif pada ISL edisi pertama ini. Saking banyaknya catatan tersebut ISL musim pertama ini terasa jauh dari kata sempurna. Status super yang melekat pada ISL pun terasa baru sebatas nama.
Banyak hal yang menggambarkan betapa tidak supernya ISL yang berstatus super. Bahkan, catatan negatif bahkan sudah tertoreh sejak awal ISL digulirkan. Tepatnya mulai saat BLI melakukan verifikasi para calon kontestan ISL.
Ada lima aspek yang diverifikasi BLI. Aspek infrastruktur, finansial, legal, personal dan administrasi, serta sporting. Ketika proses verifikasi BLI terlihat serius. Apalagi, mereka berani mengeliminasi Persim Minahasa dan Persiter Ternate yang dilihat tidak memenuhi persyaratan.
Namun, keberanian itu terasa hambar saat PSSI memutuskan ada pergantian terhadap dua tim yang tereliminasi. Dimana, PKT Bontang dan PSIS Semarang ditetapkan sebagai pengganti. Kehambaran semakin terasa tatkala BLI meloloskan PSMS Medan, Persita Tangerang, dan Persitara Jakarta Utara untuk berlaga di ISL.
Padahal, stadion ketiganya tidak memenuhi syarat. Ketika kompetisi berjalan, ketiganya pun berpindah-pindah stadion saat menjamu tamu-tamunya. Hal itu bukan saja menyulitkan ketiganya, tapi juga tim lawan.
Awal kompetisi, juga ternoda dengan sikap BLI yang memperbolehkan beberapa pelatih yang masih berlisensi B memimpin tim. Padahal, dalam aturan, yang boleh melatih tim ISL adalah pelatih yang berlisensi A. Mereka yang sejatinya belum berlisensi A pada awal musim antara lain Jaya Hartono (Persib), Suharno (Persiwa), M. Basri (Persela Lamongan), serta Mustaqim (PKT Bontang).
Memasuki musim kompetisi, sisi negatif ISL semakin banyak. Salah satunya kambuhnya penyakit lama BLI yang senantiasa melakukan perubahan jadwal. Hingga akhir kompetisi tercatat tak kurang dari 70 kali BLI melakukan perubahan jadwal. Situasi itupun memunculkan lelucon yang cukup memerahkan telinga. Beberapa orang menanggap bahwa ada lima hal yang tidak bisa diprediksi. Selain lahir, mati, jodoh, dan rejeki, juga jadwal kompetisi Indonesia (termasuk ISL).
Memang sih, BLI mendapat kesulitan besar untuk menjalankan jadwal ideal untuk ISL edisi perdana. Sebab, di tengah-tengah ISL perdana bergulir pula pemilihan umum (Pemilu). Dan tidak bisa dipungkiri bahwa sebagian besar perubahan jadwal itu akibat dari agenda pemilu.
Di masa proses pemilu, banyak klub yang kesulitan mendapatkan ijin pertandingan. BLI sempat mengajukan opsi menggelar sentralisasi di Jawa Timur. Klub sempat setuju. Tapi, semua menjadi mentah kembali karena sikap naif penguasa PSSI. Alhasil, perjalanan kompetisi sempat amburadul. Ada klub yang tetap bisa terus menjalankan pertandingan. Tidak sedikit pula yang harus istirahat lama.
Meski memuakkan, tapi saya tetap bisa ”sedikit” memaklumi adanya banyak perubahan jadwal karena Pemilu. Tapi, saya menjadi dongkol dengan adanya perubahan jadwal karena agenda tim nasional. Seperti yang terjadi pada Januari 2009. ISL harus berhenti lantaran PSSI ingin mengutamakan pemusatan latihan tim nasional.
Sebuah fakta yang menunjukkan betapa buruknya manajemen PSSI. Agenda tim nasional kan di arena internasional kan jauh-jauh hari sudah mereka ketahui. Jadi, seharusnya mereka sudah melakukan sinkronisasi agenda tim nasional dengan kompetisi nasional.
Sikap PSSI yang seenaknya mengubah jadwal lantaran tim nasional juga menunjukkan betapa naifnya mereka menghargai klub. Jika PSSI kumpulan orang profesional, selayaknya mereka paham bahwa klub harus diistimewakan. Sebab, mereka pemilik kompetisi sekaligus penggerak sepak bola.
Kembali ke catatan negatif ISL, perubahan jadwal bukan satu-satunya masalah di tengah kompetisi. Masih ada deretan catatan lainnya. Antara lain kepemimpinan wasit yang buruk, perkelahian antarpemain, hingga aksi anarkis penonton.
Bahkan, di tengah kompetisi juga muncul fenomena baru. Dimana, offisial tim yang senang menganiaya perangkat pertandingan. Seperti yang diperlihatkan Yoyok Sukawi dari PSIS Semarang atau Ekoyono Hartono (Arema Malang). Keduanya berusaha menganiaya wasit di tengah lapangan.
Yang lebih menyedihkan adalah dikebirinya fair play. Di ISL musim pertama ini tercatat tiga kali fairplay dikebiri oleh pemain. Yakni oleh James Debbah (PKT) dan Buston Browne (Arema) yang mencetak gol dengan mengindahkan etika fairplay.
Adapula, aksi protes ala pemain Persib kala dijamu Persitara Jakarta Utara di Stadion Surajaya, Lamongan (2/6/09). Karena kecewa terhadap perangkat pertandingan, mereka membiarkan gawangnya dibobol lawan. Pada lima menit akhir pertandingan, pemain Persib memilih berdiam diri di atas lapangan, duduk-duduk, dan beberapa diantaranya tiduran.
Super sekedar status semakin kental terasa dengan melimpahnya keputusan komisi disiplin (Komdis) PSSI. Hingga sidangnya pada 6 Mei, ada 135 keputusan. Jumlah itupun masih bisa bertambah. Sebab, pada 24 Juni nanti Komdis berencana menyidangkan sembilan kasus lagi.
Dengan angka yang ada sekarang ini saja (135) sudah memperlihatkan betapa tingginya angka pelanggaran. Sesuatu yang ironis. Dengan status kompetisi profesional dan menempati kasta tertinggi di pentas sepak bola Indonesia, sudah seharusnya memang pelanggaran disiplin tidak terlalu banyak. Sebab, para pelakunya tentu sudah lagi pernah membaca aturan permainan sepak bola atau laws of the game.
Namun, mereka juga sudah semestinya telah memahami aturan-aturan yang tertuang. Tidak hanya sampai di situ, para pelaku Djarum ISL tentu juga wajib menjalankan dan mematuhi segala hal yang tertuang dalam laws aturan permainan sepak bola.
Dengan begitu, seharusnya pelanggaran disiplin di Djarum ISL angkanya minim. Bukannya setinggi seperti saat ini. Fakta yang tersaji dari hasil sidang Komdis tersebut tentu menjadi ironi.
Tapi, itulah ISL musim ini. Buruk dan masih jauh dari kata super. Kendati begitu, saya tetap harus menikmatinya sebagai sejarah. Saya pun tidak pantas untuk marah dan mengolok-olok. Apalagi, ini masih kompetisi musim pertama.
Akhirnya, ini semua harus dijadikan bekal berharga untuk menatap ISL musim-musim berikutnya. Selain itu juga selamat buat tanah Papua serta selamat jalan Deltras, Persita Tangerang, dan PSIS. Mungkin juga selamat jalan PSMS Medan. Dan selamat datang Persisam Samarinda, Persema Malang, PSPS Pekanbaru, serta mungkin Persebaya Surabaya di ISL musim depan. Read More..
Perhelatan pertama ISL kali ini terasa begitu manis bagi publik Papua. Betapa tidak, beragam gelar berhasil diboyong ke Bumi Cenderawasih. Persipura Jayapura ditahbiskan diri sebagai juara. Saudara mudanya-Persiwa Wamena-sukses merebut posisi runner up.
Putra Papua, Boaz Boaz Theofilius Erwin Solossa dinobatkan sebagai pemain terbaik. Mutiara dari Sorong itu juga berhasil menyabet gelar pencetak gol terbanyak alias top skor. Mengoleksi 28 gol, Boaz bersanding dengan striker Persib Bandung Christian Gonzalez dalam daftar top skor.
Selain ujung ISL edisi perdana yang dihelat dari 12 Juli 2008 hingga 10 Juni 2009 terasa manis bagi tanah Papua, akhir ajang tersebut juga sangat meriah. Saat penutupan di Stadion Mandala, Jayapura, tak kurang dari 30.000 orang hadir. Situasi yang tentu sangat kontras dibanding akhir Liga Indonesia 2007 yang ditutup tanpa kehadiran penonton. Pesta penobatan Sriwijaya FC Palembang sebagai juara pascamenekuk PSMS Medan 3-1 di Stadion Jalak Haraupat, Bandung kala itupun terasa hambar.
Yang tak kalah menarik, akhir ISL edisi perdana juga ditutup dengan hujan gol. 36 gol tercipta dipertandingan terakhir. Persiwa, Deltras Sidoarjo, Persiba Balikpapan, dan juga PKT Bontang bahkan berhasil menyuguhkan lima gol kepada para pendukungnya di laga terakhir.
Namun, akhir yang manis itu, tetap tidak bisa mengimbangi banyaknya catatan negatif pada ISL edisi pertama ini. Saking banyaknya catatan tersebut ISL musim pertama ini terasa jauh dari kata sempurna. Status super yang melekat pada ISL pun terasa baru sebatas nama.
Banyak hal yang menggambarkan betapa tidak supernya ISL yang berstatus super. Bahkan, catatan negatif bahkan sudah tertoreh sejak awal ISL digulirkan. Tepatnya mulai saat BLI melakukan verifikasi para calon kontestan ISL.
Ada lima aspek yang diverifikasi BLI. Aspek infrastruktur, finansial, legal, personal dan administrasi, serta sporting. Ketika proses verifikasi BLI terlihat serius. Apalagi, mereka berani mengeliminasi Persim Minahasa dan Persiter Ternate yang dilihat tidak memenuhi persyaratan.
Namun, keberanian itu terasa hambar saat PSSI memutuskan ada pergantian terhadap dua tim yang tereliminasi. Dimana, PKT Bontang dan PSIS Semarang ditetapkan sebagai pengganti. Kehambaran semakin terasa tatkala BLI meloloskan PSMS Medan, Persita Tangerang, dan Persitara Jakarta Utara untuk berlaga di ISL.
Padahal, stadion ketiganya tidak memenuhi syarat. Ketika kompetisi berjalan, ketiganya pun berpindah-pindah stadion saat menjamu tamu-tamunya. Hal itu bukan saja menyulitkan ketiganya, tapi juga tim lawan.
Awal kompetisi, juga ternoda dengan sikap BLI yang memperbolehkan beberapa pelatih yang masih berlisensi B memimpin tim. Padahal, dalam aturan, yang boleh melatih tim ISL adalah pelatih yang berlisensi A. Mereka yang sejatinya belum berlisensi A pada awal musim antara lain Jaya Hartono (Persib), Suharno (Persiwa), M. Basri (Persela Lamongan), serta Mustaqim (PKT Bontang).
Memasuki musim kompetisi, sisi negatif ISL semakin banyak. Salah satunya kambuhnya penyakit lama BLI yang senantiasa melakukan perubahan jadwal. Hingga akhir kompetisi tercatat tak kurang dari 70 kali BLI melakukan perubahan jadwal. Situasi itupun memunculkan lelucon yang cukup memerahkan telinga. Beberapa orang menanggap bahwa ada lima hal yang tidak bisa diprediksi. Selain lahir, mati, jodoh, dan rejeki, juga jadwal kompetisi Indonesia (termasuk ISL).
Memang sih, BLI mendapat kesulitan besar untuk menjalankan jadwal ideal untuk ISL edisi perdana. Sebab, di tengah-tengah ISL perdana bergulir pula pemilihan umum (Pemilu). Dan tidak bisa dipungkiri bahwa sebagian besar perubahan jadwal itu akibat dari agenda pemilu.
Di masa proses pemilu, banyak klub yang kesulitan mendapatkan ijin pertandingan. BLI sempat mengajukan opsi menggelar sentralisasi di Jawa Timur. Klub sempat setuju. Tapi, semua menjadi mentah kembali karena sikap naif penguasa PSSI. Alhasil, perjalanan kompetisi sempat amburadul. Ada klub yang tetap bisa terus menjalankan pertandingan. Tidak sedikit pula yang harus istirahat lama.
Meski memuakkan, tapi saya tetap bisa ”sedikit” memaklumi adanya banyak perubahan jadwal karena Pemilu. Tapi, saya menjadi dongkol dengan adanya perubahan jadwal karena agenda tim nasional. Seperti yang terjadi pada Januari 2009. ISL harus berhenti lantaran PSSI ingin mengutamakan pemusatan latihan tim nasional.
Sebuah fakta yang menunjukkan betapa buruknya manajemen PSSI. Agenda tim nasional kan di arena internasional kan jauh-jauh hari sudah mereka ketahui. Jadi, seharusnya mereka sudah melakukan sinkronisasi agenda tim nasional dengan kompetisi nasional.
Sikap PSSI yang seenaknya mengubah jadwal lantaran tim nasional juga menunjukkan betapa naifnya mereka menghargai klub. Jika PSSI kumpulan orang profesional, selayaknya mereka paham bahwa klub harus diistimewakan. Sebab, mereka pemilik kompetisi sekaligus penggerak sepak bola.
Kembali ke catatan negatif ISL, perubahan jadwal bukan satu-satunya masalah di tengah kompetisi. Masih ada deretan catatan lainnya. Antara lain kepemimpinan wasit yang buruk, perkelahian antarpemain, hingga aksi anarkis penonton.
Bahkan, di tengah kompetisi juga muncul fenomena baru. Dimana, offisial tim yang senang menganiaya perangkat pertandingan. Seperti yang diperlihatkan Yoyok Sukawi dari PSIS Semarang atau Ekoyono Hartono (Arema Malang). Keduanya berusaha menganiaya wasit di tengah lapangan.
Yang lebih menyedihkan adalah dikebirinya fair play. Di ISL musim pertama ini tercatat tiga kali fairplay dikebiri oleh pemain. Yakni oleh James Debbah (PKT) dan Buston Browne (Arema) yang mencetak gol dengan mengindahkan etika fairplay.
Adapula, aksi protes ala pemain Persib kala dijamu Persitara Jakarta Utara di Stadion Surajaya, Lamongan (2/6/09). Karena kecewa terhadap perangkat pertandingan, mereka membiarkan gawangnya dibobol lawan. Pada lima menit akhir pertandingan, pemain Persib memilih berdiam diri di atas lapangan, duduk-duduk, dan beberapa diantaranya tiduran.
Super sekedar status semakin kental terasa dengan melimpahnya keputusan komisi disiplin (Komdis) PSSI. Hingga sidangnya pada 6 Mei, ada 135 keputusan. Jumlah itupun masih bisa bertambah. Sebab, pada 24 Juni nanti Komdis berencana menyidangkan sembilan kasus lagi.
Dengan angka yang ada sekarang ini saja (135) sudah memperlihatkan betapa tingginya angka pelanggaran. Sesuatu yang ironis. Dengan status kompetisi profesional dan menempati kasta tertinggi di pentas sepak bola Indonesia, sudah seharusnya memang pelanggaran disiplin tidak terlalu banyak. Sebab, para pelakunya tentu sudah lagi pernah membaca aturan permainan sepak bola atau laws of the game.
Namun, mereka juga sudah semestinya telah memahami aturan-aturan yang tertuang. Tidak hanya sampai di situ, para pelaku Djarum ISL tentu juga wajib menjalankan dan mematuhi segala hal yang tertuang dalam laws aturan permainan sepak bola.
Dengan begitu, seharusnya pelanggaran disiplin di Djarum ISL angkanya minim. Bukannya setinggi seperti saat ini. Fakta yang tersaji dari hasil sidang Komdis tersebut tentu menjadi ironi.
Tapi, itulah ISL musim ini. Buruk dan masih jauh dari kata super. Kendati begitu, saya tetap harus menikmatinya sebagai sejarah. Saya pun tidak pantas untuk marah dan mengolok-olok. Apalagi, ini masih kompetisi musim pertama.
Akhirnya, ini semua harus dijadikan bekal berharga untuk menatap ISL musim-musim berikutnya. Selain itu juga selamat buat tanah Papua serta selamat jalan Deltras, Persita Tangerang, dan PSIS. Mungkin juga selamat jalan PSMS Medan. Dan selamat datang Persisam Samarinda, Persema Malang, PSPS Pekanbaru, serta mungkin Persebaya Surabaya di ISL musim depan. Read More..
Langganan:
Postingan (Atom)