29 Juni 2010

Mereka yang Berambut Gondrong

Ajine rogo soko busono. Wibawa sesorang datang penampilannya. Falsafah Jawa itu begitu agung dan diagungkan. Masih banyak diantara kita yang sering memandang sesama dari cara berpakaiannya. Mereka yang rapi begitu dihormati. Senantiasa didahulukan. Bahkan, diagungkan.

Hal sebaliknya berlaku bagi yang tak rapi-lebih-lebih mereka yang berambut gondorong. Pandangan penuh curiga acapkali dialamatkan kepada mereka. Label urakan disematkan. Bahkan, seringkali mereka yang berambut gondrong tak diberi tempat.

Di lapangan hijau, cerita tentang itu pernah terjadi. Daniel Passarella menjadi lakonnya. Kala memimpin Argentina berlaga di Piala Dunia 1998, dia membuat keputusan yang mencemaskan publik negeri paling selatan di Amerika Latin tersebut. Passarella memutuskan tidak akan membawa pemain-pemain berambut gondrong ke Prancis.


Sontak, suara sumbang berdatangan dari seantero Argentina. Mereka cemas tim Tango tak bakal berbuat banyak di Prancis. Kecemasan yang wajar. Pasalnya, kala itu talenta-talenta terbaik justru banyak yang berambut gondrong.

Sebut saja striker sarat pengalaman Claudio Caniggia. Adapula salah satu gelandang bertahan terbaik dunia Fernando Redondo yang baru saja mengantarkan Real Madrid bertahta di Liga Champions. Atau striker yang sedang bersinar, bukan saja di Serie A, tapi juga di Eropa-Gabriel Omar Batistuta. Nama yang sudah dianggap Dewa oleh suporter Fiorentina.

Kendati begitu, Passarella bertahan. Dia bersikukuh tidak memberi tempat pada pemain-pemain gondrong di tim asuhannya. Batistuta akhirnya mengalah. Batigol memotong rambutnya. Passarella pun membalas dengan manis. Garansi tempat utama diberikan kepada Batigol. Tak hanya itu ban kapten pun disematkan di bahunya.

Hal berbeda ditunjukkan Redondo. Gelandang kidal itu membiarkan rambutnya panjang. Meski Redondo tahu konsekuensinya-tidak akan berlaga di Piala Dunia 1998. ”Bukannya saya tidak cinta Argentina. Tapi, apakah yang berhak membela Argentina hanya pemain-pemain yang berambut rapi,” tanya pemain sempat berkostum AC Milan itu.

Kata-kata yang meluncur dari mulut Redondo, bukan hanya sekedar pertanyaan. Itu juga sikap. Bukan saja ditujukan kepada Passarella dan Argentina semata. Tapi juga kepada dunia. Dengan pertanyaan itu, Redondo ingin menegaskan bahwa semua manusia punya hak yang sama membela negaranya. Apalagi dalam hal sepak bola. Kualitaslah yang menjadi ukuran. Bukan soal penampilan rambut.

Dan pertanyaan Redondo itu sepertinya menjadi benar. Tatkala, dengan pemain-pemain berambut rapi, Argentina justru tidak banyak bicara di Prancis. Anak-anak negeri Pegunungan Andes itu sudah harus pulang sebelum final. Langkah Argentina hanya sampai perempatfinal. Belanda mengirim mereka pulang setelah membuat Argentina takluk 1-2.

Pertanyaan Redondo itu dan fakta di Prancis sontak menonjok muka Passarella. Bahwa mereka yang berambut gondrong tak seharusnya dipandang curiga. Toh, sejarah Argentina memberi gambaran indah akan sumbangsih mereka yang berambut gondrong. Kala Argentina kali pertama bersuka cita menjadi juara dunia pada 1978, tidak bisa dipungkiri kalau kunci sukses mereka adalah Mario Kempes. Seorang pemain yang berambut gondrong.

Selain Kempes, tentu masih ada banyak cerita apik lain dari pemain berambut gondrong. Piala Dunia 2006 misalnya. Pemain yang lahir dan besar di Argentina-Mauro Camoranessi-yang berambut gondrong menjadi bagian penting sukses Italia menahbiskan diri sebagai juara dunia untuk keempat kalinya.

Italia juga punya maestro sepak bola bernama Roberto Baggio. Pria asal Caldogno itupun masuk golongan mereka yang berambut gondrong. Sejak usia 21 tahun, Baggio membiarkan rambutnya berkucir bak ekor kuda. Meski berkucir, hati Baggio jauh lebih lembut dibanding Goerge Walter Bush yang senang mengirim tentaranya untuk berperang. Baggio juga jauh lebih bijak dari Benito Musollini yang selalu menindas.

Baggio yang lahir dari keluarga katolik taat, bahkan berani membuat keputusan penting di usia 21. Di usia yang terbilang sangat muda itu, Baggio memutuskan memeluk Budha. Pemain terbaik dunia 1993 tersebut bergabung dengan Soka Gokkai dan memegang teguh prinsip ajaran pendirinya Tsunesabaro Makiguchi.

Bahwasanya Baggio lebih menekankan ketajaman rasio daripda sekedar hafalan ”dan menekankan panggilan hati daripada ketaatan buta,”. Dengan prinsip itu, Baggio berlaku bijak di luar dan dalam lapangan. Dia pun begitu dihormati pendukung Fiorentina. Namanya juga tak akan pernah terhapus di salah sudut Delle Alpin-kandang Juventus. Baggio juga begitu dicintai pendukung Bologna, Brescia, dan tentu saja masyarakat Italia.

Cerita hebat tentang mereka yang berambut gondrong juga datang dari Kolombia. Hingga detik ini, belum ada pemain Kolombia yang mampu menyamai nama Carlos Valderama dan juga Rene Higuita. Dua nama itu telah banyak menginspirasi anak-anak muda Kolombia untuk bermain bola dan menjauhi narkotika. Mereka juga selalu mampu membuat publik Kolombia meninggalkan narkotika-entah sejenak atau selamanya-dan memilih datang ke stadion-tempat dimana Valderama dan Higuita bermain.

Afrika juga punya cerita dari Didier Drogba yang rambutnya juga tidak pendek. Ketika para politisi yang berpenampilan rapi tak kunjung mampu mendamaikan Pantai Gading, Drogba justru berhasil mengajak saudara-saudara meletakkan senjata. Pemain Chelsea itu mampu merangkul orang-orang selatan, utara, barat, timur, dan tengah untuk menjadi satu dibawah bendera Pantai Gading.

*******


Afrika Selatan 2010 kali ini pun menunjukkan kepada kita bahwa mereka yang berambut gondrong tak pantas untuk di pandang curiga. Drogba ada disana. Meski berbalut cedera, dia tetap merumput demi kebanggaan negerinya. Camoranesi juga masih ada di skuad Azzurri. Dia pun masih menjadi bagian penting juara dunia empat kali itu.

Di skuad Italia juga ada Riccardo Montolivo yang juga berambut gondrong. Perannya pun begitu penting bagi Italia. Gelandang asal Fiorentina itu begitu cekatan dalam mengalirkan bola pertama serangan Italia. Montolivo juga begitu sigap menjadi benteng pertama dalam meredam serangan-serangan lawan.

Argentina-negeri Passarella itu-juga membawa banyak pemain berambut gondrong. Bahkan, tempat utama tim Tanggo, separonya dipercayakan kepada mereka. Ada Jonas Guiterrez, Martin Demichelis, dan Sergio Romero. Di sana juga ada Gabriel Heinze yang melambung Argentina lewat sebiji golnya di partai perdana penyisihan grup B saat bertemu Nigeria. Argentina juga memberi kepercayaan kepada Carlos Tevez.

Negara-negara lain pun berangkat dengan membawa mereka yang berambut gondrong. Spanyol mengusung Carlos Puyol dan Sergio Ramos. Diego Forlan dan juga Edinson Cavani menjadi senjata utama Uruguay melewati fase penyisihan grup.

Meksiko mempercayai Giovanni Dos Santos dan Andres Guardado untuk membuat Prancis sebagai juara dunia yang angkat koper paling awal. Portugal memberi ruang kepada Pedro Mendez untuk menjadi jangkar lini tengah. Inggris memasang Glen Johnson serta David James di line up utama.

Dan mereka-jika dikonversikan ke dalam agama-tentu lebih pantas menghuni surga daripada orang-orang berpenampilan rapi, tapi senang memusuhi sesama dengan senjata. Mereka-pemain-pemain berambut gondrong-jauh lebih layak bersanding dengan bidadari daripada orang-orang berdasi yang suka memakan uang milik sesamanya. Sebab, mereka-pemain-pemain berambut gondrong itu-telah berbuat maksimal untuk kehormataan bangsanya.

Pemain-pemain berambut gondrong itu juga telah memberikan kebahagian bukan saja kepada orang-orang yang satu bendera. Mereka juga telah memberikan kebahagian kepada jutaan orang lainnya. Yang sangat mungkin di dalamnya adalah orang-orang yang tertindas, terlupakan, dan dikalahkan.
Read More..

27 Januari 2010

Jonathan Sianturi, Menegakkan Kembali Kejayaan Senam Indonesia

Dunia senam Indonesia begitu identik dengan Jonathan Mangiring Paringhotan Sianturi. Jonathan Sianturi-sapaan akrabnya-tidak sekedar menjadi bagian senam Indonesia. Namun, dia juga merupakan sejarah bagi senam Indonesia.

Waktu terus bergerak. Dan pagi pun telah berlalu. Arena latihan senam di Gedung Senam Gelora Bung Karno, Jakarta pun sudah ditutup. Karena, latihan pagi itu-selasa (19/1) lalu- memang telah usai. Tapi, Jonathan Sianturi tak juga beranjak. Dia tetap bertahan di sana.

”Masih ada yang harus saya kerjakan,” katanya. Usai memimpin latihan pagi itu, Jonathan memang langsung disapa aktivitas lainnya. Pria berusia 38 tahun itu harus mengikuti rapat yang digelar Pengurus Besar Persatuan Senam Indonesia (PB Persani).

Rapat tersebut dilangsungkan di Gedung Senam Gelora Bung Karno. Jonathan harus mengikuti rapat tersebut. Sebab, Jonathan merupakan bagian dari pengurus Persani. ”Saat ini saya memang dipercaya sebagai komisi teknik PB Persani dan juga pelatih Pelatnas,” sebutnya.

Namun, lebih dari itu, Jonathan melangkah ke ruang rapat bukan semata karena jabatannya tersebut. Tapi, keberadaannya di meja rapat juga sebagai bentuk tanggungjawabnya untuk turut mengembalikan kejayaan senam Indonesia.

Pria kelahiran Medan itu ingin menyumbangkan pikiran demi mendorong kemajuan olahraga kelenturan tubuh tersebut. Sebab, tidak bisa dipungkiri bahwa dunia senam Indonesia saat ini dalam situasi memprihatinkan. Perkembangan dan prestasinya dalam sepuluh tahun terakhir terlihat surut.

”Senam itu sudah menjadi irama hidup saya. Nah, saat ini irama tersebut sedang bermasalah. Karena itu, saya punya tanggungjawab untuk memperbaikinya,” ujar Jonathan.

”Saya ingin senam Indonesia kembali berjaya. Saya ingin melihat senam memberi sumbangsih medali emas yang positif bagi Indonesia di multieven olahraga internasion, melebihi apa yang dulu pernah saya lakukan,” tegasnya.

Dunia senam Indonesia memang pernah begitu berjaya. Tepatnya pada era 80-an hingga 90-an. Waktu itu, senam selalu menjadi salah satu lumbung medali emas bagi kontingen Indonesia di setiap kali perhelatan SEA Games.

Dan nama Jonathan Sianturi menjadi ikon kejayaan senam Indonesia kala itu. Jonathan begitu jago hampir di semua nomor senam. Seperti nomor lantai, gelang-gelang, kuda pelana, atau palang tunggal. Prestasi demi prestasi disumbangkannya untuk Merah Putih.

Sejak keikutsertaannya di SEA Games 1985 di Thailand hingga SEA Games 2001 di Malaysia, Jonathan tidak pernah absen menyumbangkan medali.

Hanya pada SEA Games 1985 dan SEA Games 1991 Filipina saja, dia tidak mempersembahkan medali emas untuk Indonesia. Pada dua edisi SEA Games tersebut, Jonathan hanya mampu meraih satu medali perunggu. Hal itu lantaran pada SEA Games1985, Jonathan masih terbilang bau kencur. Sedang pada SEA Games 1991, tulang fibula kirinya patah pada dua bagian.

Namun, di luar dua SEA Games tersebut, Jonathan selalu menyumbang medali emas. Suami Yulianti itu hampir selalu membawa pulang lebih dari satu medali emas. Pada SEA Games 1997 di Jakarta, bahkan Jonathan mampu mendulang lima medali emas.

Nah, setelah Jonathan mundur dari gelanggang selepas SEA Games 2001, prestasi senam Indonesia pun ikut mundur. Senam pun bukan lagi menjadi salah satu lumbung produktif kontingen Indonesia.

”Jelas saya miris dengan kondisi ini. Apalagi, seperti yang sudah saya katakan bahwa senam adalah irama hidup saya. Ini adalah dunia karya saya, karena itu saya tidak ingin prestasi senam Indonesia semakin tenggelam,” tutur Jonathan.

Atas dorongan itu semua Jonathan pun tidak benar-benar pergi dari gelanggang senam selepas mundur sebagai atlet. Pada 2005, Jonathan pun memutuskan sebagai pelatih. Kini dirinya pun telah dipercaya menjadi pelatih nasional.

Hal itu pun membuatnya semakin bersemangat untuk menegakan kembali kejayaan senam Indonesia. ”Ini pekerjaan yang sulit. Saya saya tidak akan menyerah untuk merealisasikannya,” ujarnya.
Read More..

Memulai (lagi) dengan Sepatu

Sudah hampir 10 tahun Hariyanto Arbi gantung raket. Namun, dia tetap tidak pernah jauh dari lapangan bulu tangkis. Bukan lagi sebagai atlet tentunya. Juga tidak sebagai pelatih. Sebab, Hari telah memilih sebagai pengusaha peralatan dan perlengkapan olahraga serta bulu tangkis.

Keringat jatuh dari wajahnya. Rasa lelah juga nampak tergurat dari wajahnya. Namun, pria tersebut belum juga beristirahat. Dia tetap saja mondar-mandir menemui para koleganya. Berbincang dengan rekan satunya, setelah itu bergeser untuk berbicara dengan teman yang lainnya.

Begitulah Hariyanto Arbi-pria itu-di Jumat malam pekan lalu di GOR Bulu Tangkis Asia Afrika, Senayan, Jakarta. Kebetulan malam itu di tempat tersebut digelar turnamen bulu tangkis yang melibatkan dirinya sebagai ketua panitia pertandingan.

”Inilah salah satu kegiataan saya saat ini setelah gantung raket. Tapi, saya tidak merasa lelah. Apalagi, kegiatan ini juga sebagai bagian dari wahana promosi usaha saya,” tutur Hariyanto Arbi.

Hariyanto Arbi merupakan salah satu pebulu tangkis terbaik yang pernah dimiliki Indonesia. Dia lahir di Kudus Jawa Tengah 21 Januari 1972. Hari bertarung di pentas bulu tangkis internasional dari tahun 1990 hingga 2000. Beragam gelar telah direngkuhnya.

Hari dua kali merengkuh gelar juara All England pada 1993 dan 1994. Pada 1994 dan 1995, Hari menahbiskan diri sebagai juara dunia. Putra pasangan (Alm) Arbi-Hastuti tersebut juga turun menjadi bagian sukses Indonesia di Piala Thomas pada 1994, 1996, 1998, dan 2000.

Usai Piala Thomas 2000, Hari memutuskan gantung sepatu. Setelah meninggalkan gelanggang, Hari lantas bergelut di jalur bisnis. Dia membuka usaha. ”Usahanya juga tidak jauh dari dunia yang saya geluti yakni bulu tangkis,” ujarnya.

Bersama dengan beberapa rekannya, Arbi mendirikan perusahaan dengan nama Flypower. Perusahan tersebut didirikan pada tahun 2003. Seperti dikatakan Hari, perusahannya memang bergerak tidak jauh dari bulu tangkis.

Flypower merupakan perusahan penyedia peralatan dan perlengkapan olahraga, khususnya bulu tangkis. Sebut saja seperti sepatu, raket, kaos, bahkan karpet lapangan bulu tangkis. ”Saya memilih berbisnis karena sudah banyak rekan yang menjadi pelatih. Selain itu, ini juga didorong rasa kecewa atas penghargaan pemerintah kepada mantan atlet,” kata Hari.

Setelah berpikir panjang dan berdiskusi dengan beberapa temannya, Hari lalu memutuskan berbisnis dengan mengusung bendera Flypower. ”Produk pertama kami adalah sepatu. Dan ini menjadi andalah kami. Kenapa sepatu? Saya dan teman-teman memilih sepatu karena ini awalnya didasari oleh ketidakadaan sepatu bulu tangkis pada masa itu,” papar Hari.

Hari bercerita dimasa dirinya bermain, belum ada sepatu khusus bulu tangkis. Yang seringkali dipakai para pebulu tangkis dimasanya dan di era sebelumnya adalah sepatu indoor. Fakta itu disebut Hari cukup ironis. Sebab, sudah bermunculan jago-jago bulu tangkis, tapi tidak ada sepatu khusus untuk pebulu tangkis.

Karena itu, Hari pun tergerak untuk memproduksi sepatu khusus bulu tangkis. ”Saya juga tertarik dengan filosofi letak sepatu yang ada di bawah. Ini sesuai dengan status saya saat itu. Dimana, saya memulai usaha ini semua dari bawah, dari nol,” ungkapnya.

Hari memang memulai usahanya dari bawah. Benar-benar dari nol. Dia hanya berbekal keyakinan serta modal uang hasil tabungan saat masih aktif menjadi pemain. Hari menyebut dirinya tidak memiliki ilmu dari bangku sekolah yang cukup tentang manajemen dan pemasaran.

”Saya belajar sambil menjalankan usaha ini. Awalnya cukup berat. Tapi, saya yakin dengan apa yang saya yakini. Dimana, Tuhan pasti akan melihat setiap usaha keras umatnya,” urai Hari.

Hari mengakui bahwa keyakinan itupula yang menjadi kunci suksesnya di arena pertandingan. Sebagai atlet Hari memang sempat divonis mentok di awal karirnya di Pelatnas. Tapi dengan kepercayaan bahwa Tuhan pasti akan melihat usaha keras umatnya tersebut Hari mampu bangkit dan berhasil meraih banyak gelar.

”Hal itupula yang menjadi pegangan saya dalam menekuni bisnis ini,” aku. Hasilnya, Hari menuturkan kalau dari usahanya tersebut dirinya bisa hidup cukup bersama keluarganya. Flypower sendiri kini juga berkembang pesat. Produknya kini tak hanya beredar di Indonesia saja. Tapi juga telah ada di Malaysia, Filipina, Singapura. Bahkan, beredar pula di Jerman, Prancis, dan Guatamala.
Read More..