Suasana Rabu sore (11/3) di salah satu lapangan di Mojolangu, Lowokwaru, Malang begitu berbeda. Puluhan anak asyik memainkan bola di lapangan, sedang puluhan lainnya serius belajar bahasa Inggris di ruang kelas yang berada di bangunan tiga lantai yang terintergasi dengan lapangan tempat puluhan anak bermain bola itu.
”Seperti inilah proses pembelajaran di tempat kami. Tidak hanya sepak bola, tapi kami juga berpikir tentang pendidikan. Kami ingin mencetak pemain plus. Pemain yang bisa jadi leader di lapangan dan lingkungannya,” tegas Nuzul Kifli.
Bersama Aji Santoso, Zulkifli-sapaan akrab Nuzul Kifli-merupakan pendiri Aji Santosa International Football Academy (ASIFA). Salah satu lapangan di sudut Mojolangu yang disebut Zulkifli sebagai tempat pembelajaran itu tidak lain adalah markas ASIFA.
Akademi yang berdiri November 2013 itu lahir dari kegelisahan Aji dan Zulkifli. Keduanya bertemu pada pertengahan 2009. Setiap bercengkerama, keduanya kerap memperbincangkan sepak bola Indonesia. Baik Aji maupun Zulkifli sama-sama merasa prihatin dengan kondisi sepak bola negeri ini. Mereka lantas memutuskan mengambil bagian untuk turut memperbaiki karut-marut sepak bola Indonesia.
”Problem sepak bola kita ada di usia dini. Pembinaan di sini tidak tergarap serius. Kami pun bersepakat untuk melakukan pengembangan usia dini. Sebab, kalau ini tidak digarap, maka kita akan semakin tertinggal,” kata Zulkifli yang juga bertindak sebagai Direktur Operasional ASIFA.
Aji menambahkan kalau hanya berkutat dengan tim nasional senior, prestasi sepak bola Indonesia tidak akan mentas dari keterpurukan. ”Saat tim nasional kita berlatih, tim lainnya juga berlatih. Sulit mengejar mereka kalau pondasinya tidak kuat,” ujar Aji.
Zulkifli menambahkan, dia dan Aji ingin turut membuat ”obat” agar sepak bola Indonesia lebih sehat. ”Perlu diketahui ASIFA ini juga berarti obat,” ungkapnya. Selain akronim dari nama akademi Aji Santoso, ASIFA juga diambil dari bahasa Arab assyifa yang artinya adalah obat.
Sebagai obat untuk sepak bola Indonesia, ASIFA merupakan obat yang tidak murah. Setidaknya jika dibandingkan dengan berbagai sekolah sepak bola atau sejenisnya yang marak di tanah air, baik yang memakai brand lokal maupun hasil ''franchise'' dari klub Eropa.
Betapa tidak, mereka yang menimba ilmu di ASIFA harus mengeluarkan biaya yang tidak kecil. Zulkifli menyebut untuk anak-anak kelompok usia 11 tahun setiap bulannya dibebankan biaya Rp 4 juta. ”Yang di atas 11 tahun biaya Rp 5 jutaan,” sebutnya.
Biaya itu bisa dibilang merupakan yang paling mahal di Indonesia. Sebab, umumnya tempat latihan sepak bola untuk anak-anak hanya menarik biaya tak lebih dari Rp 100 ribu.
Aji dan juga Zulkifli menyadari kalau pemain sepak bola memang lebih banyak lahir dari keluarga ekonomi bawah. Mereka pun menegaskan tidak menepikan anak-anak berbakat dari keluarga tidak mampu.
Zulkifli menyebut ASIFA menampung beberapa pemain bertalenta dari keluarga yang ekonominya tidak mapan. ”Di sini ada anak seorang tukang ojek dari Ternate. Dia tidak kami tarik biaya. Kami gunakan sistem subsidi,” terang pria 34 tahun itu.
Tapi, jumlah yang disubsidi tersebut tak banyak. Dari 156 murid yang kini belajar di ASIFA jumlahnya tak lebih dari 20 persen. Karena itu, biaya yang dipatok di ASIFA jelas sangat mahal. Zulkifli pun tidak memungkirinya.Tapi, menurutnya biaya tersebut sepadan yang fasilitas yang diterima.
ASIFA ditegaskan pria kelahiran Palembang itu tidak main-main membangun fondasi sepak bola usia dini. Di ASIFA anak-anak tidak hanya diajarkan berlatih sepak bola. Tapi, mereka juga diwajibkan menuntaskan pendidikan formal. ASIFA bekerjasama dengan beberapa sekolah. Setiap hari, guru sekolah tersebut datang mengajar siswa-siswa ASIFA. Selain itu, juga diberi tambahan pelajaran bahasa Inggris dan mengaji bagi yang muslim.
Zulkifli menjabarkan ASIFA memberikan fasilitas dengan standar tinggi. Lapangan bola dengan kualitas rumput berjenis Joyzia Japonica dan dilengkapi lampu penerangan. ASIFA juga membangun gedung tiga lantai dengan luas 4000 meter persegi. Gedung itu berisi ruang fitness, ruang makan, ruang baca, kafe, ruang dokter, kamar mandi, tempat menginap wali murid, dapur, ruang kelas, dan asrama pemain. Khusus asrama, terdapat 35 kamar dengan kapasitan 300 pemain.
”Kami melengkapi fasilitas itu dengan menerjunkan 20 pelatih, dua dokter, satu ahli nutrisi, empat perawat, satu fisioterapis, dan masseur. Jadi apa yang dibayarkan itu kembali untuk anaknya,” kata Zulkifli.
ASIFA ditambahkan Zulkifli tidak hanya ingin mencetak pemain yang mampu bersaing dilevel nasional semata. ”Kami ingin anak-anak ini memiliki kepasitas untuk bermain di level internasional. Kami ingin mengantarakan mereka menuju klub-klub di Eropa,” imbuhnya.
16 Maret 2015
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar