Bak jamur di musim hujan, beberapa tahun belakangan sekolah sepak bola (SBB) tumbuh begitu subur. Seperti jamur pula, hidupnya tak bertahan lama. Banyak SSB yang layu lantas tutup sebelum sempat berkembang. Sistem pengelolaan konvensional dengan hanya mengandalkan iuran siswa yang tak seberapa membuat tak banyak SSB yang bisa bertahan.
Padahal, menghidupkan SSB membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Harus mengeluarkan biaya sewa lapangan, membeli perlengkapan latihan, dan juga menggaji pelatih. Kalau pemiliknya tak benar-benar gila bola dan punya duit, jelas sulit bagi SSB untuk terus bertahan.
Agar awet, langkah Mitra Surabaya bisa dijadikan rujukan. Mitra memang tak ubahnya SSB lainnya. Mereka hidup dengan mengandalkan iuran anak didiknya yang tak lebih dari Rp 100 ribu perbulan untuk setiap muridnya. Tapi, cara konvensional itu dipadu dengan sistem pembagian kontrak pemain.
”Saat ini kami membuat perjanjian dengan pemain dan orang tua tentang pembagian uang kontrak saat pemain kami ada yang diikat klub,” kata Ketua Mitra Surabaya Mursyid Effendi.
Mantan pemain Persebaya Surabaya itu memaparkan jika ada anak didiknya yang berpotensi melejit sebagai pemain andal, Mitra lantas mengajak pemain dan orang tuanya duduk bersama. Mereka berdiskusi tentang hari depan sang anak. Kemungkinan itu biasanya terlihat saat anak memasuki usia 14 atau 15 tahun.
Pada saat duduk bersama itupulaMitra bakal menyodorkan perjanjian hitam di atas putih tentang proyeksi masa depan pemain tersebut. Jika si pemain nanti dikontrak sebuah klub, maka akan diberlakukan sistem pembagian biaya kontrak. Masa perjanjian berlangsung sekitar empat tahun. ”Begitu pemain kami dikontrak klub, maka di tahun pertamanya akan ada pembagian 60:40. Yang 60 untuk pemain, yang 40 untuk Mitra,” terang Mursyid.
Presentasi untuk Mitra terus menurun setiap tahunnya. Pada tahun kedua perbandingan 70:30, lalu turun 80:20, dan tahun keempat menjadi 90:10. Dana pembagian itu diperuntukkan bagi keberlangsungan SSB.
”Ini kami lakukan sebagai bentuk penghargaan kepada tempat asal pemain berlatih. Selama ini, seringkali SSB mampu melahirkan pemain, tapi tidak mendapatkan apa-apa saat pemainnya jadi,” ungkap Mursyid.
Kalaupun mendapatkan kompensasi seringkali hanya berupa bola. Jumlahnya terkadang lima atau paling banter sepuluh. Dan hal itupun sudah jamak. Mitra pun berulangkali menerima kenyataan tersebut.
SSB yang didirikan almarhum Eko Prayogo –eks pemain Perkesa dan Mitra Surabaya- itu telah melahirkan banyak pemain. Yang paling moncer tentu saja Rendi Irwan dan Evan Dimas. Selain itu, ada nama Andika Rama yang kini menghuni skuad tim nasional U-23.
”Kalau seperti itu terus jelas SSB atau klub pencetak pemain akan mati,” ujar Mursyid. Belajar dari yang sudah dialami, Mitra pun menerapkan sistem pembangian uang kontrak sejak pertengahan tahun lalu. ”Sekali lagi langkah ini agar SSB atau klub amatir pencetak pemain seperti Mitra tidak mati,” imbuh Mursyid.
22 Maret 2015
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar