Yang tergelar di Gelora Bung Tomo, Surabaya, Sabtu malam itu (13/6) bukan sekedar pertandingan sepak bola. Tapi, juga ada cinta, kerinduan, kesetiaan, dan tentu saja perlawanan.
Cinta, kerinduan, dan kesetiaan kepada ”rumah besar” bernama Persebaya Surabaya. Rumah yang lebih dari dua tahun terakhir berusaha dihilangkan dan dirobohkan para pemangku kekuasaan di otoritas sepak bola Indonesia.
Memang tak ada Persebaya di atas lapangan. Sebab, yang berlaga adalah Andik Vermansyah dan teman-temannya melawan para legiun asing yang pernah serta masih merumput di sepak bola Indonesia. Benar-benar tak ada embel-embel Persebaya.
Kendati begitu, sulit terbantahkan kalau pertandingan malam itu tergelar lantaran hal lain di luar Persebaya. Sebaliknya, yang bisa diyakini, pertandingan itu lahir dan terselenggara semata-mata karena Persebaya dan untuk Persebaya. Dan semua simbol Persebaya itu tercermin jelas di setiap sudut Gelora Bung Tomo.
Para pemain –terutama pemain lokal dan sebagian legiun asing- yang datang ke lapangan misalnya. Mereka merupakan pemain-pemain yang pernah berpeluh keringat bersama Persebaya. Mereka yang pernah merasakan kehangatan di Mess Karanggayam, Gelora 10 Nopember, dan juga Gelora Bung Tomo. Tiga simpul yang bersinggungan erat dengan Persebaya.
Sedang yang hadir di tribun adalah mereka yang selama ini meneguhkan hatinya untuk Persebaya. Tentu saja Persebaya yang lahir tahun 18 Juni 1927. Persebaya yang didirikan Paijo dan Pamoedji. Persebaya yang turut membidani lahirnya PSSI pada 1930 di Jogjakarta bersama perwakilan klub sepak bola lain seperti Madiun, Solo, Jogjakarta, Magelang, Bandung, serta Jakarta.
”Cinta terkadang memang getir, tapi karena kegetiran itupula perjalanan ke Gelora Bung Tomo kali ini terasa sangat indah,” ungkap Farid Maulana, seorang kawan yang malam itu hadir di Gelora Bung Tomo.
Lantaran disisikannya Persebaya yang ada di hatinya oleh para penguasa di Senayan lebih dari dua tahun terakhir, Farid memang tak lagi menyambangi tribun stadion. Karena itu, bisa dibayangkan betapa getirnya situasi yang dihadapi hatinya. Tapi, kegetiran dan kerinduan akhirnya tumpah malam itu. Perasaan cinta dan rindu itupula yang dirasakan sekaligus menggerakkan 35 ribu orang lainnya yang mencintai Persebaya ke Gelora Bung Tomo.
Mungkin terkesan berlebihan- tapi fragmen di Gelora Bung Tomo Sabtu malam itu tak ubahnya perlawanan Arek Surabaya pada Nopember 1945. Sabtu malam itu seperti menegaskan kembali jiwa Arek Surabaya yang tergelar di medan pertempuran pada 1945. Jiwa yang tak pernah mau tunduk terhadap penindasan. Jiwa yang tak pernah mau menggadaikan hatinya.
Memang selalu ada pembelot dalam sebuah perlawanan. Tak terkecuali di Surabaya. Tapi, jumlahnya selalu tak pernah banyak. Sebab, Arek Surabaya selalu menyandarkan lakunya pada kata hatinya.
Sekali lagi, mungkin terkesan berlebihan- tapi fragmen di Gelora Bung Tomo malam itu tak ubahnya perlawanan Arek Surabaya pada Nopember 1945. Jika puluhan tahun lalu Arek Surabaya berusaha mempertahankan kampung halamannya dari tangan-tangan kotor penjajah, maka Sabtu malam itu mereka ingin menunjukkan kepada para penguasa sepak bola di Senayan kalau Persebaya tidak mati, sekalipun Persebaya tak berkompetisi.
Kalau puluhan tahun lalu Arek Surabaya berhasil merobek bendera Belanda di atas Hotel Yamato –kini Hotel Majapahit- sebagai salah satu nukilan kemenangan, maka Sabtu malam itu tergelarnya pertandingan adalah awal kemenangan mereka dan Persebaya. Ya kemenangan. Sebab, pertandingan itu disiapkan tak lebih dari 20 hari dan di tengah penindasan. Tapi, bukan sekedar berhasil dilaksanakan, pertandingan itu juga dihadiri 35 ribu pasang mata.
Sama seperti para pertempuran 1945, kemenangan tersebut bukanlah akhir. Selepas kemenangan kecil itu, mereka bergegas menata diri. Puluhan tahun lalu keberhasilan memukul mundur penjajah diikuti dengan langkah menata diri kembali keluarga, kampung, dan kota yang sudah porak-poranda. Maka setelah kemenangan kecil Sabtu malam lalu, mereka masih harus terus menjaga hati dan menggelorakan semangatnya untuk mencintai Persebaya agar klub yang dibanggakan itu kembali bangun dari tidurnya. Karena cinta itulah yang selalu diyakini bakal membangkitkan Persebaya.
Arek Surabaya memang seperti itu dan seharusnya seperti itu.
Surabaya, 18 Juni 2015
21 Juni 2015
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar