Di ruangan itu ada Ricky Yacob(i). Juga Robby Darwis. Dua nama yang begitu agung di lapangan hijau sepak bola Indonesia.
Ricky merupakan salah seorang penyerang terbaik yang pernah dimiliki negeri ini. Pria kelahiran Medan itu merupakan anggota tim nasional yang menembus semifinal Asian Games 1986 dan merebut emas SEA Games 1987.
Kebesarannya seperti ”menenggelamkan” striker-striker lain yang sebenarnya tidak hanya tajam, tetapi juga menjadi ikon di kesebelasan masing-masing. Sebut saja Ajat Sudrajat, maskot Persib Bandung; Syamsul Arifin, ”Si Kepala Emas” dari Persebaya Surabaya; atau sang pencetak gol kemenangan Indonesia atas Malaysia dalam SEA Games 1987 Ribut Waidi yang sangat dicintai pendukung PSIS Semarang.
Sedangkan Robby merupakan libero/stopper yang tidak tergantikan. Robby adalah satu-satunya pemain yang turut menyumbang dua medali emas SEA Games dari lapangan hijau. Juara di Jakarta pada 1987 dan empat tahun kemudian kembali berjaya di Manila.
Jadi, bisa dibayangkan betapa agungnya dua sosok tersebut bagi sepak bola Indonesia.
Tetapi, di ruangan di Gelora Delta, Sidoarjo, pada 6 Desember 2015 itu bukan keduanya yang menjadi ”pengendali” atau sentra perhatian. Melainkan Kurniawan Dwi Yulianto, adik generasi mereka.
Kurniawan menghidupkan ruangan itu dengan banyolan. Dengan guyonan. Bahannya: ”mengolok-olok” Kurnia Sandy. Mengisahkan keluguan-keluguan Gendut Doni. Menceritakan tingkah lucu Anang Maruf dan Bejo Sugiantoro.
Kurniawan juga memutar kembali kenangan saat Alexander Pulalo menakut-nakuti seorang maling yang tertangkap ketika hendak mencuri di mes PSM Makassar beberapa tahun silam. Alex, menurut dia, mengancam bakal menyetrum si maling dengan menggunakan charger handphone kalau tidak mengakui perbuatannya.
Semua menikmati guyonan Kurniawan itu. Tertawa terbahak. Padahal, seperti Ricky dan Robby, nama-nama yang menjadi bahan lelucon Kurniawan juga berada di ruangan itu. Nama-nama yang bisa dibilang juga termasuk putra-putra terbaik di lapangan hijau Indonesia.
Dan, humor yang baik adalah lelucon yang menertawakan diri sendiri. Kurniawan pun melakukan itu. Lelaki asal Magelang tersebut menjadikan dirinya sebagai bahan guyonan. Salah satu yang diceritakan adalah ulahnya saat acara doa bersama keluarganya (maaf, saya tak bisa menuliskan itu secara detail). Tetapi, yang jelas, cerita tentang acara doa bersama itu membuat seisi ruangan ger-geran.
Tidak hanya bercanda, Kurniawan juga membagi kenangannya di Gelora Delta. Kenangan tentang tangis seorang bek lawan. Kenangan tentang salah satu rahasianya dalam urusan mencetak gol.
Selain cepat, pandai mencari ruang, dan naluri golnya tinggi, pemain yang pernah berkostum Sampdoria dan FC Luzern itu memiliki senjata lain untuk membobol gawang lawan: mengajak bek lawan berbicara. Dan, siapa yang tidak bungah sekaligus bangga diajak ngobrol Kurniawan. Lebih-lebih pesepak bola yang tidak menyandang status pemain tim nasional.
Kenangan itulah yang dibagi Kurniawan: mengobrol dengan bek lawan saat bertandang ke Gelora Delta. Karena obrolan itu, si lawan pun melonggarkan pengawalan kepada Kurniawan. Nah, saat lawan tidak lagi fokus, tugas Kurniawan mencetak gol pun menjadi lebih mudah.
Lelucon dan cerita Kurniawan itu pun menjadikan waktu menunggu kami tidak terasa lama. Padahal, lebih dari satu jam kami menunggu di ruangan tersebut. Kecuali saya, semua yang ada di ruangan yang tergabung di dalam Indonesia All Stars itu sedang menunggu untuk menjalani laga persahabatan menghadapi Persebaya Surabaya.
Kini Kurniawan telah duduk di kursi calon ketua umum PSSI. Pemilihannya bakal berlangsung di kongres bulan depan. Alumnus Diklat Salatiga itu masuk bursa ketua umum mewakili para pemain yang di dalam daftarnya ada nama adik kelasnya, Bambang Pamungkas, yang bagi banyak orang mungkin memiliki ”nilai” lebih.
Tak ada yang salah dengan keputusan majunya Kurniawan itu. Dan, Anda boleh tidak sependapat. Berhak membantah. Misalnya, menyodorkan argumentasi bahwa Kurniawan merupakan sosok yang pernah gagal di luar lapangan. Pernah terjerat kasus narkoba. Pernah gagal membina rumah tangga saat bersama Kartika Dewi.
Tetapi, saya sama sekali tidak kaget mengapa Kurniawan dicalonkan untuk memimpin organisasi yang didirikan pada 1930 itu. Kenangan di ruangan Gelora Delta itu setidaknya memperlihatkan Kurus adalah seorang komunikator jempolan. Dengan segala ''noda'' dalam karir dan kehidupan pribadinya, dia tetap sosok yang dihormati semua kalangan di sepak bola Indonesia.
Dan, yang tidak kalah penting, dia tahu apa yang harus dilakukan untuk sepak bola kita. Seperti yang pernah dikatakan saat saya wawancarai dia pada 2008; dia ingin kembali menikmati sepak bola sebagai sebuah kegemaran yang bisa mendatangkan tawa dan kebahagiaan.
Kita tahu, telah lama sekali sepak bola kita tidak membuat kita gembira. Demikian kusut: konflik, kekerasan, jauh dari prestasi.
Emas SEA Games yang direbut Robby Darwis pada 1991 adalah emas terakhir kita di ajang regional kelompok senior. Bayangkan, bahkan generasi Kurniawan yang dididik di Italia juga tidak mampu melakukan itu.
Barangkali karena itulah, Kurniawan bersedia dicalonkan: untuk membalas budi kepada sepak bola Indonesia yang telah memberinya begitu banyak. Kalau dulu tidak bisa melakukan itu di dalam lapangan, mungkin kini dia bisa berbuat sesuatu di luar lapangan.
Sudah bertahun-tahun berlalu, tetapi saya masih ingat kata-katanya: ”Saya sudah susah payah meniti karir di sepak bola, mengapa saya harus membuangnya percuma? Saya ingin sampai mati di sepak bola. Sebab, sepak bola juga yang telah menjadikan saya berguna bagi bangsa dan saya ingin kembali seperti itu,”.
Diumpan Sakhi
30 September 2016
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar