”Nama itu sudah dicoret”. Begitu kata Joko Driyono saat saya menyapa namanya lewat telepon beberapa saat setelah dirinya terpilih sebagai Wakil Ketua Umum PSSI, Kamis lalu (10/11). Kalimat itu mempertegas pesan pendek yang pernah dikirimnya sekitar empat tahun silam kepada saya. Bunyinya: Joko Driyono sudah tidak ada lagi.
Saya tidak mengenal dekat Joko Driyono. Saya hanya sedikit tahu kalau lelaki kelahiran Ngawi, Jawa Timur itu menggemari sepak bola. Seperti umumnya anak laki-laki, Joko muda pun tidak sekedar menontonnya. Tapi, juga memainkannya. Bahkan, dia nyaris berseragam Arseto Solo junior, sebelum akhirnya memutuskan kuliah di Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya.
Waktu di Surabaya, Joko pun tak melulu berkegiatan di kampus. Tidak sekedar berkutat dengan buku. Dia juga pergi ke lapangan bola. Bergabung dengan kesebelasan lokal Surabaya: Putra Gelora.
Joko adalah manusia cerdas. Pemimpin yang cakap. Setelah lama menepi dari lapangan, dia kembali ke rumput hijau untuk membenahi tata kelola kompetisi sepak bola negeri ini. Dia curahkan semua kemampuannya. Juga waktunya. Untuk itu, Joko rela meninggalkan kursi di Krakatau Steel pertengahan tahun 2000-an.
Tapi, Joko telah berubah. Dan saya menduga, kalimat-kalimat Joko itu sejatinya dimaksudkan untuk bercanda. Tapi, canda yang getir. Canda yang sekaligus mengisyaratkan kalau dirinya telah berubah. Kegemarannya kepada sepak bola memang tak surut. Namun, semangatnya sudah berbeda. Ada dendam di hati Joko. Dendam yang tentu tak mudah dipadamkan.
Dendam yang lahir karena perselisihan sepak bola Indonesia 2010 silam. Perselisihan yang membuat kompetisi yang dipandeganinya tersisih dan runtuh. Dan dendam itupula yang dibawanya ke arena Kongres PSSI di tepi Pantai Ancol Kamis lalu.
Seperti Joko, sebagian besar yang datang ke Ancol saat itu pun tak sepenuhnya membicarakan sepak bola. Bahkan, sebagian dari mereka sudah menyudahi pikirannya tentang sepak bola ketika mengawali langkah kakinya keluar dari rumah.
Prasangka yang mungkin berlebihan. Tapi, arena kongres menggambarkan itu. Dengan sangat jelas bahkan. Orang-orang -entah siapa yang melegitimasi mereka- yang paling berhak menentukan perjalanan sepak bola Indonesia ke depan itu justru sama sekali tak membicarakan sepak bola.
Bagi mereka, seolah-seolah sepak bola negeri ini baik-baik saja. Seakan-akan sepak bola tanah air sudah berjalan sesuai koridor. Karena itu, sepak bolanya tak perlu dibahas dalam kongres. Kalau kata Haruna Soemitro, buang-buang waktu saja (membicarakan sepak bola).
Padahal, kita semua tahu, beberapa hari menjelang kongres PSSI, tiga suporter Persija Jakarta meregang nyawa sepulang mendukung kesebelasan kesayangannya bertanding dengan Persib Bandung di Solo. Di Stadion Manahan, Solo -tempat laga Persija kontra Persib- dipanggungkan juga terjadi pengeroyokan terhadap seorang penonton yang berakhir dengan dilemparnya penonton tersebut dari tribun.
Dan dua pekan sebelum kematian suporter Persija, seorang Bobotoh juga kehilangan nyawa setelah dikeroyok saat perjalanan menuju stadion untuk mendukung Persib di Cikarang, Bekasi.
Tapi, tragedi hilangnya nyawa suporter itu seakan menjadi hal kecil di mata orang-orang yang mendaku mengerti sepak bola dan paling berhak menentukan perjalanan sepak bola Indonesia ke depan itu. Saking kecilnya, mereka pun alpa membahasnya di kongres.
Kita semua juga tahu, kalau para pemain masih saja dengan entengnya memprotes setiap keputusan wasit. Bahkan, mereka pun tetap ringan tangan dan kaki saat melancarkan protes. Apa yang tersaji di Stadion Maguwoharjo, Sleman, kala para pemain Persinga Ngawi begitu emosional meninju sekaligus menedang wasit menjadi salah satu contohnya.
Kita juga tahu, kalau para wasit masih kerap mengumbar peluitnya. Dan yang menyesakkan, tim nasional Indonesia belum juga beranjak kemana-mana. Pasukan Garuda masih kesulitan mengalahkan negara-negara tetangga. Namun, semua itu juga tak dibicarakan di kongres.
Sebaliknya, kongres menjadi panggung kekonyolan. Klub yang masih terdaftar sebagai anggota malah wakilnya diusir. Dan, hak suaranya diberikan kepada pihak lain. Pengalihan paksa hak suara itu bahkan bukan hanya untuk satu kesebelasan. Tapi, tiga sekaligus. Persebaya Surabaya, Arema Indonesia, dan Pelita Bandung Raya.
Dan dari arena kongres itu semakin benderang kalau sepak bola tak pernah lebih penting daripada uang. Dari sana pula semakin jelas kalau sepak bola Indonesia itu selalu sulit dibicarakan di lapangan dan jauh lebih mudah membicarakannya di bawah meja. Lalu pulang dengan menentang koper.
Akhirnya saya hanya bisa mengucapkan selamat bekerja Ketua Umum PSSI yang baru Edy Rahmayadi. Mudah-mudah Anda berserta jajaran pengurus yang juga baru bisa membalik persepsi buruk kami terhadap PSSI. Kalau tidak bisa, maka sudahi saja sepak bolanya. Sebab, seperti kata seorang karib saya, perjuangan paling berat mencintai sepak bola negeri ini adalah menjaga akal sehat.
Surabaya, 14 November 2016
Diumpan Sakhi
14 November 2016
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar