Dalam bahasa Jawa, gojek itu memiliki arti yang sama dengan guyon. Dan yang namanya guyon itu menyenangkan. Menyegarkan. Bisa mengendurkan ketegangan. Tidak jarang pula, dari guyonan lahir ide-ide segar.
Tapi, kalau guyonnya berlebihan tentu tidak baik. Sama halnya dengan segala sesuatu yang berlebihan. Bisa-bisa guyonan itu malah memicu ketegangan. Berpotensi memercikkan api perselisihan. Juga bisa melahirkan masalah.
Seperti itu juga kompetisi sepak bola Indonesia. PSSI tampak berlebihan memaknai titel liga yang digulirkannya. Induk organisasi sepak bola nasional itu terlalu gojekan dalam membuat regulasi.
Kompetisi kali ini pun berpotensi melahirkan para pemalas sekaligus membunuh harapan hidup banyak orang. Liga Indonesia musim ini terancam tidak kompetitif. Mengabaikan kesehatan finansial klub dan tak ramah kepada suporter.
Guyonan PSSI yang berlebihan ini juga melahirkan regulasi yang kontradiktif dan tentu saja menabrak aturan federasi sepak bola dunia yang selama ini diagung-agungkan PSSI.
Tak percaya? Tentu Anda tak seharusnya percaya kepada saya. Lha saya ini siapa kok mau dipercaya. Saya ini hanya penonton biasa. Nendang bola saja nggak becus. Lagipula, kompetisinya juga belum bergulir, belum jalan.
Tulisan ini merupakan usaha agar tidak dinilai menuduh.
***
Rabu (29/3) dan Kamis (30/3) lalu PSSI telah mengambil keputusan tentang regulasi kompetisi musim 2017. Untuk Liga 1, PSSI mewajibkan setiap kesebelasan memainkan tiga pemain U-23 minimal 1x45 menit. Setiap kesebelasan juga harus memasukkan minimal lima pemain U-23 dalam daftar susunan pemain (DSP), tiga diantaranya menjadi pemain inti. DSP sendiri bukan lagi berisi 18 pemain, tapi 20. Pergantian pemain pun tidak lagi tiga, tapi lima pemain di setiap pertandingan.
Tidak hanya itu, untuk Liga 1, PSSI juga membatasi jumlah pemain yang berusia di atas 35 tahun. Otoritas sepak bola Indonesia itu hanya membebaskan setiap kesebelasan memiliki dua pemain berusia di atas 35 tahun. Di luar itu, PSSI mengizinkan kesebelasan peserta Liga 1 mengikat kontrak tiga pemain asing -dua non Asia dan satu Asia- plus merekrut marguee player. Ketua Umum PSSI Edy Rahmayadi sempat menyebut tiap-tiap kesebelasan boleh meminang lima pemain marguee player.
Lalu untuk Liga 2, PSSI membatasi usia pemain yang berhak berkompetisi. Pemain yang bisa tampil di Liga 2 adalah mereka yang berusia di bawah 25 tahun. Setiap kesebelasan hanya diizinkan mendaftarkan lima pemain yang usianya di atas 25 tahun lima orang. Itu pun usianya dibatasi hanya sampai 35 tahun. PSSI juga mengetuk palu bahwa pertandingan Liga 2 dimainkan pada hari Senin sampai Kamis alias pada hari kerja.
Siapapun yang membaca regulasi tersebut pasti melihat kontradiksi. Bayangkan, Liga 1 maupun Liga 2 yang katanya profesional justru menerapkan pembatasan usia. Mewajibkan penggunaan pemain dengan usia tertentu.
Kompetisi sepak bola di negara manapun yang ada di belahan bumi ini, yang namanya liga profesional itu tak membatasi usia pemain yang berlaga. Semua pemain yang mumpuni dari sisi fisik dan kemampuan mengolah bolanya berhak bersaing menjadi bagian salah satu kesebelasan. Lagipula, sepak bola sendiri itu tak bersekat.
Aturan ini jelas berpotensi melahirkan para pemalas. Sebab, para pemain muda tak perlu kerja keras, tak perlu berlatih ekstra, tak perlu menambah porsi latihan, sudah mendapat jaminan sebagai pemain inti. Bahkan, tidur-tiduran saja lho mereka sudah bisa dipastikan masuk daftar susun pemain.
Padahal, hukum alam mengajarkan bahwa untuk mendapatkan sesuatu, kita harus bekerja keras. Begitu juga di sepak bola. Para pemain muda harus berlatih lebih ekstra, lebih berkeringat dalam berjuang, bermain lebih ngotot agar bisa berdiri sejajar dengan para seniornya. Sebab, kalau biasa-biasa saja, tentu mereka tak dilirik. Pelatih pasti lebih memilih yang sudah lebih matang karena bisa menghadapi tekanan di dalam dan luar lapangan.
Dengan bersaing secara alami, fisik pemain muda bisa terdongkrak, mentalnya menjadi lebih tangguh, motivasi berlipat, dan kemampuan olah bolanya ikut meningkat. Pun demikian dengan pemahaman mereka terhadap taktik dan strategi bermain. Tentu akan jauh lebih baik.
Tapi, dengan garansi sebagai pemain inti, tentu mereka didik secara manja. Ini tentu tak baik untuk mental tanding. Sebab, mereka tak mengenal kerasnya arti perjuangan. Dan seringkali zona aman dan nyaman menjadikan seseorang stagnan. Mereka ogah-ogahan meningkatkan kemampuan dirinya. Dan tak memiliki banyak alternatif untuk memecahkan masalah yang dihadapi.
Sepak bola memang tak mengenal zona aman dan nyaman. Setiap mendapat kesempatan tampil di lapangan, pemain dituntut bermain maksimal. Jika tidak, tentu mereka akan tergusur dan tergantikan. Namun itu berlaku jika sepak bola dijalankan sebagaimana mestinya sepak bola dimainkan. Bukan dimainkan dengan regulasi yang menggaransi pemain muda menjadi pemain inti.
Tak hanya berpotensi melahirkan para pemalas, regulasi ini juga bisa membunuh harapan hidup orang banyak. Ya, orang banyak. Bukan hanya pemain sepak bola. Ingat, di belakang pemain bola itu ada istri, anak, dan anggota keluarga lainnya, bisa orang tua, adik atau kakak, bisa juga keponakan.
Bagaimana tak disebut membunuh? Lha para pemain dipaksa berhenti ketika mereka masih sanggup bermain dan menggantungkan hidupnya di sepak bola. Mereka dipaksa secara tiba-tiba. Dan pemaksaan ini bukan saja berlaku kepada para pemain yang berusia di atas 35 tahun. Tapi, juga kepada para pemain yang berada di rentang usia 25 sampai 35 tahun.
Kok bisa? Bukannya mereka masih diperbolehkan bermain. Ya, mereka memang masih diizinkan bermain. Tapi, tengok regulasi Liga 1 dan juga Liga 2. Di Liga 1, PSSI mewajibkan lima pemain usia U-23 masuk daftar susunan pemain dan tiga diantaranya harus menjadi pemain inti. Di sisi lain, PSSI memberi keleluasaan setiap kesebelasan mengontrak tiga pemain asing plus marquee player.
Katakanlah setiap kesebelasan memanfaatkan regulasi itu dengan mengontrak tiga pemain asing plus satu marquee player, para pelatih tentu akan memilih memainkan keempatnya di lapangan secara bersamaan. Ditambah tiga pemain U-23, maka tujuh slot pemain inti sudah terisi oleh mereka. Dan itu artinya kursi pemain inti tersisa empat slot.
Satu posisi itu kemungkinan besar akan menjadi milik penjaga gawang. Maka hanya tinggal tersisa tiga jatah pemain inti yang harus diperebutkan oleh para pemain lokal yang mungkin di dalamnya adalah pemain-pemain yang berada di usia emas 24 sampai 26 tahun.
Kalau hanya butuh tiga saja pemain inti dari mereka yang berusia di atas 23 tahun, maka setiap kesebelasan sejatinya tak perlu merekrut terlalu banyak pemain di usia tersebut. Toh, di daftar susunan pemain, masih ada dua pemain U-23 yang bisa dimainkan sebagai pengganti. Kalau sudah begitu, pemain-pemain yang berada direntang usia 25 sampai 35 tahun terancam berhenti lebih dini. Seperti mereka yang berusia di atas 35 tahun.
Sebab, kesempatan untuk bermain di Liga 2 pun tipis. PSSI hanya mengizinkan setiap kesebelasan Liga 2 merekrut lima pemain yang usianya 25 sampai 35 tahun. Dan saat ini, mereka, para pemain di usia tersebut, tidak sedikit yang tak mendapatkan tanda tangan kontrak dengan kesebelasan yang berkecimpung di Liga 1 maupun Liga 2.
Dan tentang marquee player, PSSI seperti mengabaikan problem finansial. PSSI seakan alpa bahwa selama ini kesebelasan-kesebelasan di Indonesia banyak yang terlilit masalah finansial. Berulangkali masalah tunggakan gaji pemain dan pelatih mengemuka. Bahkan, sampai detik ini.
PSSI seperti mengajarkan sikap irasional dalam penggunaan anggaran kepada setiap kesebelasan- sikap yang sejatinya sudah melekat akut di masing-masing kesebelasan. Selama ini setiap kesebelasan selalu berlomba-lomba belanja pemain dengan harga mahal, meski tidak memiliki sumber dana yang memadai. Nah, harga marquee player itu sendiri tidak murah. Jauh lebih mahal dibanding nilai yang dikeluarkan kesebelasan selama ini.
Tapi, dengan dalih meningkatkan kualitas liga, dengan alasan transfer ilmu dari pemain level dunia kepada para pemain lokal, PSSI memaksakan penggunaan marquee player. Memang benar, kualitas marquee player itu jauh di atas pemain-pemain negeri kita. Apalagi, PSSI juga menegaskan yang boleh didatangkan adalah yang pernah bermain di piala dunia dan liga-liga top dunia.
Namun, perlu dicatat, marquee player yang datang ke Indonesia bukan saja sudah memasuki usia senja, tapi juga dibekap cedera. Mereka yang kondisinya masih bugar pasti lebih memilih pergi ke Amerika Serikat atau Tiongkok. Sebab, fasilitas dan infrastruktur di dua negara tersebut jauh lebih baik di banding sepak bola Indonesia. Termasuk juga soal penawaran gaji.
Kalau yang datang kondisinya dibekap cedera tentu tak banyak yang bisa diharapkan. Apalagi, fasilitas dan infrastruktur sepak bola negeri ini juga tak terlalu memadai yang tentu tak ramah bagi pemain yang memiliki riwayat cedera. Nyaris tak ada kesebelasan di negeri ini yang memiliki fasilitas latihan sendiri sesuatu yang sebenarnya jauh lebih penting dibanding membuang uang untuk mendatangkan marquee player.
Dan keputusan mengizinkan pembelian marquee player juga menjadi kontradiktif dengan regulasi pembatasan usia. Disaat anak-anak negeri ini yang usianya dianggap telah lewat tidak diizinkan bermain, eh PSSI malah membuka pintu pemain-pemain senja dari manca untuk datang bermain. Regulasi marquee player juga mengabaikan suara yang mendorong pembatasan kuota pemain asing. Pembatasan yang dimaksudkan agar para pemain lokal lebih mendapat kesempatan bermain sekaligus berkembang.
Dan jika regulasi marquee player menandakan abainya PSSI tentang problem finansial di Liga 1, maka penyusunan jadwal kompetisi menjadi gambaran yang sama di Liga 2. PSSI telah menegaskan bakal memainkan pertandingan Liga 2 dari Senin sampai Kamis. Jadwal yang jelas-jelas sangat tidak ramah kepada suporter dan pemasukan peserta Liga 2.
Sumber dana utama kesebelasan-kesebelasan Liga 2 itu dari penjualan tiket pertandingan. Mengandalkan dana sponsor? Itu bukan perkara mudah. Kesebelasan yang berkecimpung di Liga 2 bakal tidak mudah menggandeng sponsor. Sebab, mereka tidak bisa menjadikan para pemain sebagai nilai tawar untuk menarik sponsor. Bagaimana tidak, yang bermain di Liga 2 kan pemain-pemain muda dan kebanyakan belum memiliki nama.
Yang bisa menjadi daya tawar adalah tingkat kehadiran penonton di stadion. Tapi, dengan memainkan pertandingan di hari Senin sampai Kamis tentu stadion terancam sepi. Penonton sepak bola itu mayoritas pekerja, pelajar, dan mahasiswa. Tentu mereka tidak bakal bisa selalu hadir di stadion ketika pertandingan dimainkan pada hari aktif kerja dan sekolah. Ini bukan soal loyalitas. Tapi, mereka tentu tidak bisa sering-sering meninggalkan pekerjaan dan tempat belajar. Waktu menonton sepak bola paling nyaman tentu akhir pekan.
Dan puncak banyolan PSSI adalah regulasi pergantian pemain lima kali. Di pertandingan resmi, federasi sepak bola dunia telah mensyaratkan pergantian pemain maksimal tiga kali. Tapi, PSSI membuat aturan sendiri, pergantian pemain menjadi lima kali.
Aturan itu bukan saja menabrak regulasi federasi sepak bola dunia yang diagung-agungkan PSSI. Tapi, juga berpotensi menjadikan kompetisi atau pertandingan tidak kompetitif. Mengapa? Pergantian pemain selama ini tidak hanya difungsikan sebagai upaya pelatih mengubah strategi di lapangan. Namun, juga seringkali dimanfaatkan untuk membuang waktu.
Jadi bisa dibayangkan kalau pergantian pemainnya sampai lima kali. Bisa-bisa saat pertandingan tersisa lima menit, kesebelasan yang dalam situasi menang bisa melakukan pergantian sampai tiga pemain. Tujuannya tentu untuk membuang waktu, bukan untuk memperbaiki strategi di lapangan.
Dan situasi itu bisa memicu ketegangan. Baik di tengah lapangan maupun di tribun stadion. Apalagi, kebiasan di Indonesia, pemain yang diganti sering berjalan lambat-lambat keluar lapangan.
****
Waduh saya kok jadi serius, padahal ini kan liga gojek.
Diumpan Sakhi
04 April 2017
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar