Mursyid Effendi tak akan pernah meninggalkan sepak bola. Hatinya berada di sana dan akan tetap ada di sana. Selamanya. Sepak bola sudah menjadi hidupnya. Dan lapangan sepak bola telah menjadi rumahnya. ”Saya akan tetap di sini (sepak bola),” katanya dengan nada berat saat kami bertemu pekan lalu di Gelora Bung Tomo, Surabaya.
Dan kalimat Mursyid itu melemparkan saya pada kenangan sepuluh tahun silam di Mes Persebaya. Ya, sepuluh tahun silam, Mursyid pernah melontarkan kalimat serupa dan intonasinya sama persis dengan yang saya dengar di Gelora Bung Tomo itu.
Kala itu, Mursyid baru saja keluar dari ruang ketua umum Persebaya. Di tangan kanannya tergenggam ampol berwarna putih. Isinya: surat pemberhentian dirinya sebagai pemain Persebaya setelah 13 tahun berkostum kesebelasan kebanggaan masyarakat Surabaya itu. Kesebelasan yang juga begitu dicintai Mursyid.
”Saya tidak akan kemana-mana. Saya akan tetap di sini, di sepak bola,” ucapnya seraya menyandarkan tubuhnya di sofa yang ada di ruang tengah lantai 1 Mes Persebaya. ”Mungkin saya akan main sebentar sebelum gantung sepatu,” imbuhnya lalu hening.
Beberapa waktu kemudian Mursyid bangkit lalu melangkah keluar Mes Persebaya. Langkahnya begitu berat dan saya melihat Arek Benowo itu menahan tangis. Tampaknya Mursyid tak ingin menitikan airmata di depan orang. Tapi, saya merasakan betul kalau dia ingin menangis karena dipaksa meninggalkan kesebelasan yang begitu dicintainya saat dirinya merasa masih mampu bermain. ”Suatu saat saya ingin menjadi pelatih,” ujarnya lirih sebelum benar-benar meninggalkan mes.
Melatih? Menjadi pelatih? Saya menilai Mursyid pantas berada di posisi itu. Dan Mursyid memiliki bekal untuk itu. Bekal tersebut bukan saja pengalamannya sebagai pemain. Tapi, bapak tiga anak itu juga seorang pembelajar. Mursyid juga memiliki jiwa kepemimpinan. Punya kharisma. Dan Mursyid itu bisa ngemong.
(Soal ngemong ini, saya pernah beradu argumen dengan salah seorang redaktur senior Jawa Pos tentang Mursyid. Saat itu, redaktur tersebut mempertanyakan tulisan-tulisan saya yang condong membela Mursyid dan mengarahkan manajemen Persebaya untuk mempertahankannya. Menurutmu apa secara teknik Mursyid masih layak dipertahankan? Begitu pertanyaan beliau.
Dan saya menjawab, secara teknik Mursyid sudah tidak layak dipertahankan. Dia sudah tidak muda lagi. Fisiknya sudah menurun dan lamban. Tapi, di luar urusan teknik, Mursyid sangat layak dipertahankan. Persebaya masih butuh sosok Mursyid untuk ngemong para pemain muda. Dialah satu-satu yang bisa jadi jembatan antara pemain muda dengan para senior. Sebab, pemain senior lainnya tampak acuh dengan yang muda-muda.
Di Persebaya saat itu bercokol Bejo Sugiantoro, Anang Maruf, Uston Nawawi, dan Mat Halil. Pada ruang yang sama juga ada banyak pemain muda. Diantaranya Lucky Wahyu, Arif Arianto, Nugroho Mardianto, Shofi Hermawan, Nurcholis, dan Aulia Tri Hartanto. Lucky dan Arif memang tak cangguh dengan Uston. Sebab, mereka berasal dari kampung yang sama: Klagen. Tapi, dengan para senior lainnya, keduanya sama dengan pemain muda Persebaya lainnya, kikuk, canggung, dan ewoh pakewoh. Dan itu semua tentu tidak baik untuk tim. Harus ada yang menjadi jembatan. Dan Mursyid-lah jembatan itu.
Selama putaran pertama kompetisi musim 2007, Mursyid menjalankan fungsi itu dengan sangat baik)
Dan seperti yang diinginkannya itu, Mursyid benar-benar meniti langkah sebagai pelatih selepas gantung sepatu. Tapi, kita semua, ya kita semua, tak akan pernah bisa melihatnya berdiri di pinggir lapangan memimpin kesebelasan di kasta tertinggi sepak bola Indonesia. Kita semua, tak pernah bisa melihat racikan strategi Mursyid di kesebelasan yang berkompetisi di level teratas sepak bola negeri ini.
”Saya tak bisa mengambil lisensi AFC,” akunya. Padahal, lisensi AFC (atau sederajat) itulah yang menjadi syarat minimal untuk melatih kesebelasan yang berkompetisi di tingkat nasional. PSSI menetapkan mereka yang berlinsensi A AFC yang boleh melatih di kasta teratas. Dan kasta di bawahnya lisensi kepelatihannya harus B AFC.
Bukan soal kemampuan, baik dari sisi materi atau kecakapan, yang membuat Mursyid tak diperbolehkan mengambil kursus kepelatihan lisensi AFC. Tapi, dosa bersama di Piala Tiger -kini Piala AFF- 1998 yang menjadi penyebabnya. Dosa bersama yang menjadikannya dihukum FIFA tidak boleh berkecimpung di sepak bola internasional di sisi umurnya.
1998 silam, tepatnya 31 Agustus 1998 di Stadion Thong Nhat, Ho Chi Minh, Vietnam, Mursyid terpaksa menikam hatinya. Juga hati masyarakat Indonesia. Dia terpaksa menceploskan bola ke gawang negerinya sendiri saat Indonesia bersua Thailand di pertandingan terakhir penyisihan grup A.
Indonesia dan Thailand ketika itu sama-sama tak ingin memenangkan pertandingan. Keduanya tak ingin berjumpa Vietnam di semifinal. Segala cara pun dilakukan untuk menghindari Vietnam. Thailand enggan menyerang, begitupula Indonesia. Tapi, skor pertandingan sempat sama imbang 2-2, sebelum akhirnya Thailand keluar sebagai pemenang laga setelah Mursyid mencetak gol di penghujung pertandingan ke gawangnya sendiri.
Mursyid jelas salah dengan golnya itu. Lelaki kelahiran 23 April 1972 tersebut tentu saja berdosa dengan golnya itu. Tapi, itu bukanlah dosa Mursyid semata. Itu dosa bersama. Ada dosa Aji Santoso sebagai kapten tim dalam malam jahanam di Ho Chi Minh tersebut. Ada dosa Kuncoro yang disebut-sebut dialah yang sejatinya ditugasi mencetak gol. Terdapat dosa seluruh pemain yang tak berani menolak strategi kotor tersebut.
Juga ada dosa Rusdy Bahalwan yang duduk sebagai pelatih. Ada dosa manajer tim Andre Amin. Tentu juga dosa pengurus teras PSSI yang mamaksakan kesalahan tersebut untuk dijalankan.
Tapi, dosa bersama itu ternyata hanya dipikul Mursyid seorang diri sepanjang hayat. Bukan hanya dia harus menanggung beban sejarah kelam itu terus melekat didirinya, namun Mursyid juga dipaksa menepikan mimpinya berada di deretan pelatih yang menukangi kesebelasan di kompetisi atas Indonesia. ”Kalau saya menerima suap, saya tak masalah menanggung dosanya. Tapi, ini saya tidak menerima suap dijadikan seperti ini,” sebutnya.
Bahkan, untuk kompetisi amatir, namanya juga nyaris terpental. Sebab, PSSI sempat hendak menerapkan aturan pelatih yang berhak menangangi kompetisi Liga 3 harus berlisensi C AFC. ”Okelah kalau kasta teratas harus pelatih berlisensi AFC. Sebab, juaranya akan main di Asia. Tapi, yang amatir ini mau di bawah kemana kalau pelatihnya juga harus lisensi AFC,” protesnya. ”Kalau mau berbenah itu ya sentuh seluruhnya. Wasit contohnya. Masak yang mimpin kompetisi tertinggi sertifikatnya nasional. Harus setara dong,” tambahnya.
Mursyid tak hendak membela diri dengan protesnya itu. Sebaliknya, suaranya itu terlontar karena hatinya selalu berada di sepak bola. Mursyid ingin melihat sepak bola Indonesia yang jauh lebih baik. ”Jangan ada lagi yang dikorbankan dan dijadikan korban,” katanya.
21 September 2017
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar