Menjadi sangat wajar kalau kickoff kompetisi Indonesia Super League (ISL) musim 2015 diundur. Sebab, terlalu banyak kesalahan yang dipelihara. Dan juga karena terlalu pongahnya otoritas sepak bola negeri ini.
Kesalahan yang mencolok dan menohok tentu terkait tunggakan gaji pemain. Hampir sebagai besar kesebelasan yang berlaga di kasta tertinggi sepak bola Indonesia dan yang di bawahnya masih berutang kepada para pemainnya. Juga kepada mereka yang sudah pergi dan berlabuh di klub lain.
Gaji yang belum terbayar itu bukan hanya satu-dua bulan. Tapi, berbulan-bulan. Bahkan, beberapa musim. Yang tertunggak gajinya juga tidak cuma satu-dua pemain. Namun, di setiap klub ada beberapa pemain, mungkin lebih dari lima orang.
Dengan masih banyaknya kesebelasan yang menunggak gaji pemainnya, tentu menjadi sangat tidak rasional kalau kompetisi tetap dijalankan. Masalah jelas bakal semakin bertumpuk jika kompetisi dipaksakan digelar. Rentetan kasus tunggakan gaji akan semakin panjang. Bisa dipastikan ketika gaji yang lalu belum terbayar, utang baru akan terbit lagi dan lagi.
Mustahil dalam kondisi seperti itu kompetisi akan sehat. Sulit dipercaya prestasi akan segera lahir dari rahim kompetisi yang bermasalah. Yang mungkin terjadi, sepak bola Indonesia bakal semakin dalam tenggelam dalam kubangan lumpur. Yang mungkin terjadi, bakal ada banyak pemain menepi dari lapangan dengan kondisi kantong kosong lantaran masih ada gajinya yang belum terbayarkan.
Tentu ini yang tidak kita inginkan, tapi bukan tidak mungkin cerita pilu yang dialami Diego Mendieta akan terulang. Seperti kita ketahui, pemain asal Paraguay tersebut menutup mata untuk selamanya pada 3 Desember 2013 silam dalam kondisi gajinya belum semua dibayar oleh Persis Solo.
Dengan gaji yang masih tertunggak, keinginan Mendieta pulang kampung agar bisa bercengkerama kembali dengan ibu, istri, dan anak-anaknya tak pernah terpenuhi. Sebaliknya, dia harus tergolek sakit di salah satu rumah sakit di Solo tanpa memiliki biaya untuk perawatan dan akhirnya meninggal di tempat yang jauh dari keluarganya.
Kepergian tragis Mendieta itu bukan tidak mungkin terulang lantaran klub masih saja tidak rasional. Sudah tahu masih menunggak gaji pemainnya, tapi mereka masih saja jor-joran menggaet pemain anyar untuk musim kompetisi berikutnya. Kesebelasan yang satu dengan yang lainnya masih nekat merekrut pemain dengan nilai kontrak tinggi seolah-seolah mereka memiliki cukup uang untuk membayarnya.
Dan kepergian Mendieta dalam kondisi terutang gajinya bisa jadi terulang karena PSSI masih begitu pongah. Otoritas sepak bola Indonesia itu masih saja menganggap kinerjanya sangat baik. PSSI selalu merasa seperti tidak ada yang salah dalam perjalanan kompetisi sepak bola yang mereka gulirkan. Masukan dan kritik yang terus mengalir seperti tak pernah sampai ke telinga mereka. PSSI terlihat selalu menutup telinga dan juga matanya.
Karena itu, penundaan ISL menjadi harga tepat yang harus dibayar dari kesalahan dan kepongahan tersebut. Tentu penundaan itu bukan satu-satunya yang harus dibayar. Klub harus berbenah. Tunggakan gaji harus segera diselesaikan. Bagaimana pun caranya karena itu kewajiban klub.
Klub juga seharusnya menjadi rasional. Mereka tak semestinya memaksakan diri untuk jor-joran merekrut pemain dengan nilai yang tinggi. Tapi, kalau sudah terlanjur, klub sejatinya bisa duduk satu meja dengan para pemainnya untuk melakukan revisi. Itu demi kesehatan perjalanan klub dan untuk kebaikkan pemain juga. Klub seharusnya memaksakan diri berlaku kreatif untuk menggali sumber dana. Entah itu memaksimalkan pendapatan dari tiket, jualan merchandise, maupun menggandeng sponsor.
Seperti halnya klub, PSSI juga harus berubah. Tak seharusnya mereka pongah. Masukan dan kritik yang mengalir ke mereka seyogyanya menjadi bahan intropeksi. Sebab, derasannya masukan itu menandakan ada yang keliru. Aturan harus dipegang dan dijalankan. Kebiasaan tebang pilih harus dihilangkan.
Suporter juga menjadi bagian yang harus berbenah. Slogan tak ada tiket tak ada pertandingan harus diimplementasikan. Bukan jamannya lagi masuk stadion dan menonton pertandingan dengan cara gratisan. Bukan eranya lagi menjebol pintu stadion atau menunggu jebolan agar bisa mendukung kesebelasan kesayangan berlaga. Kesadaran membeli tiket itulah yang menghidupi dan menghidupkan klub.
Tentu akan menjadi sangat naif kalau tertundanya ISL disikapi reaksioner dengan menyerang Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) serta Badan Olahraga Profesional Indonesia (BOPI) yang merekomendasi penundaan. Sebab, sebuah tatanan, tak terkecuali kompetisi sepak bola, akan roboh kalau kesalahan dan kepongahan terus dipelihara.
01 Maret 2015
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar