Malam adalah waktu bermain. Sebab, siang terlalu terik dan sore terlalu letih. Begitulah Ramadan. Sungguh berbeda dengan bulan-bulan lainnya. Dan, anak-anak benar-benar mendapatkan kemerdekaannya.
Bukannya di luar Ramadan tidak ada yang bermain di malam hari. Memang ada. Tapi, waktunya terbatas. Berhimpitan dengan waktu belajar. Berdesakan dengan waktu mengerjakan pekerjaan rumah (PR) yang diberikan para guru.
Bukannya pula saat Ramadan tidak ada yang bermain siang dan sore hari. Tetap ada. Namun, yang dimainkan bukan permainan yang berkeringat. Paling umum adalah membunyikan petasan. Entah itu petasan hasil membeli atau membuat sendiri.
Sedang permainan yang berkeringat akan dimainkan pada malam hari. Sepak bola salah satunya. Dan itu merupakan permainan favorit anak laki-laki.
Begitu turun dari salah tarawih, anak-anak segera menghambur ke tanah lapang. Entah itu halaman rumah warga, jalan, maupun halaman masjid atau musala. Dan yang paling umum adalah halaman masjid atau musala.
Pokoknya yang tanahnya lapang. Cukup untuk dijadikan lapangan untuk bermain sepak bola. Cukup tentu saja tidak harus seperti layaknya lapangan sepak bola sungguhan. Cukup dalam artian anak-anak bisa bergerak memainkan bola : menggiring, berlari mencari posisi, dan menendangnya.
Dan sudah pasti mereka akan bergembira dengan semua itu. Sekalipun bola yang dimainkan hanyalah bola plastik. Atau bahkan bola yang dibuat dari kumpulan plastik yang dibulatkan. Atau mungkin bola api yang dibuat dari batu bata yang dibulatkan lantas direndam dalam minyak tanah.
Sekalipun juga mereka bermain bertelanjang kaki. Atau juga bertelanjang dada. Mereka tetap riang. Teriakan, tawa, dan canda sudah pasti terselip di sana. Dan bakal ada sorak saat tercipta gol. Juga selebrasi.
Terdapat pula tawa ketika ada kawan atau lawan yang terjatuh. Apalagi, kalau sampai jatuhnya bergulung-gulung. Yang ditertawakan sudah pasti tidak bakal marah. Sebaliknya dia akan ikut tertawa, atau minimal tersenyum.
Keriangan itu tidak hanya untuk beberapa menit saja. Atau cuma 90 menit. Sebab, mereka akan bermain berjam-jam. Bermain sampai larut malam. Sampai waktunya orang terbenam dalam mimpi. Dan, mereka akan tetap bermain dengan teriakan, tawa, dan canda yang sama seperti di awal permainan.
Tak ada yang bisa menghentikan mereka. Tidak juga Piala Eropa yang jam tayangnya bersamaan dengan waktu mereka bermain. Anak-anak tidak tergoda dan tidak bakal tergoda meninggalkan lapangan untuk sekedar duduk manis di depan layar kaca.
Sebaliknya, mereka lebih memilih untuk menjadi Cristiano Ronaldo, Gareth Bale, Mesut Ozil, Andreas Iniesta, atau Buffon sendiri di lapangan. Atau menjadikan dirinya sebagai Wayne Rooney, Paul Pogba, maupun Gerard Pique, dibanding harus menonton sosok-sosok tersebut di televisi.
Dan diantara ”bintang-bintang Eropa” itu, terselip nama Messi, Suarez, atau Neymar. Mungkin juga Bambang Pamungkas dan Evan Dimas.
”Di lapangan” anak-anak tersebut akan bergaya semaksimal mungkin untuk bermain layaknya nama yang disandang. Baik cara mengiring, menendang, menangkap bola, atau berselebrasi. Bahkan, mereka akan bermain jauh lebih riang dibanding nama-nama yang disandangnya. Dan, kalau sudah seperti itu, mereka benar-benar tidak bisa dihentikan untuk bermain-main.
Tak hanya Piala Eropa, orang tua mereka pun tidak akan sanggup menghentikan. Sebab, selama ini sangat jarang orang tua yang akan meminta anaknya segera pulang. Justru para orang tua akan membiarkan anak-anak bermain dan kemudian tidur di masjid.
Ya, tidur di masjid. Untuk kemudian menjalankan ”permainan” berikutnya : memainkan patrol guna membangunkan orang-orang untuk berangkat sahur. Baru setelah memainkan patrol itulah mereka akan pulang. Dan, tentunya kepulangan yang tanpa diiringi amarah orang tua.
Para orang tua pun seperti sadar dengan pilihannya. Bahwa salah satu cara terbaik untuk mendekatkan anak-anak dengan masjid adalah dengan bermain.
Anak-anak memang tak bisa dipaksa. Mereka harus ”dibiarkan” menikmati semua proses perkenalan dengan caranya. Termasuk mengenal masjid.
Sebab, dunia anak-anak adalah dunia bermain. Maka sudah semestinya dengan permainan, dengan bermain mereka dikenalkan dengan masjid. Memberinya ruang mereka tetap bermain disela-sela ibadah yang dijalankan.
Dengan begitu, ingatan mereka tentang masjid adalah tentang hal-hal menyenangkan. Bukan tentang bentakan yang keras. Apalagi, kasar. Bukanpula tentang doktrin-doktrin yang terkadang menakutkan.
Ingatan tentang hal-hal menyenangkan itupula yang menjadikan mereka akan tetap pergi ke masjid kelak ketika mereka menginjak remaja dan saat sudah dewasa. Kalau sudah tua pergi ke masjid sih sudah lumrah.
Oya, yang bisa menghentikan mereka hanya rasa lelah mereka sendiri.
Begitulah Ramadan. Kehadirannya selalu mampu mendekatkan (anak-anak) pada sepak bola. Karenanya saya selalu merindukan Ramadan. Merindukan masa-masa kecil ketika bersama teman-teman di kampung memainkan sepak bola sampai larut. Dan, saya yakin Anda juga merindukannya bukan.
Diumpan Sakhi
23 April 2020
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
3 komentar:
Numpang promo ya Admin^^
ajoqq^^cc
mau dapat penghasil4n dengan cara lebih mudah....
mari segera bergabung dengan kami.....
di ajopk.biz...^_~3:23 PM 15-Sep-20
segera di add Whatshapp : +855969190856
Halo kak nama kakak saqkhi sama dong kayak saya saya rasa orang yang punya nama saqkhi hanya sedikit yang kadang malah di panggil zaki atau gk sauqi
Saya juga penggemar sepak bola dari kecil saya sangat suka sepak bola sampai sampai saya pernah masuk sekolah sepak bola
Posting Komentar